Strategi Zero Covid-19 Makan Korban Duh, Akibat Lockdown Warga China Kelaparan –
4 min readStrategi nol Covid atau zero Covid, Pemerintah China, memakan korban. Penduduk kota Ghulja, Provinsi Xinjiang, kelaparan akibat kebijakan lockdown (karantina wilayah) selama 40 hari.
Dalam sebuah unggahan yang dibagikan di media sosial China, penduduk Ghulja menunjukkan lemari es yang kosong, dan anak-anak yang kelaparan. Sedangkan yang lain menangis, sambil menceritakan pengalaman mereka selama lockdown yang sudah dimulai sejak bulan lalu.
Seperti diketahui, China tetap berkomitmen pada kebijakan nol Covid dengan memberlakukan lockdown di sejumlah wilayah. Dengan kebijakan itu, warga diwajibkan tetap berada di rumah, dan melakukan tes Covid rutin.
Dilansir Aljazeera, kemarin, lockdown di Kota Ghulja, makin menunjukkan diskriminasi yang terhadap Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Sebelumnya, Negara Tirai Bambu itu ditudiing membuat pusat penahanan dan penjara di wilayah tersebut.
Sekitar satu juta warga Uighur dan sebagian besar minoritas Muslim lainnya ditahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, Beijing mengelak. Mereka mengklaim tempat-tempat itu adalah pusat pelatihan pekerja.
Soal lockdown di Xinjiang, warga Uighur yang tinggal di Eropa bernama Yasinuf mengatakan, ibu mertuanya mengirim pesan suara menakutkan akhir pekan lalu. Menurutnya, ibu mertuanya dipaksa masuk karantina terpusat karena batuk ringan.
“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi kali ini. Yang bisa kami lakukan sekarang hanyalah berdoa,” ucap Yasinuf, menirukan rekaman suara ibu mertuanya.
Yasinuf menambahkan, orangtuanya memberi tahu bahwa mereka kehabisan makanan. Mereka belum mendapatkan kiriman makanan. Bahkan, mereka dilarang mengggunakan oven di halaman belakang rumah karena takut menyebarkan virus.
Yasinuf bilang, orangtuanya bertahan hidup dengan adonan mentah yang terbuat dari tepung, air, dan garam. Karena memikirkan keluarganya, Yasinuf yang tinggal di Eropa untuk belajar mengaku tidak bisa fokus.
“Suara mereka selalu ada di kepala saya. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya, ini terjadi di abad ke-21,” ucap Yasinuf.
Warga Ghulja lainnya, yang juga dari etnis Uighur, Nyrola Elima, mengungkapkan, ayahnya menjatah pemberian tomat karena persediaannya semakin menipis.
“Bibi saya juga panik karena kekurangan susu untuk memberi makan cucunya yang berusia dua tahun,” ujar Elima.
Pemerintah setempat, pekan lalu meminta maaf atas segala kekurangan dalam respons terhadap Covid. Termasuk terhadap sejumlah titik yang terlewatkan dalam pengiriman pangan. Mereka berjanji akan melakukan perbaikan.
Kendati telah mengakui kekurangan, warga tetap dibungkam. Itu terlihat dari dihapusnya sejumlah postingan dari media sosial China. Beberapa video telah dihapus, dan diunggah ulang puluhan kali oleh netizen yang tengah berjuang melawan pembungkaman.
Sejumlah warga menyebut, unggahan di dunia maya menggambarkan kebijakan lockdown yang mengerikan. Kendati demikian, situasi secara rinci memang tidak disebutkan, karena takut akan keselamatan mereka.
Pemerintah China memang tak kenal kompromi dalam kebijakan nol Covid. Mereka memerintahkan pengujian massal dan lockdown di sejumlah distrik di seluruh China. Salah satunya di Shanghai. Kota terbesar di negara itu. Warga harus menjalani lockdown selama beberapa pekan. ■
]]> , Strategi nol Covid atau zero Covid, Pemerintah China, memakan korban. Penduduk kota Ghulja, Provinsi Xinjiang, kelaparan akibat kebijakan lockdown (karantina wilayah) selama 40 hari.
Dalam sebuah unggahan yang dibagikan di media sosial China, penduduk Ghulja menunjukkan lemari es yang kosong, dan anak-anak yang kelaparan. Sedangkan yang lain menangis, sambil menceritakan pengalaman mereka selama lockdown yang sudah dimulai sejak bulan lalu.
Seperti diketahui, China tetap berkomitmen pada kebijakan nol Covid dengan memberlakukan lockdown di sejumlah wilayah. Dengan kebijakan itu, warga diwajibkan tetap berada di rumah, dan melakukan tes Covid rutin.
Dilansir Aljazeera, kemarin, lockdown di Kota Ghulja, makin menunjukkan diskriminasi yang terhadap Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Sebelumnya, Negara Tirai Bambu itu ditudiing membuat pusat penahanan dan penjara di wilayah tersebut.
Sekitar satu juta warga Uighur dan sebagian besar minoritas Muslim lainnya ditahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, Beijing mengelak. Mereka mengklaim tempat-tempat itu adalah pusat pelatihan pekerja.
Soal lockdown di Xinjiang, warga Uighur yang tinggal di Eropa bernama Yasinuf mengatakan, ibu mertuanya mengirim pesan suara menakutkan akhir pekan lalu. Menurutnya, ibu mertuanya dipaksa masuk karantina terpusat karena batuk ringan.
“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi kali ini. Yang bisa kami lakukan sekarang hanyalah berdoa,” ucap Yasinuf, menirukan rekaman suara ibu mertuanya.
Yasinuf menambahkan, orangtuanya memberi tahu bahwa mereka kehabisan makanan. Mereka belum mendapatkan kiriman makanan. Bahkan, mereka dilarang mengggunakan oven di halaman belakang rumah karena takut menyebarkan virus.
Yasinuf bilang, orangtuanya bertahan hidup dengan adonan mentah yang terbuat dari tepung, air, dan garam. Karena memikirkan keluarganya, Yasinuf yang tinggal di Eropa untuk belajar mengaku tidak bisa fokus.
“Suara mereka selalu ada di kepala saya. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya, ini terjadi di abad ke-21,” ucap Yasinuf.
Warga Ghulja lainnya, yang juga dari etnis Uighur, Nyrola Elima, mengungkapkan, ayahnya menjatah pemberian tomat karena persediaannya semakin menipis.
“Bibi saya juga panik karena kekurangan susu untuk memberi makan cucunya yang berusia dua tahun,” ujar Elima.
Pemerintah setempat, pekan lalu meminta maaf atas segala kekurangan dalam respons terhadap Covid. Termasuk terhadap sejumlah titik yang terlewatkan dalam pengiriman pangan. Mereka berjanji akan melakukan perbaikan.
Kendati telah mengakui kekurangan, warga tetap dibungkam. Itu terlihat dari dihapusnya sejumlah postingan dari media sosial China. Beberapa video telah dihapus, dan diunggah ulang puluhan kali oleh netizen yang tengah berjuang melawan pembungkaman.
Sejumlah warga menyebut, unggahan di dunia maya menggambarkan kebijakan lockdown yang mengerikan. Kendati demikian, situasi secara rinci memang tidak disebutkan, karena takut akan keselamatan mereka.
Pemerintah China memang tak kenal kompromi dalam kebijakan nol Covid. Mereka memerintahkan pengujian massal dan lockdown di sejumlah distrik di seluruh China. Salah satunya di Shanghai. Kota terbesar di negara itu. Warga harus menjalani lockdown selama beberapa pekan. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID