Mulai Diadili Di Pengadilan Jakarta Selatan Eks Presiden ACT Tilep Dana Bantuan Boeing Rp 117 Miliar –
6 min readMantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin didakwa menilep dana bantuan sosial 68 korban kecelakaan pesawat Boeing mencapai Rp 117 miliar.
Jaksa Penuntut Umum mengatakan perbuatan itu dilakukan Ahyudin bersama penggantinya Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain, Pembina ACT.
“Dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,” ujar Jaksa Lusiana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Penggelapan dan penipuan yang dilakukan Ahyudin cs bermula ketika pesawat Boeing 737 Max 8 maskapai Lion Ait jatuh pada 29 Oktober 2018.
Kejadian itu menewaskan 189 penumpang dan kru. Merasa bertanggung jawab atas insiden ini, Boeing menyediakan dana Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) 25 juta dolar Amerika.
“Untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban,” kata jaksa.
Produsen pesawat itu juga menyediakan dana bansos sebesar 25 juta dolar Amerika melalui Boeing Community Investment Fund (BCIF).
Dana tersebut merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan. Dana tidak diterima langsung oleh ahli waris korban, namun diterima lewat organisasi amal yang ditunjuk ahli waris korban.
Singkat cerita, 189 ahli waris korban mendapatkan santunan dari Boeing sebesar 144.320 dolar Amerika atau sekitar Rp 2 miliar. Santunan itu diterima secara langsung.
Mengetahui adanya dana sosial berupa BCIF, ACT berusaha mendekati pihak ahli waris korban dan mengaku telah mendapatkan amanah dari Boeing sebagai penyalur dana BCIF.
Selanjutnya, keluarga korban diminta Yayasan ACT untuk menandatangani dan mengisi beberapa dokumen atau formulir pengajuan. Nantinya dokumen tersebut dikirim ke Perusahaan Boeing agar dana BCIF dapat disalurkan lewat ACT.
“Dan dapat dikelola oleh Yayasan ACT untuk pembangunan fasilitas sosial,” jelas jaksa.
Atas bujuk rayu tersebut, ACT berhasil mendapatkan persetujuan 68 anggota ahli waris korban. Kemudian ACT membuat 68 proposal program penyaluran dana yang dibanderol 144.500 dolar Amerika per ahli waris.
Program tersebut beberapa di antaranya pembangunan fasilitas pendidikan Nurul Yaqin Rajatama Islamic Elementary School, yang berlokasi di Seririt Buleleng Provinsi Bali. Dengan total biaya Rp 2.037.450.000 atau 144.500 dolar Amerika.
Kemudian, pembangunan fasilitas pendidikan Muhammadiyah Secondary School Wonosari, yang berlokasi di Gunung Kidul Provinsi Yogyakarta. Total biaya Rp 2.037.450.000. Serta beberapa program lain dengan nominal yang sama.
Pihak Boeing kemudian menyetujui proposal tersebut dan pada 25 Januari 2021. ACT mendapat kucuran dana Rp 138.546.388.500.
Setelah mendapatkan uang, ACT seharusnya menyalurkannya sesuai dengan proposal yang dibuat.“Dana BCIF yang diterima oleh Yayasan ACT dari Boeing tersebut yang benar-benar digunakan untuk implementasi kegiatan Boeing adalah hanyalah sejumlah Rp 20.563.857.503,” ungkap jaksa.
Sisanya digunakan oleh Ahyudin, Ibnu Khajar dan Hariyana untuk keperluan lain. Sehingga jaksa mendakwa ketiganya telah melakukan penipuan dan penggelapan sekitar Rp 117.982.530.997.
Adapun uang tersebut digunakan untuk pembayaran gaji dan Tunjangan Hari Raya (THR) karyawan dan relawan Rp 33,2 miliar; pembayaran ke PT Agro Wakaf Corpora Rp 14,079 miliar; pembayaran ke Yayasan Global Qurban Rp 11,4 miliar.
Kemudian, pembayaran ke Koperasi Syariah 212 Rp 10 miliar; pembayaran ke PT Global Wakaf Corpora Rp 8,3 miliar; pembayaran untuk pengelola Rp 6,4 miliar; pembayaran tunjangan pendidikan Rp 4,3 miliar.
Selanjutnya, pembayaran ke Yayasan Global Zakat Rp 3,1 miliar; pembayaran ke CV Cun Rp 3,050 miliar; pembayaran program Rp 3,036 miliar; pembayaran ke dana kafalah Rp 2,621 miliar.
Ada juga untuk pembelian kantor cabang ACT di Sulawesi Selatan Rp 1,9 miliar; pembayaran ke PTTrading Wakaf Corpora Rp 1,8 miliar, pembayaran pelunasan lantai 22 gedung ACT Rp 1,7 miliar; pembayaran ke Yayasan Global Wakaf Rp 1,1 miliar.
Tak hanya itu Ahyudin cs juga menggunakan uang BCIF untuk pembayaran ke PT Griya Bangun Persada Rp 946 juta; pembayaran ke PT Asia Pelangi Remiten Rp 188 juta; pembayaran gaji Ahyudin Rp 125 juta; pembayaran ke Akademi Relawan Indonesia Rp 5,7 juta.
“Tarik tunai individu Rp 7.658.147.978; pembayaran lain-lain Rp 945.437.780; tidak beber Rp 1.122.754.832,” tandas jaksa.
Atas perbuatan tersebut, jaksa mendakwa Ahyudin, Ibnu Khajar, dan Hariyana telah melanggar Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 372 KUHP.
Menanggapi dakwaan ini, kuasa hukum Ahyudin, Irfan Junaidi menyatakan tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Pihaknya ingin persidangan langsung masuk ke materi pokok.
“Kalau memang klien kami bersalah, kita siap gitu soal putusan dan sanksinya,” tutupnya. ■
]]> , Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin didakwa menilep dana bantuan sosial 68 korban kecelakaan pesawat Boeing mencapai Rp 117 miliar.
Jaksa Penuntut Umum mengatakan perbuatan itu dilakukan Ahyudin bersama penggantinya Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain, Pembina ACT.
“Dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,” ujar Jaksa Lusiana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Penggelapan dan penipuan yang dilakukan Ahyudin cs bermula ketika pesawat Boeing 737 Max 8 maskapai Lion Ait jatuh pada 29 Oktober 2018.
Kejadian itu menewaskan 189 penumpang dan kru. Merasa bertanggung jawab atas insiden ini, Boeing menyediakan dana Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) 25 juta dolar Amerika.
“Untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban,” kata jaksa.
Produsen pesawat itu juga menyediakan dana bansos sebesar 25 juta dolar Amerika melalui Boeing Community Investment Fund (BCIF).
Dana tersebut merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan. Dana tidak diterima langsung oleh ahli waris korban, namun diterima lewat organisasi amal yang ditunjuk ahli waris korban.
Singkat cerita, 189 ahli waris korban mendapatkan santunan dari Boeing sebesar 144.320 dolar Amerika atau sekitar Rp 2 miliar. Santunan itu diterima secara langsung.
Mengetahui adanya dana sosial berupa BCIF, ACT berusaha mendekati pihak ahli waris korban dan mengaku telah mendapatkan amanah dari Boeing sebagai penyalur dana BCIF.
Selanjutnya, keluarga korban diminta Yayasan ACT untuk menandatangani dan mengisi beberapa dokumen atau formulir pengajuan. Nantinya dokumen tersebut dikirim ke Perusahaan Boeing agar dana BCIF dapat disalurkan lewat ACT.
“Dan dapat dikelola oleh Yayasan ACT untuk pembangunan fasilitas sosial,” jelas jaksa.
Atas bujuk rayu tersebut, ACT berhasil mendapatkan persetujuan 68 anggota ahli waris korban. Kemudian ACT membuat 68 proposal program penyaluran dana yang dibanderol 144.500 dolar Amerika per ahli waris.
Program tersebut beberapa di antaranya pembangunan fasilitas pendidikan Nurul Yaqin Rajatama Islamic Elementary School, yang berlokasi di Seririt Buleleng Provinsi Bali. Dengan total biaya Rp 2.037.450.000 atau 144.500 dolar Amerika.
Kemudian, pembangunan fasilitas pendidikan Muhammadiyah Secondary School Wonosari, yang berlokasi di Gunung Kidul Provinsi Yogyakarta. Total biaya Rp 2.037.450.000. Serta beberapa program lain dengan nominal yang sama.
Pihak Boeing kemudian menyetujui proposal tersebut dan pada 25 Januari 2021. ACT mendapat kucuran dana Rp 138.546.388.500.
Setelah mendapatkan uang, ACT seharusnya menyalurkannya sesuai dengan proposal yang dibuat.“Dana BCIF yang diterima oleh Yayasan ACT dari Boeing tersebut yang benar-benar digunakan untuk implementasi kegiatan Boeing adalah hanyalah sejumlah Rp 20.563.857.503,” ungkap jaksa.
Sisanya digunakan oleh Ahyudin, Ibnu Khajar dan Hariyana untuk keperluan lain. Sehingga jaksa mendakwa ketiganya telah melakukan penipuan dan penggelapan sekitar Rp 117.982.530.997.
Adapun uang tersebut digunakan untuk pembayaran gaji dan Tunjangan Hari Raya (THR) karyawan dan relawan Rp 33,2 miliar; pembayaran ke PT Agro Wakaf Corpora Rp 14,079 miliar; pembayaran ke Yayasan Global Qurban Rp 11,4 miliar.
Kemudian, pembayaran ke Koperasi Syariah 212 Rp 10 miliar; pembayaran ke PT Global Wakaf Corpora Rp 8,3 miliar; pembayaran untuk pengelola Rp 6,4 miliar; pembayaran tunjangan pendidikan Rp 4,3 miliar.
Selanjutnya, pembayaran ke Yayasan Global Zakat Rp 3,1 miliar; pembayaran ke CV Cun Rp 3,050 miliar; pembayaran program Rp 3,036 miliar; pembayaran ke dana kafalah Rp 2,621 miliar.
Ada juga untuk pembelian kantor cabang ACT di Sulawesi Selatan Rp 1,9 miliar; pembayaran ke PTTrading Wakaf Corpora Rp 1,8 miliar, pembayaran pelunasan lantai 22 gedung ACT Rp 1,7 miliar; pembayaran ke Yayasan Global Wakaf Rp 1,1 miliar.
Tak hanya itu Ahyudin cs juga menggunakan uang BCIF untuk pembayaran ke PT Griya Bangun Persada Rp 946 juta; pembayaran ke PT Asia Pelangi Remiten Rp 188 juta; pembayaran gaji Ahyudin Rp 125 juta; pembayaran ke Akademi Relawan Indonesia Rp 5,7 juta.
“Tarik tunai individu Rp 7.658.147.978; pembayaran lain-lain Rp 945.437.780; tidak beber Rp 1.122.754.832,” tandas jaksa.
Atas perbuatan tersebut, jaksa mendakwa Ahyudin, Ibnu Khajar, dan Hariyana telah melanggar Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 372 KUHP.
Menanggapi dakwaan ini, kuasa hukum Ahyudin, Irfan Junaidi menyatakan tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Pihaknya ingin persidangan langsung masuk ke materi pokok.
“Kalau memang klien kami bersalah, kita siap gitu soal putusan dan sanksinya,” tutupnya. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID