DigiBerita.com | Bahasa Indonesia
20 January 2025

Digiberita.com

Berita Startup dan Ekonomi Digital

Saluran Air Tak Mampu Hadapi Cuaca Ekstrem Master Plan Atasi Banjir Di Ibu Kota Sudah Jadul –

8 min read

Untuk menghadapi cuaca ekstrem di Ibu Kota dibutuhkan kebijakan ekstrem juga. Salah satunya, dengan melebarkan drainase satu hingga tiga kali lipat. Tanpa kebijakan berani, Jakarta akan terus tergenang saat hujan deras.

Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Yoga mengamati, penyebab utama banjir di Ibu Kota sepekan ini terjadi akibat sistem drainase dan tata ruang kota yang buruk.

Hal itu terlihat dari banyak sungai di Jakarta tidak meluap. Banjir terjadi karena intensitas hujan lokal yang tak dapat ditampung sistem drainase.

Permasalahan ini sudah diakui Dinas Tata Air DKI. Bahwa hujan yang terjadi di Jakarta tak mampu ditampung drainase. Sayangnya, kedua masalah utama tersebut tidak dijadikan program utama jangka pendek Pemprov DKI dalam menangani banjir.

“Pemprov DKI lebih memilih untuk mengadakan pompa, genset, membuat tanggul, betonisasi, sodetan dan sebagainya. Pemahaman mereka tentang hujan dan banjir adalah bencana dan harus dibuang ke laut,” kata Nirwono, kemarin.

Menurutnya, hanya 30 persen atau 1/3 dari saluran yang berfungsi di Jakarta. Selebihnya, dipenuhi sampah, limbah, lumpur, dan berbagai macam utilitas.

Berdasarkan penelitiannya, drainase di Jakarta saat ini hanya mampu menampung 60-70 milimeter (mm) dengan curah hujan sebesar 220 mm per hari. Sementara, lima tahun terakhir ini, curah hujan di Jakarta di atas 360 mm per hari.

“Pemprov DKI sudah tahu akan terjadi peningkatan curah hujan. Tapi tidak memperbaiki drainase. Seharusnya, drainase diperbaiki dengan memperluasnya tiga kali lipat. Misalnya luas drainase yang hanya sekitar 50 cm, harus diperluas menjadi satu meter,” ujarnya.

Khusus di kawasan Sudirman, MH Thamrin, Istana, Gatot Subroto, dan sebagainya yang kini memiliki luas 1 meter harus diperluas menjadi 3 meter.

Bila sudah diperluas, menurut Nirwono, dilanjutkan dengan penataan jaringan utilitas. Fungsi utilitas kabel bisa ditaruh di sebelah kanan, dan pipa di sebelah kiri. Bagian tengah khusus untuk air. Sehingga tidak ada lagi tumpang tindih utilitas di drainase Jakarta.

 

Langkah perbaikan drainase juga harus diiringi dengan melakukan audit kembali tata ruang DKI. Sebab, 80 persen kawasan yang peruntukannya sebagai daerah resapan kini berubah fungsi menjadi bangunan keras.

Sementara, pengamat Perkotaan Yayat Supriyatna menilai, Jakarta tidak akan terbebas dari banjir jika tidak memperbaiki sistem drainase. Entah itu, normalisasi atau naturalisasi.

Diungkap Yayat, master plan perbaikan drainase di Jakarta dibuat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 1973. Menurut Yayat, master plan tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang alias jadul.

Yayat menyarankan Pemprov DKI mengubah master plan banjir tersebut.

“Siapapun gubernurnya yang akan datang mesti berani membuat revisi atau perbaikan master plan banjir Jakarta 1973,” kata Yayat.

Terlebih hujan sekarang ini rata-rata sudah masuk kategori ekstrem.

“Pertanyaannya, kalau hujannya ekstrem, penanganannya mesti ekstrem nggak? Sekarang penanganannya masih biasa-biasa saja,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi hujan ekstrem, kata Yayat, sudah saatnya kapasitas beberapa sungai, Banjir Kanal Barat, Banjir Kanal Timur, Ciliwung dan sodetan harus ditingkatkan. Pemprov DKI Jakarta harus berani mengambil tindakan.

“Dalam pengambilan keputusan ini berat karena harus merelokasi orang. Tapi, risiko itu harus dihadapi,” imbuhnya.

Yayat menekankan, penanganan banjir harus dijalankan dengan gagasan teknokratis, bukan politis.

“Kalau dibawa ke politis, tidak akan selesai-selesai,” tandasnya.

 

Yayat mengkritik pembangunan sumur resapan. Banyak lokasi sumur resapan dibangun tidak tepat lokasinya.

“Pendekatan sumur resapan itu harus berbasis data tentang kondisi tanah. Apakah tanah itu bisa menyerap. Kan sayang sudah ngeluarin anggaran, tetapi hasil nggak optimal,” kata Yayat.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengakui kapasitas drainase di Ibu Kota masih minim. Sehingga jika volume air hujan melampaui kapasitas sungai dan drainase akan terjadi genangan. Dia mencontohkan, kapasitas drainase di jalan protokol yang hanya mampu menampung 150 mm per hari.

“Hujan yang terjadi belakangan ada yang 140 mm dan ada 180 mm. Kalau hujan turun hanya dalam 2-3 jam saja, maka otomatis akan terjadi genangan karena di luar batas kapasitas,” katanya.

Anies meminta semua pihak tidak hanya fokus pada genangan. Tapi harus melihat juga seberapa cepat genangan tersebut bisa surut.

“Kalau jumlah hujan itu di luar kuasa manusia, tapi kalau manajemen itu tanggung jawab kita. Di Jakarta pakai KPI (Key Performance Indicator) penanganannya. Bila hujan di bawah 100 mm dan terjadi banjir berarti ada yang salah. Tapi bila di atas 100 mm dan ada genangan, itu wajar. KPI-nya 6 jam, harus surut,” tandasnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut, Pemprov DKI sudah mengupayakan beberapa program pengendalian pencegahan banjir. Namun diakuinya, masih terjadi genangan di sana-sini. Kata Riza, banjir yang terjadi dalam beberapa hari ini sudah diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

“Memang beberapa minggu terakhir ini terjadi intensitas hujan yang sangat tinggi ya. Jakarta seperti kita ketahui termasuk daerah dengan dataran rendah,” kata Riza.

Riza memastikan Pemprov DKI tidak lepas tangan atasi masalah banjir. Pihaknya berkomitmen dan konsisten untuk mengatasinya.

“Komitmen itu bisa dilihat dari pembangunan yang kita buat. Kami sudah membuat banyak waduk, sumur resapan, dan program gerebek lumpur,” bebernya.

Untuk memperbaiki dan meningkatkan daya tampung drainase, Pemprov DKI mengerahkan ratusan ekskavator dan dump truck.

“Bayangkan, ada nggak daerah lain yang punya sampai 257 ekskavator dan 400 dump truck,” tegasnya.

 

Ketua DPW Partai Gerindra DKI Jakarta ini juga membandingkan capaian Jakarta dengan daerah, bahkan negara lain.

“Yang lain tuh masih banyak genangannya yang jauh lebih besar, lebih tinggi dan lebih lama tergenangnya,” cetusnya.

“Alhamdulillah di Jakarta genangannya cepat surut, sebagaimana standar kita,” sambungnya.

Terkait normalisasi atau naturalisasi, Riza menyebut, itu program Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Pemerintah Pusat. Pemprov DKI Jakarta yang melakukan pembebasan lahan. Sedangkan, Pemerintah Pusat yang mengerjakan pembangunannya.

“Itu masih berjalan ya. Memang masalah tanah di Jakarta ini tidak mudah. Tapi, kita terus membelanjakan penyediaan lahan untuk normalisasi setiap tahunnya,” papar Riza.

Diungkap Riza, Pemprov DKI melalui Dinas SDA sudah siap membeli tanah warga di bantaran sungai untuk dinormalisasi.

“Tapi setelah dicek, ternyata masih ada permasalahan-permasalahan, sengketa, konflik dan sebagainya,” tandasnya.

Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menyayangkan sistem drainase tidak diperbaiki sebelum banjir.

“Kan sudah tahu kalau drainase kota kita buruk. Supaya tidak banjir, ya seharusnya drainase diperbaiki. Ini kan tidak diperbaiki,” kata Gembong usai diskusi Refleksi 5 Tahun Pemerintahan Gubernur Anies Baswedan di Ruang Rapat Fraksi PDIP, Kamis (13/10).

Gembong menyinggung soal program normalisasi atau naturalisasi yang tidak jalan. Selama ini, Gubernur Anies hanya sibuk memperdebatkan istilah naturalisasi dan normalisasi saja. Padahal, baik normalisasi maupun naturalisasi, sama saja yakni untuk meningkatkan kapasitas drainase. ■
]]> , Untuk menghadapi cuaca ekstrem di Ibu Kota dibutuhkan kebijakan ekstrem juga. Salah satunya, dengan melebarkan drainase satu hingga tiga kali lipat. Tanpa kebijakan berani, Jakarta akan terus tergenang saat hujan deras.

Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Yoga mengamati, penyebab utama banjir di Ibu Kota sepekan ini terjadi akibat sistem drainase dan tata ruang kota yang buruk.

Hal itu terlihat dari banyak sungai di Jakarta tidak meluap. Banjir terjadi karena intensitas hujan lokal yang tak dapat ditampung sistem drainase.

Permasalahan ini sudah diakui Dinas Tata Air DKI. Bahwa hujan yang terjadi di Jakarta tak mampu ditampung drainase. Sayangnya, kedua masalah utama tersebut tidak dijadikan program utama jangka pendek Pemprov DKI dalam menangani banjir.

“Pemprov DKI lebih memilih untuk mengadakan pompa, genset, membuat tanggul, betonisasi, sodetan dan sebagainya. Pemahaman mereka tentang hujan dan banjir adalah bencana dan harus dibuang ke laut,” kata Nirwono, kemarin.

Menurutnya, hanya 30 persen atau 1/3 dari saluran yang berfungsi di Jakarta. Selebihnya, dipenuhi sampah, limbah, lumpur, dan berbagai macam utilitas.

Berdasarkan penelitiannya, drainase di Jakarta saat ini hanya mampu menampung 60-70 milimeter (mm) dengan curah hujan sebesar 220 mm per hari. Sementara, lima tahun terakhir ini, curah hujan di Jakarta di atas 360 mm per hari.

“Pemprov DKI sudah tahu akan terjadi peningkatan curah hujan. Tapi tidak memperbaiki drainase. Seharusnya, drainase diperbaiki dengan memperluasnya tiga kali lipat. Misalnya luas drainase yang hanya sekitar 50 cm, harus diperluas menjadi satu meter,” ujarnya.

Khusus di kawasan Sudirman, MH Thamrin, Istana, Gatot Subroto, dan sebagainya yang kini memiliki luas 1 meter harus diperluas menjadi 3 meter.

Bila sudah diperluas, menurut Nirwono, dilanjutkan dengan penataan jaringan utilitas. Fungsi utilitas kabel bisa ditaruh di sebelah kanan, dan pipa di sebelah kiri. Bagian tengah khusus untuk air. Sehingga tidak ada lagi tumpang tindih utilitas di drainase Jakarta.

 

Langkah perbaikan drainase juga harus diiringi dengan melakukan audit kembali tata ruang DKI. Sebab, 80 persen kawasan yang peruntukannya sebagai daerah resapan kini berubah fungsi menjadi bangunan keras.

Sementara, pengamat Perkotaan Yayat Supriyatna menilai, Jakarta tidak akan terbebas dari banjir jika tidak memperbaiki sistem drainase. Entah itu, normalisasi atau naturalisasi.

Diungkap Yayat, master plan perbaikan drainase di Jakarta dibuat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 1973. Menurut Yayat, master plan tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang alias jadul.

Yayat menyarankan Pemprov DKI mengubah master plan banjir tersebut.

“Siapapun gubernurnya yang akan datang mesti berani membuat revisi atau perbaikan master plan banjir Jakarta 1973,” kata Yayat.

Terlebih hujan sekarang ini rata-rata sudah masuk kategori ekstrem.

“Pertanyaannya, kalau hujannya ekstrem, penanganannya mesti ekstrem nggak? Sekarang penanganannya masih biasa-biasa saja,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi hujan ekstrem, kata Yayat, sudah saatnya kapasitas beberapa sungai, Banjir Kanal Barat, Banjir Kanal Timur, Ciliwung dan sodetan harus ditingkatkan. Pemprov DKI Jakarta harus berani mengambil tindakan.

“Dalam pengambilan keputusan ini berat karena harus merelokasi orang. Tapi, risiko itu harus dihadapi,” imbuhnya.

Yayat menekankan, penanganan banjir harus dijalankan dengan gagasan teknokratis, bukan politis.

“Kalau dibawa ke politis, tidak akan selesai-selesai,” tandasnya.

 

Yayat mengkritik pembangunan sumur resapan. Banyak lokasi sumur resapan dibangun tidak tepat lokasinya.

“Pendekatan sumur resapan itu harus berbasis data tentang kondisi tanah. Apakah tanah itu bisa menyerap. Kan sayang sudah ngeluarin anggaran, tetapi hasil nggak optimal,” kata Yayat.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengakui kapasitas drainase di Ibu Kota masih minim. Sehingga jika volume air hujan melampaui kapasitas sungai dan drainase akan terjadi genangan. Dia mencontohkan, kapasitas drainase di jalan protokol yang hanya mampu menampung 150 mm per hari.

“Hujan yang terjadi belakangan ada yang 140 mm dan ada 180 mm. Kalau hujan turun hanya dalam 2-3 jam saja, maka otomatis akan terjadi genangan karena di luar batas kapasitas,” katanya.

Anies meminta semua pihak tidak hanya fokus pada genangan. Tapi harus melihat juga seberapa cepat genangan tersebut bisa surut.

“Kalau jumlah hujan itu di luar kuasa manusia, tapi kalau manajemen itu tanggung jawab kita. Di Jakarta pakai KPI (Key Performance Indicator) penanganannya. Bila hujan di bawah 100 mm dan terjadi banjir berarti ada yang salah. Tapi bila di atas 100 mm dan ada genangan, itu wajar. KPI-nya 6 jam, harus surut,” tandasnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut, Pemprov DKI sudah mengupayakan beberapa program pengendalian pencegahan banjir. Namun diakuinya, masih terjadi genangan di sana-sini. Kata Riza, banjir yang terjadi dalam beberapa hari ini sudah diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

“Memang beberapa minggu terakhir ini terjadi intensitas hujan yang sangat tinggi ya. Jakarta seperti kita ketahui termasuk daerah dengan dataran rendah,” kata Riza.

Riza memastikan Pemprov DKI tidak lepas tangan atasi masalah banjir. Pihaknya berkomitmen dan konsisten untuk mengatasinya.

“Komitmen itu bisa dilihat dari pembangunan yang kita buat. Kami sudah membuat banyak waduk, sumur resapan, dan program gerebek lumpur,” bebernya.

Untuk memperbaiki dan meningkatkan daya tampung drainase, Pemprov DKI mengerahkan ratusan ekskavator dan dump truck.

“Bayangkan, ada nggak daerah lain yang punya sampai 257 ekskavator dan 400 dump truck,” tegasnya.

 

Ketua DPW Partai Gerindra DKI Jakarta ini juga membandingkan capaian Jakarta dengan daerah, bahkan negara lain.

“Yang lain tuh masih banyak genangannya yang jauh lebih besar, lebih tinggi dan lebih lama tergenangnya,” cetusnya.

“Alhamdulillah di Jakarta genangannya cepat surut, sebagaimana standar kita,” sambungnya.

Terkait normalisasi atau naturalisasi, Riza menyebut, itu program Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Pemerintah Pusat. Pemprov DKI Jakarta yang melakukan pembebasan lahan. Sedangkan, Pemerintah Pusat yang mengerjakan pembangunannya.

“Itu masih berjalan ya. Memang masalah tanah di Jakarta ini tidak mudah. Tapi, kita terus membelanjakan penyediaan lahan untuk normalisasi setiap tahunnya,” papar Riza.

Diungkap Riza, Pemprov DKI melalui Dinas SDA sudah siap membeli tanah warga di bantaran sungai untuk dinormalisasi.

“Tapi setelah dicek, ternyata masih ada permasalahan-permasalahan, sengketa, konflik dan sebagainya,” tandasnya.

Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menyayangkan sistem drainase tidak diperbaiki sebelum banjir.

“Kan sudah tahu kalau drainase kota kita buruk. Supaya tidak banjir, ya seharusnya drainase diperbaiki. Ini kan tidak diperbaiki,” kata Gembong usai diskusi Refleksi 5 Tahun Pemerintahan Gubernur Anies Baswedan di Ruang Rapat Fraksi PDIP, Kamis (13/10).

Gembong menyinggung soal program normalisasi atau naturalisasi yang tidak jalan. Selama ini, Gubernur Anies hanya sibuk memperdebatkan istilah naturalisasi dan normalisasi saja. Padahal, baik normalisasi maupun naturalisasi, sama saja yakni untuk meningkatkan kapasitas drainase. ■

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2020 - 2025. DigiBerita.com. All rights reserved |