DigiBerita.com | Bahasa Indonesia
12 January 2025

Digiberita.com

Berita Startup dan Ekonomi Digital

Narasi Islamophobia Sarat Kepentingan Politik –

4 min read

Narasi Islamophobia di Indonesia kerap bersifat politis dan dianggap sebagai upaya playing victim kelompok radikal. Kelompok radikal memanfaatkan narasi tersebut untuk melemahkan segala hal yang berkaitan dengan pemberantasan radikalisme. Sebab, dengan memainkan narasi itu, mereka percaya bahwa akan jauh lebih mudah menyulut amarah umat.

Ketua bidang Agama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Lampung Suparman Abdul Karim menilai, narasi Islamophobia dengan memposisikan diri dan kelompoknya seolah korban kebijakan negara yang dianggap zalim sejatinya merupakan isu yang berulang dan tidak strategis.

“Ini isu yang berulang. Sifatnya berulang dan tidak strategis. Tapi, bagi mereka yang pecundang sebetulnya juga inferior, ya mungkin ini sudah menjadi hiburan bagi mereka, melakukan playing victim, merasa terzalimi dan lain sebagainya,” ujar Suparman, seperti keterangan yang diterima redaksi, Minggu (4/9).

Suparman melanjutkan, maraknya kemunculan narasi ini karena kelompok radikal kerap menganggap sebagai isu yang paling efektif untuk menjaring simpati massa yang mayoritasnya penganut agama Islam. “Karena inilah yang paling efektif untuk menyulut sensitivitas massa. Dikatakan laku ya tentunya laku hanya bagi kelompok mereka saja,” ucap anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung ini.

Tokoh yang dikenal dengan ceramah kritis terkait isu radikal dan terorisme ini juga menganggap isu Islamophobia sarat akan kepentingan politik. Khususnya oleh kelompok politik yang kerap menggunakan label ke-Islaman. Ia menilai, kekalahan kelompok tersebut di pentas politik menjadi pemicu sikap playing victim mereka.

“Bisa diibaratkan seperti para pecundang yang tidak ksatria untuk mengakui kekalahannya atau seperti anak kecil yang kurang perhatian. Ini menguat menjadi sebuah kepentingan bersama dari beberapa kelompok politik yang merasa terkalahkan,” kata Owner and Founder Sedekah Seribu Sehari ini.

Oleh karena itu, Suparman menilai setidak ada dua hal yang mesti diupayakan guna mematahkan narasi islamophobia yang kerap kali berkembang ditengah masyarakat. “Yang mesti kita patahkan pada kenyataannya di negara yang mayoritas muslim ini tidak ada sama sekali orang yang ketakutan terhadap Islam. Kita yang mayoritas Muslim ini hidup tenang tenang saja, ber-Islam dengan baik-baik saja,” jelasnya.

Suparman melanjutkan, intinya semua pihak harus berani mematahkan narasi kelompok radikal sesuai dengan narasi yang mereka bawa, dengan fakta dan dasar yang benar serta relevan. “Hal-hal yang berasal dari pengaburan fakta akan terus digoreng guna menakut-nakuti khalayak ramai, Kalau ini dibiarkan terus maka akan dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran,” tuturnya.

Untuk itu, ia berharap ada ketegasan dari pemerintah untuk menertibkan hal ini melalui regulasi yang tepat, mengingat hal ini justru dapat menjadi ancaman terhadap persatuan bangsa. “Ini sebetulnya yang harus dipertegas. Pemerintah harus lebih tegas dalam membuat aturan. Karena playing victim ini ujung-ujungnya bermuara kepada fitnah, penyebaran berita bohong atau hoaks. Hukum harus dikuatkan,” kata Suparman, mengakhiri.■
]]> , Narasi Islamophobia di Indonesia kerap bersifat politis dan dianggap sebagai upaya playing victim kelompok radikal. Kelompok radikal memanfaatkan narasi tersebut untuk melemahkan segala hal yang berkaitan dengan pemberantasan radikalisme. Sebab, dengan memainkan narasi itu, mereka percaya bahwa akan jauh lebih mudah menyulut amarah umat.

Ketua bidang Agama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Lampung Suparman Abdul Karim menilai, narasi Islamophobia dengan memposisikan diri dan kelompoknya seolah korban kebijakan negara yang dianggap zalim sejatinya merupakan isu yang berulang dan tidak strategis.

“Ini isu yang berulang. Sifatnya berulang dan tidak strategis. Tapi, bagi mereka yang pecundang sebetulnya juga inferior, ya mungkin ini sudah menjadi hiburan bagi mereka, melakukan playing victim, merasa terzalimi dan lain sebagainya,” ujar Suparman, seperti keterangan yang diterima redaksi, Minggu (4/9).

Suparman melanjutkan, maraknya kemunculan narasi ini karena kelompok radikal kerap menganggap sebagai isu yang paling efektif untuk menjaring simpati massa yang mayoritasnya penganut agama Islam. “Karena inilah yang paling efektif untuk menyulut sensitivitas massa. Dikatakan laku ya tentunya laku hanya bagi kelompok mereka saja,” ucap anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung ini.

Tokoh yang dikenal dengan ceramah kritis terkait isu radikal dan terorisme ini juga menganggap isu Islamophobia sarat akan kepentingan politik. Khususnya oleh kelompok politik yang kerap menggunakan label ke-Islaman. Ia menilai, kekalahan kelompok tersebut di pentas politik menjadi pemicu sikap playing victim mereka.

“Bisa diibaratkan seperti para pecundang yang tidak ksatria untuk mengakui kekalahannya atau seperti anak kecil yang kurang perhatian. Ini menguat menjadi sebuah kepentingan bersama dari beberapa kelompok politik yang merasa terkalahkan,” kata Owner and Founder Sedekah Seribu Sehari ini.

Oleh karena itu, Suparman menilai setidak ada dua hal yang mesti diupayakan guna mematahkan narasi islamophobia yang kerap kali berkembang ditengah masyarakat. “Yang mesti kita patahkan pada kenyataannya di negara yang mayoritas muslim ini tidak ada sama sekali orang yang ketakutan terhadap Islam. Kita yang mayoritas Muslim ini hidup tenang tenang saja, ber-Islam dengan baik-baik saja,” jelasnya.

Suparman melanjutkan, intinya semua pihak harus berani mematahkan narasi kelompok radikal sesuai dengan narasi yang mereka bawa, dengan fakta dan dasar yang benar serta relevan. “Hal-hal yang berasal dari pengaburan fakta akan terus digoreng guna menakut-nakuti khalayak ramai, Kalau ini dibiarkan terus maka akan dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran,” tuturnya.

Untuk itu, ia berharap ada ketegasan dari pemerintah untuk menertibkan hal ini melalui regulasi yang tepat, mengingat hal ini justru dapat menjadi ancaman terhadap persatuan bangsa. “Ini sebetulnya yang harus dipertegas. Pemerintah harus lebih tegas dalam membuat aturan. Karena playing victim ini ujung-ujungnya bermuara kepada fitnah, penyebaran berita bohong atau hoaks. Hukum harus dikuatkan,” kata Suparman, mengakhiri.■

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2020 - 2024. PT Juan Global. All rights reserved. DigiBerita.com. |