DigiBerita.com | Bahasa Indonesia
20 January 2025

Digiberita.com

Berita Startup dan Ekonomi Digital

Siapkan Diri Hadapi Badai Dunia Kalau Ekonomi Kuat, Kita Tak Perlu Jadi Pasien IMF –

6 min read

Pemerintah mewaspadai gejolak perekonomian global agar Indonesia tak menjadi “pasien” Dana Moneter Internasional (IMF). Langkah antisipasi dan mitigasi risiko mesti disiapkan dalam menghadapi badai yang sempurna atau perfect storm tahun depan.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menerang­kan, saat ini sudah ada 28 negara yang menjadi pasien IMF. Tidak hanya negara berkembang, ke­mungkinan ada juga negara maju yang harus mendapatkan bantuan dari IMF agar bisa bertahan di tengah tekanan ekonomi global.

“Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tidak mendapatkan bantuan langsung lagi dari IMF. Namun begitu, bukan berarti Indo­nesia menjadi negara yang relatif aman atau tidak membutuhkan donor dari lembaga sejenis,” kata Yusuf kepada Rakyat Merdeka.

Meski Indonesia tidak menda­patkan bantuan dari IMF di tahun lalu atau ketika pandemi Covid-19 terjadi, Indonesia masih mendapatkan bantuan dari Bank Dunia untuk program pen­anggulangan pandemi Covid-19 dan perlindungan sosial.

“Meski ada optimisme kita menjadi salah satu negara yang pemulihan ekonominya cukup baik di dunia, tapi kita tetap membutuhkan bantuan dari lembaga keuangan internasional. Ini membuat kita harus waspada. Potensi jadi pasien IMF tetap terbuka,” kata Yusuf.

Menurutnya, jika kita bicara konteks resesi, saat ini peluang Indonesia terkena dampak ge­jolak global relatif masih kecil. Namun demikian, masalah ke­naikan inflasi di dalam negeri yang tinggi akan menjadi ham­batan bagi Pemerintah untuk mendorong proses pemulihan ekonomi. Ataupun pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Jika tidak tertangani tepat, menurut Yusuf, kondisi ini akan menekan pertumbuhan ekonomi ke level di bawah proyeksi Pemerintah, di atas 5 persen. Kondisi ini juga mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah dan kelompok bawah yang berdampak langsung terhadap pemulihan ekonomi nasional.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi ekonomi global saat ini sangat dinamis sehingga perlu penguatan fundamental ekonomi agar Indonesia tidak masuk jadi pasien IMF.

“Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik di kuartal II-2022, tapi kita perlu mengejar ketertinggalan. Karena pesaing di wilayah ASEAN seperti Vietnam dan Filipina masing-masing men­catatkan pertumbuhan 7,7 persen dan 7,4 persen pada kuartal yang sama,” kata Bhima kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurutnya, pada saat resesi ekonomi terjadi, pelaku usaha termasuk sektor manufaktur akan mencari lokasi basis produksi di negara yang mampu memberi­kan pertumbuhan tinggi.

“Jika pertumbuhan ekonomi kita di bawah negara tetangga, investor bisa saja kabur dari Indonesia dan lebih pilih negara tetangga,” ucqp Bhima.

 

Dia juga mengatakan, cadangan devisa Indonesia sampai Septem­ber 2022 sebesar 130,8 miliar dolar AS. Jumlah tersebut masih relatif tinggi meski ada koreksi.

Kendati begitu, dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), maka rasio cadangan devisa cuma 8,4 persen. Perlu di­dorong agar kemampuan dalam intervensi stabilitas kurs rupiah semakin baik.

Selain itu, rasio anggaran perlindungan sosial di Indonesia terhadap PDB baru mencapai 2,5 persen pada 2023. Idealnya, dibutuhkan setidaknya 4-5 persen rasio anggaran perlindungan sosial untuk menahan lonjakan angka kemiskinan baru akibat resesi dan inflasi.

