Harapan Banyak Kalangan Perdagangan Karbon Ngogak Ribet Dan Menguntungkan.. –
6 min readDelapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menandatangani Letter of Intent (LoI) kerja sama pilot project carbon trading di lingkungan BUMN. Langkah ini dukungan nyata perusahaan pelat merah untuk menurunkan emisi.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, pilot project carbon trading yang dilakukan perusahaan pelat merah ini sebagai bentuk sosialisasi agar ketika diimplementasikan nanti benar-benar bisa berjalan dengan baik.
“Namanya pilot project pasti banyak kekurangan. Tapi dari situ, bisa di-review kekurangan dan kelebihannya apa. Sehingga ketika akan dilakukan carbon trading semuanya sudah siap secara sistem, SDM (Sumber Daya Manusia), infrastruktur dan lainnya,” beber Mamit kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia melanjutkan, selama ini Pemerintah telah melakukan harmonisasi terkait carbon trading, yang sudah dimuat dalam aturan perpajakan. Sayangnya, penerapan aturannya beberapa kali sempat tertunda.
“Tadinya (mau diterapkan) Juli, tapi mundur ke Agustus, lalu ke September juga mundur. Sekarang sampai batas waktu yang tidak ditetapkan. Karena carbon trading ini akan memberikan dampak, jadi Pemerintah harus hati-hati,” katanya.
Ia mencontohkan, penerapan aturan ini salah satunya akan berdampak pada PT PLN yang masih banyak memiliki pembangkit tua, dengan sumber batubara.
Sebab, operasional pembangkit tersebut dikhawatirkan melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam carbon trading. Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), kata dia, telah merinci aturan terkait jumlah karbon dalam ambang batas tertentu.
Kalau nanti melebih ambang batas itu, maka akan ada kewajiban yang harus dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Nah, jadi kalau ada kenaikan biaya operasional, tentu akan berdampak terhadap tarif listrik. Kalau tarif nggak naik, akan berdampak terhadap beban subsidi atau kompensasi yang diberikan Pemerintah,” warning-nya.
Kondisi pembangkit PLN, kata dia, berbeda dengan pembangkit milik IPP (Independent Power Producer), yang teknologinya hanya menghasilkan jumlah carbon lebih sedikit.
Sejauh ini, PLN sudah melakukan berbagai upaya untuk menekan emisi yang dihasilkan dari pembangkit seperti co-firing, carbon capture dan upaya-upaya lainnya.
Karenanya, wajar bila hingga saat ini Pemerintah masih mempertimbangkan banyak hal dalam menerapkan carbon trading.
“Carbon trading memang sudah ditunggu banyak pihak. Tapi bagaimana agar aturan carbon ini bisa diterapkan dengan baik. Sehingga dapat memberikan benefit dan tidak memberatkan banyak pihak,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury mengatakan, sinergitas delapan BUMN tersebut sebagai upaya untuk mendukung target penurunan emisi. Sekaligus dorongan untuk melakukan transisi energi.
Untuk itu pada tahap awal ini, perdagangan karbon masih bersifat sukarela. Sebab, hal ini sebagai bentuk persiapan dan kolaborasi perusahaan BUMN, sebelum Pemerintah resmi memberlakukan perdagangan karbon.
“Pihaknya melihat, kolaborasi antara BUMN untuk menghasilkan energi dan menurunkan emisi bisa dilakukan. BUMN juga bisa kerja sama dengan negara lain. Intinya, bagaimana BUMN bisa bersama-sama melakukan transisi energi,” ujar Pahala melalui siaran pers, Kamis (20/10).
BUMN yang dimaksud yaitu Perum Perhutani, PT Inalum, PLN, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia dan PT Semen Indonesia, sebagai pihak yang berkeinginan untuk menjual atau membeli dalam pilot project perdagangan karbon ini.
Sedangkan PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), selaku fasilitator pada pilot project perdagangan karbon.
“Kedelapan perusahaan BUMN ini, ingin berpartisipasi aktif dalam pilot project perdagangan karbon KBUMN VCM, berdasarkan pencapaian target tahunan pengurangan emisi karbon,” katanya.
Hal ini juga sejalan dengan arahan Menteri BUMN Erick Thohir, bahwa perusahaan pelat merah diharapkan menjadi pioneer dan role model dalam penerapan dekarbonisasi.
Karenanya, Kementerian BUMN pun telah membentuk Project Management Office (PMO) Dekarbonisasi pada tahun 2021.
“Tujuannya, untuk memastikan proyek strategis dan aksi korporasi ke tujuh perusahaan BUMN tadi agar dapat mendukung target dekarbonisasi,” terangnya.
Di kesempatan yang sama, Direktur Utama Pupuk Indonesia, Bakir Pasaman memastikan, pihaknya turut mendukung pilot project perdagangan karbon yang diinisiasi oleh Kementerian BUMN.
Dalam proyek ini, pihaknya akan membeli emisi dari perusahaan perkebunan, untuk menutupi emisi yang saat ini masih dihasilkan PT Pupuk.
“Ke depannya, pabrik-pabrik milik Pupuk Indonesia tidak lagi akan menghasilkan emisi karbon. Sehingga kami bisa menjadi pihak yang menjual kredit emisi karbon,” jelasnya.
Ia memaparkan, perdagangan karbon adalah transaksi jual-beli credit carbon yang telah tersertifikasi. Dalam hal ini, setiap perusahaan atau entitas diberikan batasan emisi karbon maksimum.
Nantinya, perusahaan yang telah mengendalikan emisi karbon dengan baik dan belum mencapai batasan karbon, dapat menjual credit carbon-nya ke perusahaan lain yang masih melebihi batasan karbon.
Dengan demikian, perdagangan karbon ini dapat memastikan bahwa perusahaan secara keseluruhan tidak melebihi tingkat emisi karbon dasar.
Tujuan dari perdagangan karbon adalah untuk secara bertahap mengurangi emisi karbon secara keseluruhan. “Sehingga, dapat menekan kontribusi emisi karbon terhadap perubahan iklim dunia,” terangnya. ■
]]> , Delapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menandatangani Letter of Intent (LoI) kerja sama pilot project carbon trading di lingkungan BUMN. Langkah ini dukungan nyata perusahaan pelat merah untuk menurunkan emisi.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, pilot project carbon trading yang dilakukan perusahaan pelat merah ini sebagai bentuk sosialisasi agar ketika diimplementasikan nanti benar-benar bisa berjalan dengan baik.
“Namanya pilot project pasti banyak kekurangan. Tapi dari situ, bisa di-review kekurangan dan kelebihannya apa. Sehingga ketika akan dilakukan carbon trading semuanya sudah siap secara sistem, SDM (Sumber Daya Manusia), infrastruktur dan lainnya,” beber Mamit kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia melanjutkan, selama ini Pemerintah telah melakukan harmonisasi terkait carbon trading, yang sudah dimuat dalam aturan perpajakan. Sayangnya, penerapan aturannya beberapa kali sempat tertunda.
“Tadinya (mau diterapkan) Juli, tapi mundur ke Agustus, lalu ke September juga mundur. Sekarang sampai batas waktu yang tidak ditetapkan. Karena carbon trading ini akan memberikan dampak, jadi Pemerintah harus hati-hati,” katanya.
Ia mencontohkan, penerapan aturan ini salah satunya akan berdampak pada PT PLN yang masih banyak memiliki pembangkit tua, dengan sumber batubara.
Sebab, operasional pembangkit tersebut dikhawatirkan melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam carbon trading. Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), kata dia, telah merinci aturan terkait jumlah karbon dalam ambang batas tertentu.
Kalau nanti melebih ambang batas itu, maka akan ada kewajiban yang harus dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Nah, jadi kalau ada kenaikan biaya operasional, tentu akan berdampak terhadap tarif listrik. Kalau tarif nggak naik, akan berdampak terhadap beban subsidi atau kompensasi yang diberikan Pemerintah,” warning-nya.
Kondisi pembangkit PLN, kata dia, berbeda dengan pembangkit milik IPP (Independent Power Producer), yang teknologinya hanya menghasilkan jumlah carbon lebih sedikit.
Sejauh ini, PLN sudah melakukan berbagai upaya untuk menekan emisi yang dihasilkan dari pembangkit seperti co-firing, carbon capture dan upaya-upaya lainnya.
Karenanya, wajar bila hingga saat ini Pemerintah masih mempertimbangkan banyak hal dalam menerapkan carbon trading.
“Carbon trading memang sudah ditunggu banyak pihak. Tapi bagaimana agar aturan carbon ini bisa diterapkan dengan baik. Sehingga dapat memberikan benefit dan tidak memberatkan banyak pihak,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury mengatakan, sinergitas delapan BUMN tersebut sebagai upaya untuk mendukung target penurunan emisi. Sekaligus dorongan untuk melakukan transisi energi.
Untuk itu pada tahap awal ini, perdagangan karbon masih bersifat sukarela. Sebab, hal ini sebagai bentuk persiapan dan kolaborasi perusahaan BUMN, sebelum Pemerintah resmi memberlakukan perdagangan karbon.
“Pihaknya melihat, kolaborasi antara BUMN untuk menghasilkan energi dan menurunkan emisi bisa dilakukan. BUMN juga bisa kerja sama dengan negara lain. Intinya, bagaimana BUMN bisa bersama-sama melakukan transisi energi,” ujar Pahala melalui siaran pers, Kamis (20/10).
BUMN yang dimaksud yaitu Perum Perhutani, PT Inalum, PLN, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia dan PT Semen Indonesia, sebagai pihak yang berkeinginan untuk menjual atau membeli dalam pilot project perdagangan karbon ini.
Sedangkan PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), selaku fasilitator pada pilot project perdagangan karbon.
“Kedelapan perusahaan BUMN ini, ingin berpartisipasi aktif dalam pilot project perdagangan karbon KBUMN VCM, berdasarkan pencapaian target tahunan pengurangan emisi karbon,” katanya.
Hal ini juga sejalan dengan arahan Menteri BUMN Erick Thohir, bahwa perusahaan pelat merah diharapkan menjadi pioneer dan role model dalam penerapan dekarbonisasi.
Karenanya, Kementerian BUMN pun telah membentuk Project Management Office (PMO) Dekarbonisasi pada tahun 2021.
“Tujuannya, untuk memastikan proyek strategis dan aksi korporasi ke tujuh perusahaan BUMN tadi agar dapat mendukung target dekarbonisasi,” terangnya.
Di kesempatan yang sama, Direktur Utama Pupuk Indonesia, Bakir Pasaman memastikan, pihaknya turut mendukung pilot project perdagangan karbon yang diinisiasi oleh Kementerian BUMN.
Dalam proyek ini, pihaknya akan membeli emisi dari perusahaan perkebunan, untuk menutupi emisi yang saat ini masih dihasilkan PT Pupuk.
“Ke depannya, pabrik-pabrik milik Pupuk Indonesia tidak lagi akan menghasilkan emisi karbon. Sehingga kami bisa menjadi pihak yang menjual kredit emisi karbon,” jelasnya.
Ia memaparkan, perdagangan karbon adalah transaksi jual-beli credit carbon yang telah tersertifikasi. Dalam hal ini, setiap perusahaan atau entitas diberikan batasan emisi karbon maksimum.
Nantinya, perusahaan yang telah mengendalikan emisi karbon dengan baik dan belum mencapai batasan karbon, dapat menjual credit carbon-nya ke perusahaan lain yang masih melebihi batasan karbon.
Dengan demikian, perdagangan karbon ini dapat memastikan bahwa perusahaan secara keseluruhan tidak melebihi tingkat emisi karbon dasar.
Tujuan dari perdagangan karbon adalah untuk secara bertahap mengurangi emisi karbon secara keseluruhan. “Sehingga, dapat menekan kontribusi emisi karbon terhadap perubahan iklim dunia,” terangnya. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID