DigiBerita.com | Bahasa Indonesia
24 January 2025

Digiberita.com

Berita Startup dan Ekonomi Digital

Perkaranya Tergolong Kelas Teri KPK Pamerkan Kasus Suap Surya Darmadi –

7 min read

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pamer kasus bos Duta Palma Group, Surya Darmadi. Padahal, perkara yang diusut lembaga antirasuah tergolong “teri”: suap miliaran rupiah. Sementara “kakapnya”: kerugian negara puluhan triliun justru dibongkar Kejaksaan Agung.

Dalam diskusi The Role of Law Enforcement for Stronger Commitments on Climate Action, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memamerkan tiga kasus lingkungan yang pernah ditanganinya. Salah satunya, kasus suap Rp 3 miliar dari Surya Darmadi kepada Gubernur Riau Annas Maamun.

“Surya Darmadi diduga memberikan suap perubahan alih fungsi hutan pada Kementerian Kehutanan tahun 2014,” kata Ghufron di Indonesia Pavilion COP-27 di Sharm El-Sheikh, Kairo, Mesir.

Ghufron yang hadir sebagai narasumber, mendukung aksi penyelamatan iklim global. Ia mengatakan, KPK punya sederet prestasi dalam menangani kasus korupsi di sektor sumber daya alam.

Ada tiga pelaku korupsi sektor lingkungan yang pernah ditangani KPK. Pertama kasus Surya Darmadi. Kedua kasus Annas Maamun. Terakhir, kasus Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.

Pada kasus Surya Darmadi, pemilik PT Duta Palma Group itu diduga menyuap Annas Maamun agar mengubah lokasi perkebunan milik perusahaannya menjadi bukan kawasan hutan.

KPK pun berhasil menjebloskan Annas Maamun ke dalam jeruji besi. Sementara Apeng keburu kabur. “Annas Maamun terbukti menerima suap pengurusan alih fungsi kawasan hutan di Provinsi Riau 2014,” ujar Ghufron.

Sayangnya, kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Surya Darmadi tidak diusut KPK. Melainkan digarap Kejagung.

Bahkan Kejagung berhasil menangkap Surya Darmadi yang buron. Kini, kasus korupsi Surya Darmadi tersebut masih berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.

Jaksa Penuntut Umum Kejagung, mendakwa Surya Darmadi merugian keuangan negara mencapai Rp 4.798.706.951.640 dan 7,8 juta Dolar Amerika. Aping juga didakwa merugikan perekonomian negara sebesar Rp 73,9 triliun. Jika di total seluruhnya mencapai Rp 86,547 triliun.

Nilai itu diperoleh dari perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dasarnya, negara diduga kehilangan hak atas pemanfaatan hutan. Baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

Kemudian, operasional beberapa perusahaan di bawah PT Duta Palma Group selama 19 tahun belakangan dilakukan tanpa izin. Meski begitu, perusahaan bisa beroperasi karena ada praktik suap dibaliknya.

Sampai tahun 2022, izin penggunaan lahan seluas 37 hektar dikuasai lima perusahaan di grup Duta Palma. Sehingga, berdampak pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

Misalnya, alih kawasan hutan yang jadi kebun tanpa pelepasan kawasan hutan menyebabkan negara kehilangan hak dalam bentuk dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan.

Kasus dengan kerugian perekonomian negara juga pernah digarap KPK, saat menangani Nur Alam. Dalam dakwaannya, KPK menduga Nur Alam merugikan keuangan negara mencapai Rp 4,3 triliun. Perhitungannya diperoleh dari hasil audit deputi bidang investigasi BPKP.

Nur Alam diduga memberikan persetujuan pencadangan wilayah pertambangan, persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP operasi produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah.

Selain itu, ada pula kerugian lain yang dihitung berupa kerugian ekologis, kerugian ekonomi, serta biaya pemulihan lingkungan. Oleh karena timbulnya kerusakan lingkungan tersebut, negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau berkurang.

Antara lain karena rusaknya ekologis atau lingkungan sebesar Rp 2,7 triliun. Sebagaimana laporan perhitungan kerugian akibat kerusakan tanah dan lingkungan, akibat pertambangan PT Anugrah Harisma Barakah di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan hal itu, jaksa berpendapat bahwa kerugian akibat kerusakan tanah dan lingkungan tersebut termasuk dalam kerugian keuangan negara.

Sehingga jumlah total kerugian negara dalam kasus korupsi Nur Alam yang mengeluarkan izin kepada PT Anugrah Harisma Barakah di wilayah Sulawesi Tenggara mencapai Rp 4,3 triliun.

Namun jaksa tidak menuntut Nur Alam agar mengganti nilai kerugian yang fantastis itu, sebab dalam tuntutannya jaksa hanya menuntut Nur Alam dengan pidana penjara selama 18 tahun penjara.

Ditambah denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan, pencabutan hak politik selama 5 tahun dan membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar.

 

Jaksa menilai, Nur Alam hanya terbukti menerima suap dari pengurusan izin pertambangan sebesar Rp 2,7 miliar dan menerima gratifikasi sebesar Rp 40 miliar.

Pengadilan tingkat pertama kemudian menghukum Nur Alam 12 tahun penjara. Tuntutan lainnya dikabulkan majelis hakim.

Perkara itu berlanjut ke tingkat banding. Namun, hukuman Nur Alam bertambah menjadi 15 tahun. Pidana lainnya, tetap.

Kemudian, Mahkamah Agung (MA) dua kali menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) Nur Alam. Sehingga hukumannya tetap seperti di tingkat banding.

Sayangnya, tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas kerugian sebesar Rp 4,3 triliun dalam kasus Nur Alam.

Berkaca dari kasus itu, Ghufron menegaskan bahwa sektor kehutanan merupakan area yang rentan terjadi tindak pidana korupsi. Lantaran wilayahnya sangat luas, potensi kerugiannya besar, dan dampak yang ditimbulkan pun massif hingga bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.

Sehingga, kata Ghufron, KPK menempatkannya sebagai salah satu fokus area pemberantasan korupsi. Maka dari itu, selama ini KPK selalu mengejar pemilik manfaat kejahatan korupsi sektor kehutanan untuk dipidana atas perbuatannya, demi mengoptimalkan pemberantasan korupsi.

“Subjek korupsi kehutanan pasti Beneficial Ownership-nya (pemilik manfaatnya),” kata Ghufron.

Menurut Ghufron, jika penegakan hukum korupsi sektor kehutanan hanya mengejar pelaku di lapangan, maka kejahatan pasti akan terus terjadi.

Ia pun mengatakan, modus korupsi sektor kehutanan paling banyak terkait pejabat pemerintah yang menerima suap untuk menerbitkan izin kawasan hutan secara ilegal. Lalu, alih fungsi kawasan hutan.

“Kalau dalam tata kelola izinnya saja sudah ada fraud, tidak sesuai ketentuan dan kenyataan, sudah pasti KPK akan menyasar pejabat pemerintah dan pemberi suap,” tandas Ghufron. ■
]]> , Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pamer kasus bos Duta Palma Group, Surya Darmadi. Padahal, perkara yang diusut lembaga antirasuah tergolong “teri”: suap miliaran rupiah. Sementara “kakapnya”: kerugian negara puluhan triliun justru dibongkar Kejaksaan Agung.

Dalam diskusi The Role of Law Enforcement for Stronger Commitments on Climate Action, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memamerkan tiga kasus lingkungan yang pernah ditanganinya. Salah satunya, kasus suap Rp 3 miliar dari Surya Darmadi kepada Gubernur Riau Annas Maamun.

“Surya Darmadi diduga memberikan suap perubahan alih fungsi hutan pada Kementerian Kehutanan tahun 2014,” kata Ghufron di Indonesia Pavilion COP-27 di Sharm El-Sheikh, Kairo, Mesir.

Ghufron yang hadir sebagai narasumber, mendukung aksi penyelamatan iklim global. Ia mengatakan, KPK punya sederet prestasi dalam menangani kasus korupsi di sektor sumber daya alam.

Ada tiga pelaku korupsi sektor lingkungan yang pernah ditangani KPK. Pertama kasus Surya Darmadi. Kedua kasus Annas Maamun. Terakhir, kasus Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.

Pada kasus Surya Darmadi, pemilik PT Duta Palma Group itu diduga menyuap Annas Maamun agar mengubah lokasi perkebunan milik perusahaannya menjadi bukan kawasan hutan.

KPK pun berhasil menjebloskan Annas Maamun ke dalam jeruji besi. Sementara Apeng keburu kabur. “Annas Maamun terbukti menerima suap pengurusan alih fungsi kawasan hutan di Provinsi Riau 2014,” ujar Ghufron.

Sayangnya, kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Surya Darmadi tidak diusut KPK. Melainkan digarap Kejagung.

Bahkan Kejagung berhasil menangkap Surya Darmadi yang buron. Kini, kasus korupsi Surya Darmadi tersebut masih berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.

Jaksa Penuntut Umum Kejagung, mendakwa Surya Darmadi merugian keuangan negara mencapai Rp 4.798.706.951.640 dan 7,8 juta Dolar Amerika. Aping juga didakwa merugikan perekonomian negara sebesar Rp 73,9 triliun. Jika di total seluruhnya mencapai Rp 86,547 triliun.

Nilai itu diperoleh dari perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dasarnya, negara diduga kehilangan hak atas pemanfaatan hutan. Baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

Kemudian, operasional beberapa perusahaan di bawah PT Duta Palma Group selama 19 tahun belakangan dilakukan tanpa izin. Meski begitu, perusahaan bisa beroperasi karena ada praktik suap dibaliknya.

Sampai tahun 2022, izin penggunaan lahan seluas 37 hektar dikuasai lima perusahaan di grup Duta Palma. Sehingga, berdampak pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

Misalnya, alih kawasan hutan yang jadi kebun tanpa pelepasan kawasan hutan menyebabkan negara kehilangan hak dalam bentuk dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan.

Kasus dengan kerugian perekonomian negara juga pernah digarap KPK, saat menangani Nur Alam. Dalam dakwaannya, KPK menduga Nur Alam merugikan keuangan negara mencapai Rp 4,3 triliun. Perhitungannya diperoleh dari hasil audit deputi bidang investigasi BPKP.

Nur Alam diduga memberikan persetujuan pencadangan wilayah pertambangan, persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP operasi produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah.

Selain itu, ada pula kerugian lain yang dihitung berupa kerugian ekologis, kerugian ekonomi, serta biaya pemulihan lingkungan. Oleh karena timbulnya kerusakan lingkungan tersebut, negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau berkurang.

Antara lain karena rusaknya ekologis atau lingkungan sebesar Rp 2,7 triliun. Sebagaimana laporan perhitungan kerugian akibat kerusakan tanah dan lingkungan, akibat pertambangan PT Anugrah Harisma Barakah di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan hal itu, jaksa berpendapat bahwa kerugian akibat kerusakan tanah dan lingkungan tersebut termasuk dalam kerugian keuangan negara.

Sehingga jumlah total kerugian negara dalam kasus korupsi Nur Alam yang mengeluarkan izin kepada PT Anugrah Harisma Barakah di wilayah Sulawesi Tenggara mencapai Rp 4,3 triliun.

Namun jaksa tidak menuntut Nur Alam agar mengganti nilai kerugian yang fantastis itu, sebab dalam tuntutannya jaksa hanya menuntut Nur Alam dengan pidana penjara selama 18 tahun penjara.

Ditambah denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan, pencabutan hak politik selama 5 tahun dan membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar.

 

Jaksa menilai, Nur Alam hanya terbukti menerima suap dari pengurusan izin pertambangan sebesar Rp 2,7 miliar dan menerima gratifikasi sebesar Rp 40 miliar.

Pengadilan tingkat pertama kemudian menghukum Nur Alam 12 tahun penjara. Tuntutan lainnya dikabulkan majelis hakim.

Perkara itu berlanjut ke tingkat banding. Namun, hukuman Nur Alam bertambah menjadi 15 tahun. Pidana lainnya, tetap.

Kemudian, Mahkamah Agung (MA) dua kali menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) Nur Alam. Sehingga hukumannya tetap seperti di tingkat banding.

Sayangnya, tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas kerugian sebesar Rp 4,3 triliun dalam kasus Nur Alam.

Berkaca dari kasus itu, Ghufron menegaskan bahwa sektor kehutanan merupakan area yang rentan terjadi tindak pidana korupsi. Lantaran wilayahnya sangat luas, potensi kerugiannya besar, dan dampak yang ditimbulkan pun massif hingga bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.

Sehingga, kata Ghufron, KPK menempatkannya sebagai salah satu fokus area pemberantasan korupsi. Maka dari itu, selama ini KPK selalu mengejar pemilik manfaat kejahatan korupsi sektor kehutanan untuk dipidana atas perbuatannya, demi mengoptimalkan pemberantasan korupsi.

“Subjek korupsi kehutanan pasti Beneficial Ownership-nya (pemilik manfaatnya),” kata Ghufron.

Menurut Ghufron, jika penegakan hukum korupsi sektor kehutanan hanya mengejar pelaku di lapangan, maka kejahatan pasti akan terus terjadi.

Ia pun mengatakan, modus korupsi sektor kehutanan paling banyak terkait pejabat pemerintah yang menerima suap untuk menerbitkan izin kawasan hutan secara ilegal. Lalu, alih fungsi kawasan hutan.

“Kalau dalam tata kelola izinnya saja sudah ada fraud, tidak sesuai ketentuan dan kenyataan, sudah pasti KPK akan menyasar pejabat pemerintah dan pemberi suap,” tandas Ghufron. ■

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2020 - 2025. DigiBerita.com. All rights reserved |