Menghemat Politik Identitas (4) Tidak Ada Kata Politik (Siyasah) Dalam Al-Qur`an –
5 min readMenarik untuk dikaji, bukan hanya urusan politik praktis tidak banyak disinggung di dalam Al-Qur’an, tetapi kata politik (al-siyasah) sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an. Mengapa hal yang sepenting ini tidak mendapatkan perhatian khusus di dalam Islam? Apakah ini pertanda bahwa Islam membuka diri untuk memberikan pengakuan kepada berbagai pola suksesi yang hidup di dalam setiap masyarakat? Pola suksesi atau pergantian pemimpin sejak masa permulaan Islam, yakni pada masa Nabi dan Sahabat sampai sekarang, tidak tunggal, tetapi beragam.
Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan dan directions tentang tata cara penentuan, pemilihan, dan penetapan pemimpin umat atau kepala pemerintahan. Nabi sendiri juga tidak pernah memberikan wasiyat atau petunjuk tentang proses pergantian kepemimpinan di dalam Islam. Sampai saat-saat terakhir kehidupannya pun tidak memberikan stetmen politik.
Dalam kamus bahasa Arab, politik berarti siyasah, berasal dari akar kata assa-yaissu-assan berarti membangun, mendirikan, meletakkan pondasi. Dari akar kata ini lahir kata asas (dasar, pedoman, pondasi), muassasah (yayasan), muassis (pendiri). Dari akar kata itu pula lahir kata assas (menghasut, tukang fitnah, provokator), ”mengobarkan permusuhan di antara manusia” (assasa bain al-nas).
Di dalam Al-Qur’an, kata siyasah (politik) samasekali tidak pernah disebutkan. Dari akar kata itu hanya disebutkan dua kali yaitu kata lamasjidun ussisa ’ala al-taqwa (mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa/ mesjid yang didirikan atas dasar takwa/Q.S. al-Tauah/9:108) dan assasa bunyanahu ’ala taqwa (mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa/(Q.S. al-Tauah/9:108).
Suksesi kepemimpinan Nabi melalui musyawarah terbuka, dihadiri seluruh komponen, baik komponen-komponen golongan Anshar maupun Muhajirin. Pergantian Abu Bakar melalui wasiyat meskipun tidak mengikat. Pergantian Umar melalui formatur. Pergantian Utsman melalui formatur terbatas. Pergantian Ali melalui pengambilalihan.
Suksesi-suksesi selanjutnya kembali lagi seperti pra Islam, suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun temurun, baik oleh dinasti Mu’awiyah maupun dinasti Abbasiyah. Suksesi secara demokrasi sejati di dalam dunia Islam, secara de facto dan de jure, mungkin pertamakali dialami oleh Presiden SBY di Indonesia, di mana seluruh rakyat melakukan pemilihan secara langsung pemimpin dan kepala negaranya. Pola suksesi kepemimpinan yang dirintis Indonesia ini diapresiasi oleh negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Langsung atau tidak langsung, trend suksesi kepemimpinan di Indonesia menginspirasi terjadinya ‘Badai Gurun’, dimana sejumlah negara ‘dipaksa’ menjadi negara demokrasi oleh rakyatnya.
Memang tidak ada dasar hukum yang dilanggar dengan pola suksesi demokrasi. Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan tentang tata cara penentuan, pemilihan, dan penetapan pemimpin umat atau kepala pemerintahan. Rasulullah sendiri juga tidak pernah memberikan wasiyat atau petunjuk tentang proses pergantian kepemimpinan di dalam Islam. Sampai saat-saat terakhir kehidupannya pun tidak memberikan stetmen politik. Ini semua pertanda bahwa urusan suksesi adalah urusan kontemporer duniawi, yang dapat dilakukan dan dipilih sendiri oleh masyarakat dan umat berdasarkan kebutuhan obyektifnya. Islam hanya menggariskan musyawarah jalur terbaik dalam menyelesaikan segala hal. Sistem demokrasi lebih dekat kepada system syura daripada system monarki.
Terbatasnya ayat-ayat Al-Qur’an membicarakan soal hidup kemasyarakatan umat, termasuk politik suksesi, ternyata mempunyai banyak hikmah besar. Diantaranya masyarakat selalu dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman.
Apa jadinya jika peraturan dan hukum absolut yang mengatur masyarakat terlalu banyak apalagi terperinci, maka sudah tentu dinamika masyarakat akan menjadi kaku dan terikat. Dengan kata lain perkembangan masyarakat akan menjadi terbelenggu oleh aturan dan manusia akan kehilangan kemerdekaannya. ■
]]> , Menarik untuk dikaji, bukan hanya urusan politik praktis tidak banyak disinggung di dalam Al-Qur’an, tetapi kata politik (al-siyasah) sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an. Mengapa hal yang sepenting ini tidak mendapatkan perhatian khusus di dalam Islam? Apakah ini pertanda bahwa Islam membuka diri untuk memberikan pengakuan kepada berbagai pola suksesi yang hidup di dalam setiap masyarakat? Pola suksesi atau pergantian pemimpin sejak masa permulaan Islam, yakni pada masa Nabi dan Sahabat sampai sekarang, tidak tunggal, tetapi beragam.
Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan dan directions tentang tata cara penentuan, pemilihan, dan penetapan pemimpin umat atau kepala pemerintahan. Nabi sendiri juga tidak pernah memberikan wasiyat atau petunjuk tentang proses pergantian kepemimpinan di dalam Islam. Sampai saat-saat terakhir kehidupannya pun tidak memberikan stetmen politik.
Dalam kamus bahasa Arab, politik berarti siyasah, berasal dari akar kata assa-yaissu-assan berarti membangun, mendirikan, meletakkan pondasi. Dari akar kata ini lahir kata asas (dasar, pedoman, pondasi), muassasah (yayasan), muassis (pendiri). Dari akar kata itu pula lahir kata assas (menghasut, tukang fitnah, provokator), ”mengobarkan permusuhan di antara manusia” (assasa bain al-nas).
Di dalam Al-Qur’an, kata siyasah (politik) samasekali tidak pernah disebutkan. Dari akar kata itu hanya disebutkan dua kali yaitu kata lamasjidun ussisa ’ala al-taqwa (mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa/ mesjid yang didirikan atas dasar takwa/Q.S. al-Tauah/9:108) dan assasa bunyanahu ’ala taqwa (mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa/(Q.S. al-Tauah/9:108).
Suksesi kepemimpinan Nabi melalui musyawarah terbuka, dihadiri seluruh komponen, baik komponen-komponen golongan Anshar maupun Muhajirin. Pergantian Abu Bakar melalui wasiyat meskipun tidak mengikat. Pergantian Umar melalui formatur. Pergantian Utsman melalui formatur terbatas. Pergantian Ali melalui pengambilalihan.
Suksesi-suksesi selanjutnya kembali lagi seperti pra Islam, suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun temurun, baik oleh dinasti Mu’awiyah maupun dinasti Abbasiyah. Suksesi secara demokrasi sejati di dalam dunia Islam, secara de facto dan de jure, mungkin pertamakali dialami oleh Presiden SBY di Indonesia, di mana seluruh rakyat melakukan pemilihan secara langsung pemimpin dan kepala negaranya. Pola suksesi kepemimpinan yang dirintis Indonesia ini diapresiasi oleh negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Langsung atau tidak langsung, trend suksesi kepemimpinan di Indonesia menginspirasi terjadinya ‘Badai Gurun’, dimana sejumlah negara ‘dipaksa’ menjadi negara demokrasi oleh rakyatnya.
Memang tidak ada dasar hukum yang dilanggar dengan pola suksesi demokrasi. Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan tentang tata cara penentuan, pemilihan, dan penetapan pemimpin umat atau kepala pemerintahan. Rasulullah sendiri juga tidak pernah memberikan wasiyat atau petunjuk tentang proses pergantian kepemimpinan di dalam Islam. Sampai saat-saat terakhir kehidupannya pun tidak memberikan stetmen politik. Ini semua pertanda bahwa urusan suksesi adalah urusan kontemporer duniawi, yang dapat dilakukan dan dipilih sendiri oleh masyarakat dan umat berdasarkan kebutuhan obyektifnya. Islam hanya menggariskan musyawarah jalur terbaik dalam menyelesaikan segala hal. Sistem demokrasi lebih dekat kepada system syura daripada system monarki.
Terbatasnya ayat-ayat Al-Qur’an membicarakan soal hidup kemasyarakatan umat, termasuk politik suksesi, ternyata mempunyai banyak hikmah besar. Diantaranya masyarakat selalu dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman.
Apa jadinya jika peraturan dan hukum absolut yang mengatur masyarakat terlalu banyak apalagi terperinci, maka sudah tentu dinamika masyarakat akan menjadi kaku dan terikat. Dengan kata lain perkembangan masyarakat akan menjadi terbelenggu oleh aturan dan manusia akan kehilangan kemerdekaannya. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID