DigiBerita.com | Bahasa Indonesia
21 January 2025

Digiberita.com

Berita Startup dan Ekonomi Digital

Kasus BPD Jateng Bobol Rp 133,47 M Polisi Lengkapi Unsur TPPU –

5 min read

Dua tersangka korupsi pembobolan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah cabang Jakarta tahun 2017- 2019 terancam kembali dijerat pasal pencucian uang.

Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo menjelaskan, penyidikan perkara korupsi fasilitas kredit Bank Jateng cabang Jakarta dikembangkan ke ranah pidana pencucian uang.

“Penyidikan tak berhenti pada perkara korupsinya saja. Namun juga mengarah pada Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” ujarnya, kemarin.

Untuk itu, penyidik masih perlu mendalami bukti-bukti dengan menggelar serangkaian pemeriksaan lanjutan. Dia pun optimis, penyidik mampu memperberat tuduhan penyelewengan yang dilakukan kedua tersangka.

Dijelaskan, dua tersangka yang dijebloskan ke tahanan adalah Direktur Utama PT Samco Indonesia, Boni Marsapatubiono dan Direktur Utama PT Mega Daya Survey Indonesia, Welly Bordus Bambang.

Kiprah kedua tersangka terungkap berdasarkan pengembangan perkara terpidana Bina Mardjani, pimpinan BPD Jawa Tengah cabang Jakarta. Dalam persidangan kasus ini, Bina Mardjani dinyatakan terbukti melakukan korupsi. Dia dihukum penjara tujuh tahun.

Diuraikan, modus operandi tersangka Boni dan Welly memohon dana BPD Jawa Tengah dilakukan dengan cara sama. Keduanya sama-sama mengajukan kredit pembiayaan fiktif pengerjaan proyek.

Hanya saja, Boni mengajukan fasilitas kredit proyek pada Bank Jateng cabang Jakarta Rp 74,5 miliar untuk pengerjaan lima proyek. Permohonan kredit tersebut pun disetujui terpidana Bina Mardjani. Saat pengajuan kredit, Boni mengagunkan atau memjaminkan Surat Perintah Kerja (SPK), cash collateral (uang jaminan/deposit), dan jaminan asuransi dari prosentase cash collateral.

Namun saat proses pemberian kredit berjalan, polisi menduga ada perbuatan melawan hukum. Tindakan tersebut meliputi ketaklengkapan dokumen kredit. Ketaklengkapan itu terkait dengan­SPK yang diduga fiktif.

Untuk memperlancar proses pencairan kredit bermasalah itu, Boni dituduh memberikan janji berupa comitment fee sebesar 1 persen dari nominal angka kredit. Dana yang dikategorikan sebagai suap diberikan Boni sebanyak tiga kali. Masing-masing Rp 1 miliar, Rp 300 juta, dan Rp 300 juta. Totalnya Rp 1,6 miliar.

 

“Terhadap kelima proyek tersebut per tanggal 31 Mei 2020 telah dinyatakan pada posisi kolektibilitas lima (macet),” tandas Dedi. Akibat macetnya kredit tersebut, BPD Jawa Tengah mengalami kerugian. Polisi mengkategorikan, kerugian itu masuk klasifikasi kerugian negara. Jumlahnya, Rp 71.279.545.538.

Pada proses penyidikan, polisi menyita sejumlah aset tersangka. Aset sitaan senilai Rp 2.681.583.434 tersebut sementara diperhitungkan sebagai asset recovery alias ganti rugi kerugian keuangan negara.

Dedi melanjutkan, kejahatan pembobolan kas BPD Jawa Tengah ternyata kembali teridentifikasi pada 2018-2019. Kali ini, pelakunya adalah tersangka Welly. Tersangka diduga sukses menggasak duit bank berkat kerjasama dengan pimpinan BPD Jawa Tengah cabang Jakarta.

Welly disebut mengajukan fasilitas kredit ke BPD Jawa Tengah cabang Jakarta sebesar Rp 57 miliar. Dana itu ditujukan membiayai tujuh proyek yang digarap perusahaan tersangka. Dokumen garansi atau jaminan yang digunakan kepada pihak bank diketahui nyaris serupa dengan tersangka Boni.

“Modus kejahatan tersangka Welly sama dengan tersangka Boni. Bedanya hanya pada nama perusahaan pemohon kredit, jumlah fasilitas kredit yang diajukan, jenis dan lokasi pekerjaan.”

Hasil penyidikan yang dibeberkan Dedi menyatakan, proses pemberian kredit atas nama tersangka Welly dilakukan tanpa mengindahkan prinsip kehati-hatian pengelolaan keuangan bank. Diabaikannya prosedur pencairan kredit diduga dipicu adanya pemberian comitment fee sebesar 1 persen dari nilai kredit.

“Terhadap seluruh proyek tersebut per 31 Mei 2020 telah dinyatakan pada posisi kolektibilitas lima (macet), sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 62.216.924.108,” urai jenderal bintang dua ini.

Ditambahkan, sejauh ini polisi sudah menyita dana Rp. 5.764.266.105 dari tangan tersangka Welly. Aset itu dimasukkan sebagai asset recovery perkara ini.

“Terhitung sejak 26 Oktober 2022, kedua tersangka menjalani penahanan tahap pertama selama 20 hari ke depan. Diharapkan berkas perkara bisa segera dilimpahkan ke tahap II,” imbuhnya. ■
]]> , Dua tersangka korupsi pembobolan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah cabang Jakarta tahun 2017- 2019 terancam kembali dijerat pasal pencucian uang.

Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo menjelaskan, penyidikan perkara korupsi fasilitas kredit Bank Jateng cabang Jakarta dikembangkan ke ranah pidana pencucian uang.

“Penyidikan tak berhenti pada perkara korupsinya saja. Namun juga mengarah pada Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” ujarnya, kemarin.

Untuk itu, penyidik masih perlu mendalami bukti-bukti dengan menggelar serangkaian pemeriksaan lanjutan. Dia pun optimis, penyidik mampu memperberat tuduhan penyelewengan yang dilakukan kedua tersangka.

Dijelaskan, dua tersangka yang dijebloskan ke tahanan adalah Direktur Utama PT Samco Indonesia, Boni Marsapatubiono dan Direktur Utama PT Mega Daya Survey Indonesia, Welly Bordus Bambang.

Kiprah kedua tersangka terungkap berdasarkan pengembangan perkara terpidana Bina Mardjani, pimpinan BPD Jawa Tengah cabang Jakarta. Dalam persidangan kasus ini, Bina Mardjani dinyatakan terbukti melakukan korupsi. Dia dihukum penjara tujuh tahun.

Diuraikan, modus operandi tersangka Boni dan Welly memohon dana BPD Jawa Tengah dilakukan dengan cara sama. Keduanya sama-sama mengajukan kredit pembiayaan fiktif pengerjaan proyek.

Hanya saja, Boni mengajukan fasilitas kredit proyek pada Bank Jateng cabang Jakarta Rp 74,5 miliar untuk pengerjaan lima proyek. Permohonan kredit tersebut pun disetujui terpidana Bina Mardjani. Saat pengajuan kredit, Boni mengagunkan atau memjaminkan Surat Perintah Kerja (SPK), cash collateral (uang jaminan/deposit), dan jaminan asuransi dari prosentase cash collateral.

Namun saat proses pemberian kredit berjalan, polisi menduga ada perbuatan melawan hukum. Tindakan tersebut meliputi ketaklengkapan dokumen kredit. Ketaklengkapan itu terkait dengan­SPK yang diduga fiktif.

Untuk memperlancar proses pencairan kredit bermasalah itu, Boni dituduh memberikan janji berupa comitment fee sebesar 1 persen dari nominal angka kredit. Dana yang dikategorikan sebagai suap diberikan Boni sebanyak tiga kali. Masing-masing Rp 1 miliar, Rp 300 juta, dan Rp 300 juta. Totalnya Rp 1,6 miliar.

 

“Terhadap kelima proyek tersebut per tanggal 31 Mei 2020 telah dinyatakan pada posisi kolektibilitas lima (macet),” tandas Dedi. Akibat macetnya kredit tersebut, BPD Jawa Tengah mengalami kerugian. Polisi mengkategorikan, kerugian itu masuk klasifikasi kerugian negara. Jumlahnya, Rp 71.279.545.538.

Pada proses penyidikan, polisi menyita sejumlah aset tersangka. Aset sitaan senilai Rp 2.681.583.434 tersebut sementara diperhitungkan sebagai asset recovery alias ganti rugi kerugian keuangan negara.

Dedi melanjutkan, kejahatan pembobolan kas BPD Jawa Tengah ternyata kembali teridentifikasi pada 2018-2019. Kali ini, pelakunya adalah tersangka Welly. Tersangka diduga sukses menggasak duit bank berkat kerjasama dengan pimpinan BPD Jawa Tengah cabang Jakarta.

Welly disebut mengajukan fasilitas kredit ke BPD Jawa Tengah cabang Jakarta sebesar Rp 57 miliar. Dana itu ditujukan membiayai tujuh proyek yang digarap perusahaan tersangka. Dokumen garansi atau jaminan yang digunakan kepada pihak bank diketahui nyaris serupa dengan tersangka Boni.

“Modus kejahatan tersangka Welly sama dengan tersangka Boni. Bedanya hanya pada nama perusahaan pemohon kredit, jumlah fasilitas kredit yang diajukan, jenis dan lokasi pekerjaan.”

Hasil penyidikan yang dibeberkan Dedi menyatakan, proses pemberian kredit atas nama tersangka Welly dilakukan tanpa mengindahkan prinsip kehati-hatian pengelolaan keuangan bank. Diabaikannya prosedur pencairan kredit diduga dipicu adanya pemberian comitment fee sebesar 1 persen dari nilai kredit.

“Terhadap seluruh proyek tersebut per 31 Mei 2020 telah dinyatakan pada posisi kolektibilitas lima (macet), sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 62.216.924.108,” urai jenderal bintang dua ini.

Ditambahkan, sejauh ini polisi sudah menyita dana Rp. 5.764.266.105 dari tangan tersangka Welly. Aset itu dimasukkan sebagai asset recovery perkara ini.

“Terhitung sejak 26 Oktober 2022, kedua tersangka menjalani penahanan tahap pertama selama 20 hari ke depan. Diharapkan berkas perkara bisa segera dilimpahkan ke tahap II,” imbuhnya. ■

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2020 - 2025. DigiBerita.com. All rights reserved |