Di bidang pangan, peringkat Indonesia dalam Global Food Security Index tahun 2022 me­nempatkan Indonesia di posisi ke-63 dunia. Angka tersebut juga lebih rendah dibanding Turki, Vietnam dan Rusia.

Kerentanan pangan ini, menu­rut Bhima, perlu dijawab dengan peningkatan alokasi subsidi pu­puk, memastikan pangan lokal mampu mengurangi ketergan­tungan impor, dan bantuan pem­biayaan lebih besar bagi petani tanaman pangan.

“Cara-cara ini bisa diterapkan Pemerintah agar perekonomian Indonesia makin kuat. Sehingga Indonesia tidak perlu jadi pasien IMF selanjutnya,” tegas Bhima.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Har­tarto menegaskan, Pemerintah sangat berhati-hati dengan kon­disi pelemahan ekonomi dunia, yang merupakan dampak dari the perfect storm, yaitu pandemi Covid-19 yang belum selesai, me­manasnya konflik Rusia-Ukraina, perubahan iklim, kenaikan harga komoditas, dan inflasi.

Dia menyebutkan, saat ini lebih dari 55 negara mengalami pelam­batan perekonomian. Tekanan inflasi pun telah membuat bank-bank sentral di berbagai negara mengetatkan likuiditas dan menai­kkan suku bunga acuan.

Seperti Amerika Serikat yang suku bunganya sudah naik 300 basis poin, Uni Eropa sudah naik 125 basis poin, bahkan Indone­sia pun sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin.

“Namun begitu, faktor ekster­nal masih sangat kuat sehingga Indonesia tidak rentan terhadap masalah keuangan. Bahkan per­tumbuhan ekonomi Indonesia di antara negata G20 nomor dua tertinggi setelah Saudi Arabia,” ujar Airlangga dalam acara Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2022, Kamis (13/10).

Meski demikian, Airlangga me­nilai, laju inflasi Indonesia relatif moderat di kisaran 5 persen secara bulanan, dibandingkan negara lain. Seperti Amerika Serikat yang sudah di atas 8 persen, dan Uni Eropa yang di atas 9 persen. Kon­disi ini tak lepas karena adanya sinergi baik antara kebijakan fiskal dan moneter. [NOV] ]]> , Pemerintah mewaspadai gejolak perekonomian global agar Indonesia tak menjadi “pasien” Dana Moneter Internasional (IMF). Langkah antisipasi dan mitigasi risiko mesti disiapkan dalam menghadapi badai yang sempurna atau perfect storm tahun depan.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menerang­kan, saat ini sudah ada 28 negara yang menjadi pasien IMF. Tidak hanya negara berkembang, ke­mungkinan ada juga negara maju yang harus mendapatkan bantuan dari IMF agar bisa bertahan di tengah tekanan ekonomi global.

“Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tidak mendapatkan bantuan langsung lagi dari IMF. Namun begitu, bukan berarti Indo­nesia menjadi negara yang relatif aman atau tidak membutuhkan donor dari lembaga sejenis,” kata Yusuf kepada Rakyat Merdeka.

Meski Indonesia tidak menda­patkan bantuan dari IMF di tahun lalu atau ketika pandemi Covid-19 terjadi, Indonesia masih mendapatkan bantuan dari Bank Dunia untuk program pen­anggulangan pandemi Covid-19 dan perlindungan sosial.

“Meski ada optimisme kita menjadi salah satu negara yang pemulihan ekonominya cukup baik di dunia, tapi kita tetap membutuhkan bantuan dari lembaga keuangan internasional. Ini membuat kita harus waspada. Potensi jadi pasien IMF tetap terbuka,” kata Yusuf.

Menurutnya, jika kita bicara konteks resesi, saat ini peluang Indonesia terkena dampak ge­jolak global relatif masih kecil. Namun demikian, masalah ke­naikan inflasi di dalam negeri yang tinggi akan menjadi ham­batan bagi Pemerintah untuk mendorong proses pemulihan ekonomi. Ataupun pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Jika tidak tertangani tepat, menurut Yusuf, kondisi ini akan menekan pertumbuhan ekonomi ke level di bawah proyeksi Pemerintah, di atas 5 persen. Kondisi ini juga mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah dan kelompok bawah yang berdampak langsung terhadap pemulihan ekonomi nasional.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi ekonomi global saat ini sangat dinamis sehingga perlu penguatan fundamental ekonomi agar Indonesia tidak masuk jadi pasien IMF.

“Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik di kuartal II-2022, tapi kita perlu mengejar ketertinggalan. Karena pesaing di wilayah ASEAN seperti Vietnam dan Filipina masing-masing men­catatkan pertumbuhan 7,7 persen dan 7,4 persen pada kuartal yang sama,” kata Bhima kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurutnya, pada saat resesi ekonomi terjadi, pelaku usaha termasuk sektor manufaktur akan mencari lokasi basis produksi di negara yang mampu memberi­kan pertumbuhan tinggi.

“Jika pertumbuhan ekonomi kita di bawah negara tetangga, investor bisa saja kabur dari Indonesia dan lebih pilih negara tetangga,” ucqp Bhima.

 

Dia juga mengatakan, cadangan devisa Indonesia sampai Septem­ber 2022 sebesar 130,8 miliar dolar AS. Jumlah tersebut masih relatif tinggi meski ada koreksi.

Kendati begitu, dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), maka rasio cadangan devisa cuma 8,4 persen. Perlu di­dorong agar kemampuan dalam intervensi stabilitas kurs rupiah semakin baik.

Selain itu, rasio anggaran perlindungan sosial di Indonesia terhadap PDB baru mencapai 2,5 persen pada 2023. Idealnya, dibutuhkan setidaknya 4-5 persen rasio anggaran perlindungan sosial untuk menahan lonjakan angka kemiskinan baru akibat resesi dan inflasi.

Di bidang pangan, peringkat Indonesia dalam Global Food Security Index tahun 2022 me­nempatkan Indonesia di posisi ke-63 dunia. Angka tersebut juga lebih rendah dibanding Turki, Vietnam dan Rusia.

Kerentanan pangan ini, menu­rut Bhima, perlu dijawab dengan peningkatan alokasi subsidi pu­puk, memastikan pangan lokal mampu mengurangi ketergan­tungan impor, dan bantuan pem­biayaan lebih besar bagi petani tanaman pangan.

“Cara-cara ini bisa diterapkan Pemerintah agar perekonomian Indonesia makin kuat. Sehingga Indonesia tidak perlu jadi pasien IMF selanjutnya,” tegas Bhima.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Har­tarto menegaskan, Pemerintah sangat berhati-hati dengan kon­disi pelemahan ekonomi dunia, yang merupakan dampak dari the perfect storm, yaitu pandemi Covid-19 yang belum selesai, me­manasnya konflik Rusia-Ukraina, perubahan iklim, kenaikan harga komoditas, dan inflasi.

Dia menyebutkan, saat ini lebih dari 55 negara mengalami pelam­batan perekonomian. Tekanan inflasi pun telah membuat bank-bank sentral di berbagai negara mengetatkan likuiditas dan menai­kkan suku bunga acuan.

Seperti Amerika Serikat yang suku bunganya sudah naik 300 basis poin, Uni Eropa sudah naik 125 basis poin, bahkan Indone­sia pun sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin.

“Namun begitu, faktor ekster­nal masih sangat kuat sehingga Indonesia tidak rentan terhadap masalah keuangan. Bahkan per­tumbuhan ekonomi Indonesia di antara negata G20 nomor dua tertinggi setelah Saudi Arabia,” ujar Airlangga dalam acara Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2022, Kamis (13/10).

Meski demikian, Airlangga me­nilai, laju inflasi Indonesia relatif moderat di kisaran 5 persen secara bulanan, dibandingkan negara lain. Seperti Amerika Serikat yang sudah di atas 8 persen, dan Uni Eropa yang di atas 9 persen. Kon­disi ini tak lepas karena adanya sinergi baik antara kebijakan fiskal dan moneter. [NOV]

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2020 - 2025. DigiBerita.com. All rights reserved |