The 2nd ICLIME Prof. Tjandra: Tidak Ada Yang Biasa, Semua Batuk Itu Luar Biasa –
3 min readMantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama menceritakan pengalamannya menjadi pembicara pada The 2nd Indonesian Chronic Lung Disease International Meeting (ICLIME), pada Sabtu (24/9). Tepat sesudah acara pembukaan resmi oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Saya menyampaikan introduction lecture tentang Chronic Cough. Per definisi, batuk kronik adalah batuk yang terjadi lebih dari 8 minggu. Batuk akut kalau terjadi sampai 3 minggu. Sementara kalau batuknya antara 3 sampai 8 minggu, disebut batuk sub akut,” kata Prof. Tjandra dalam keterangannya, Sabtu (24/9).
“Jadi, penyebutan batuk akut atau kronik adalah sesuai dengan lamanya keluhan atau gejala. Bukan karena berat ringannya gejala,” imbuhnya
Selain itu, Prof. Tjandra jug menyampaikan tentang bagaimana penanganan batuk kronik. Mulai dari analisa mendalam tentang sebabnya, dan berbagai pemeriksaan yang dilakukan dokter. Serta pengobatan yang diperlukan.
Perlu diketahui, sebagian besar batuk kronik dapat ditangani dengan menghindari faktor risiko. Seperti berhenti merokok, menghindari polusi udara, menghindari alergi tertentu, dab sebagainya.
Kalau ternyata setelah menghindari faktor risiko, batuk kronik masih saja terjadi, maka perlu ditangani sesuai penyakitnya.
Misalnya, asma bronkial atau penyakit terkait, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), infeksi virus dan atau bakteri, dan penyakit paru interstitial. Hingga kemungkinan kanker paru, gastroesofageal reflux, sarkoidosis dan sebagainya.
Pengobatannya, tentu tergantung bagaimana akuratnya diagnosis ditegakkan. Sementara itu, pada sebagian keadaan, dapat juga ditemukan batuk kronik yang refrakter.
Dalam kondisi ini, seseorang bisa tetap saja batuk. Meski berbagai upaya pengobatan sudah dilakukan.
“Pada keadaan ini, ada peran hipersensitifitas yang perlu ditangani secara khusus,” jelas Prof. Tjandra, yang saat ini menjabat Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI.
Di bagian akhir presentasi, Prof. Tjandra menyampaikan tentang batuk dan Covid-19.
Menurutnya, batuk kronik sampai beberapa bulan dapat saja terjadi pada sebagian pasien Long Covid-19 atau Covid-19 berkepanjangan.
Prof. Tjandra menekankan, pada dasarnya, batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh yang menunjukkan adanya gangguan di paru dan saluran napas.
“Salah, kalau ada yang menyebut batuk biasa. Karena semua batuk itu luar biasa. Orang yang sepenuhnya seha, tidak batuk,” beber Prof. Tjandra.
“Keluhan batuk, apalagi kalau kronik, menunjukkan ada masalah kesehatan di paru dan saluran napas kita. Ini perlu kita ketahui sebabnya, dan ditangani dengan baik. Agar tidak jadi masalah berkepanjangan,” tandasnya. ■
]]> , Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama menceritakan pengalamannya menjadi pembicara pada The 2nd Indonesian Chronic Lung Disease International Meeting (ICLIME), pada Sabtu (24/9). Tepat sesudah acara pembukaan resmi oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Saya menyampaikan introduction lecture tentang Chronic Cough. Per definisi, batuk kronik adalah batuk yang terjadi lebih dari 8 minggu. Batuk akut kalau terjadi sampai 3 minggu. Sementara kalau batuknya antara 3 sampai 8 minggu, disebut batuk sub akut,” kata Prof. Tjandra dalam keterangannya, Sabtu (24/9).
“Jadi, penyebutan batuk akut atau kronik adalah sesuai dengan lamanya keluhan atau gejala. Bukan karena berat ringannya gejala,” imbuhnya
Selain itu, Prof. Tjandra jug menyampaikan tentang bagaimana penanganan batuk kronik. Mulai dari analisa mendalam tentang sebabnya, dan berbagai pemeriksaan yang dilakukan dokter. Serta pengobatan yang diperlukan.
Perlu diketahui, sebagian besar batuk kronik dapat ditangani dengan menghindari faktor risiko. Seperti berhenti merokok, menghindari polusi udara, menghindari alergi tertentu, dab sebagainya.
Kalau ternyata setelah menghindari faktor risiko, batuk kronik masih saja terjadi, maka perlu ditangani sesuai penyakitnya.
Misalnya, asma bronkial atau penyakit terkait, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), infeksi virus dan atau bakteri, dan penyakit paru interstitial. Hingga kemungkinan kanker paru, gastroesofageal reflux, sarkoidosis dan sebagainya.
Pengobatannya, tentu tergantung bagaimana akuratnya diagnosis ditegakkan. Sementara itu, pada sebagian keadaan, dapat juga ditemukan batuk kronik yang refrakter.
Dalam kondisi ini, seseorang bisa tetap saja batuk. Meski berbagai upaya pengobatan sudah dilakukan.
“Pada keadaan ini, ada peran hipersensitifitas yang perlu ditangani secara khusus,” jelas Prof. Tjandra, yang saat ini menjabat Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI.
Di bagian akhir presentasi, Prof. Tjandra menyampaikan tentang batuk dan Covid-19.
Menurutnya, batuk kronik sampai beberapa bulan dapat saja terjadi pada sebagian pasien Long Covid-19 atau Covid-19 berkepanjangan.
Prof. Tjandra menekankan, pada dasarnya, batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh yang menunjukkan adanya gangguan di paru dan saluran napas.
“Salah, kalau ada yang menyebut batuk biasa. Karena semua batuk itu luar biasa. Orang yang sepenuhnya seha, tidak batuk,” beber Prof. Tjandra.
“Keluhan batuk, apalagi kalau kronik, menunjukkan ada masalah kesehatan di paru dan saluran napas kita. Ini perlu kita ketahui sebabnya, dan ditangani dengan baik. Agar tidak jadi masalah berkepanjangan,” tandasnya. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID