Negeri Kanguru Penghasil Lithium Terbesar Dunia Bahlil Ajak Australia Sinergi Garap Hilirisasi Tambang… –
5 min readAustralia dan Indonesia merupakan negara penghasil tambang komponen industri baterai. Karena itu, Menteri Bahlil mengajak Negeri Kanguru berkolaborasi untuk memperkuat perekonomian kedua negara.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia melakukan penjajakan kerja sama dengan sejumlah negara di gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Di antaranya dengan Australia dan Kanada.
Bahlil bertemu dengan Sekretaris Parlemen Negara Bagian Australia Barat Jessica Jane Shaw di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11). Dalam pertemuan itu, Bahlil menyampaikan komitmen Pemerintah mendorong investasi hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan melalui pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik terintegrasi.
Menurut Bahlil, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia dan Australia untuk memperkuat hubungan perekonomian, khususnya dalam hal investasi. Indonesia dan Australia memiliki kekuatan di sektor pertambangan. Australia memiliki keunggulan sebagai penghasil lithium terbesar di dunia. Dan, Indonesia merupakan penghasil nikel.
Bahlil menjelaskan, 40 persen komponen kendaraan listrik adalah baterai. Sedangkan, bahan baku penting dalam baterai yaitu nikel, mangan, cobalt, dan lithium. Dan, untuk lithium merupakan bahan mineral yang tidak dimiliki oleh Indonesia.
“Indonesia memiliki pasar yang besar dalam industri kendaraan listrik dengan pemain-pemain global besar yang sudah berinvestasi seperti LG, Foxconn, CATL. Ini merupakan sebuah peluang besar yang dapat dijajaki antara Indonesia dan Australia dengan konsep saling menguntungkan, dalam rangka meningkatkan perekonomian kedua negara,” ujar Bahlil.
Shaw menyambut positif ajakan Bahlil. Menurutnya, dengan adanya 50 persen cadangan lithium dunia di Australia Barat, serta letak geografis Australia yang strategis terhadap Indonesia. Hal ini merupakan langkah tepat untuk Indonesia memperoleh bahan baku lithium dari Australia. Dan, bersinergi dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
“Seperti Indonesia, Pemerintah Australia juga memiliki ketertarikan dalam hal hilirisasi. Sehingga, ada peluang untuk melakukan kolaborasi dan sharing knowledge antara kedua negara,” ujar Shaw.
Selanjutnya Bahlil bertemu Menteri Perdagangan Internasional, Promosi Ekspor, Usaha Kecil dan Pembangunan Ekonomi Kanada Mary Ng. Pertemuan digelar pada hari Selasa (15/11). Dalam pertemuan itu, Bahlil mengusulkan inisiatif untuk mendirikan organisasi negara-negara penghasil nikel seperti organisasi negara pengekspor minyak atau OPEC.
Dalam pertemuan, kedua pejabat itu mengeksplor peluang kerja sama kedua negara dan kolaborasi untuk optimalisasi sumber daya alam secara berkelanjutan.
Sebagai sesama negara yang kaya hasil pertambangan khususnya nikel, menurut Bahlil, keberadaan organisasi negara penghasil nikel dapat mengoordinasikan dan menyatukan kebijakan komoditas nikel. Apalagi, Indonesia saat ini sedang memprioritaskan hilirisasi sumber daya alam dalam rangka pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Bahlil memperhatikan, selama ini negara-negara industri produsen kendaraan listrik melakukan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik.
“Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata,” ungkap Bahlil.
Bahlil menyampaikan komitmennya untuk mendukung penyelesaian perjanjian kerja sama ekonomi Indonesia-Kanada (Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement/Indonesia-Canada/ CEPA). Bahlil berjanji akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian untuk mengakselerasi penyelesaian CEPA Indonesia-Canada.
Menteri Mary menyambut baik usulan itu. Dia menyampaikan, pekerjaan rumah selanjutnya adalah kedua negara untuk bekerja bersama dan mengeksplorasi peluang kolaborasi dimaksud.
Kedua negara sudah memiliki visi yang sejalan terkait optimalisasi sumber daya alam secara berkelanjutan yang juga memberikan benefit secara ekonomi.
Pemerintah Kanada juga menginisiasi transisi ekonomi ke arah ekonomi hijau berkelanjutan, terutama dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan hijau.
“Pada prinsipnya, kami meyakini bahwa kolaborasi perlu dilakukan dengan partner yang dapat dipercaya. Dan, Indonesia termasuk partner yang tepat,” ungkap Mary.
Soal negosiasi CEPA, Mary mengatakan, Pemerintah Kanada akan menciptakan sebuah kerangka yang akan memberikan investor kepastian dalam melakukan usahanya di Indonesia. [BCG] ]]> , Australia dan Indonesia merupakan negara penghasil tambang komponen industri baterai. Karena itu, Menteri Bahlil mengajak Negeri Kanguru berkolaborasi untuk memperkuat perekonomian kedua negara.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia melakukan penjajakan kerja sama dengan sejumlah negara di gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Di antaranya dengan Australia dan Kanada.
Bahlil bertemu dengan Sekretaris Parlemen Negara Bagian Australia Barat Jessica Jane Shaw di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11). Dalam pertemuan itu, Bahlil menyampaikan komitmen Pemerintah mendorong investasi hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan melalui pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik terintegrasi.
Menurut Bahlil, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia dan Australia untuk memperkuat hubungan perekonomian, khususnya dalam hal investasi. Indonesia dan Australia memiliki kekuatan di sektor pertambangan. Australia memiliki keunggulan sebagai penghasil lithium terbesar di dunia. Dan, Indonesia merupakan penghasil nikel.
Bahlil menjelaskan, 40 persen komponen kendaraan listrik adalah baterai. Sedangkan, bahan baku penting dalam baterai yaitu nikel, mangan, cobalt, dan lithium. Dan, untuk lithium merupakan bahan mineral yang tidak dimiliki oleh Indonesia.
“Indonesia memiliki pasar yang besar dalam industri kendaraan listrik dengan pemain-pemain global besar yang sudah berinvestasi seperti LG, Foxconn, CATL. Ini merupakan sebuah peluang besar yang dapat dijajaki antara Indonesia dan Australia dengan konsep saling menguntungkan, dalam rangka meningkatkan perekonomian kedua negara,” ujar Bahlil.
Shaw menyambut positif ajakan Bahlil. Menurutnya, dengan adanya 50 persen cadangan lithium dunia di Australia Barat, serta letak geografis Australia yang strategis terhadap Indonesia. Hal ini merupakan langkah tepat untuk Indonesia memperoleh bahan baku lithium dari Australia. Dan, bersinergi dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
“Seperti Indonesia, Pemerintah Australia juga memiliki ketertarikan dalam hal hilirisasi. Sehingga, ada peluang untuk melakukan kolaborasi dan sharing knowledge antara kedua negara,” ujar Shaw.
Selanjutnya Bahlil bertemu Menteri Perdagangan Internasional, Promosi Ekspor, Usaha Kecil dan Pembangunan Ekonomi Kanada Mary Ng. Pertemuan digelar pada hari Selasa (15/11). Dalam pertemuan itu, Bahlil mengusulkan inisiatif untuk mendirikan organisasi negara-negara penghasil nikel seperti organisasi negara pengekspor minyak atau OPEC.
Dalam pertemuan, kedua pejabat itu mengeksplor peluang kerja sama kedua negara dan kolaborasi untuk optimalisasi sumber daya alam secara berkelanjutan.
Sebagai sesama negara yang kaya hasil pertambangan khususnya nikel, menurut Bahlil, keberadaan organisasi negara penghasil nikel dapat mengoordinasikan dan menyatukan kebijakan komoditas nikel. Apalagi, Indonesia saat ini sedang memprioritaskan hilirisasi sumber daya alam dalam rangka pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Bahlil memperhatikan, selama ini negara-negara industri produsen kendaraan listrik melakukan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik.
“Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata,” ungkap Bahlil.
Bahlil menyampaikan komitmennya untuk mendukung penyelesaian perjanjian kerja sama ekonomi Indonesia-Kanada (Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement/Indonesia-Canada/ CEPA). Bahlil berjanji akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian untuk mengakselerasi penyelesaian CEPA Indonesia-Canada.
Menteri Mary menyambut baik usulan itu. Dia menyampaikan, pekerjaan rumah selanjutnya adalah kedua negara untuk bekerja bersama dan mengeksplorasi peluang kolaborasi dimaksud.
Kedua negara sudah memiliki visi yang sejalan terkait optimalisasi sumber daya alam secara berkelanjutan yang juga memberikan benefit secara ekonomi.
Pemerintah Kanada juga menginisiasi transisi ekonomi ke arah ekonomi hijau berkelanjutan, terutama dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan hijau.
“Pada prinsipnya, kami meyakini bahwa kolaborasi perlu dilakukan dengan partner yang dapat dipercaya. Dan, Indonesia termasuk partner yang tepat,” ungkap Mary.
Soal negosiasi CEPA, Mary mengatakan, Pemerintah Kanada akan menciptakan sebuah kerangka yang akan memberikan investor kepastian dalam melakukan usahanya di Indonesia. [BCG]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID