Gelar Lokakarya Nasional Muhammadiyah-Aisyiyah Kupas Tuntas Masalah Kesehatan Jiwa –
6 min readMajelis Kesehatan Pimpinan Pusat PP Aisyiyah, Majelis Pembina Kesehatan Umat (MPKU) PP Muhammadiyah, dan Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) mengadakan seminar dan lokakarya nasional yang membahas berbagai permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia, di Kampus Uhamka, Jakarta, Rabu (3/8). Kegiatan ini merupakan rangkaian acara menjelang Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah pada 18-20 November 2022.
Tema seminar dan lokakarya nasional adalah “Kebijakan dan Peran Serta Organisasi Kemasyarakatan dalam Mendukung Terciptanya Kesehatan Jiwa Keluarga Indonesia dalam Mencerahkan Peradaban Bangsa”. Dalam seminar nasional ini, hadir beberapa narasumber yang membahas tema kesehatan jiwa dari perspektif pandangan keagamaan Muhammadiyah, ketahanan keluarga, psikologi, dan psikiatri.
Para narasumber yang hadir adalah Hamim Ilyas, Prof Euis Sunarti, Ely Risman Musa, dan Era Catur Prasetya. Kegiatan seminar dan lokakarya ini diikuti pimpinan, lembaga, majelis di Aisyiyah dan Muhammadiyah, MKES, MPKU serta organisasi otonomi baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota serta organisasi kemasyarakatan di tingkat nasional. “Lokakarya juga melibatkan aktivis kesehatan jiwa dan para pakar kebijakan kesehatan jiwa,” ucap Sekretaris PP Aisyiyah Rohimi Zamzam, seperti keterangan yang diterima redaksi, Kamis (4/8).
Pelaksanaan seminar nasional dan lokakarya ini didorong kepedulian Muhammadiyah terhadap tantangan kesehatan kesehatan jiwa di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi gangguan emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas meningkat 1,6 kali dari 6 persen menjadi 9,8 persen selama 2013-2018. “Begitu pula prevalensi gangguan jiwa berat meningkat 4 kali lipat dari 1,7 persen menjadi 7 persen dalam kurun waktu yang sama,” sambungnya.
Bahkan, data Aplikasi Keluarga Sehat 2015 menunjukkan 15,8 persen keluarga mempunyai gangguan jiwa berat. Indonesia juga masih menghadapi masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 84,6 triliun (77,42 triliun rupiah untuk pengobatan pribadi dan 7,2 triliun untuk biaya sosial).
Tingginya masalah kesehatan jiwa juga berkorelasi dengan masih tingginya tantangan kekerasan domestik. Data Komnas Perempuan 2019 berdasarkan catatan selama 12 tahun menunjukkan, kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat. “Begitu juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan prevalensi kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat,” terang Rohimi.
Kasus yang tercatat selama 2010-2017 sebanyak 26.954. Ironisnya, dalam kasus kekerasan terhadap anak yang berujung kematian, pelaku terbanyak adalah ibu kandung (44 persen), disusul oleh ayah dan ibu tiri (22 persen), ayah kandung (18 persen), pengasuh (8 persen), tante dan kerabat lain (8 persen). Begitu pula laporan OECDPISA 2018 yang dirilis 2019 menunjukkan bahwa 41 persen siswa di Indonesia pernah mengalami perundungan yang akan berpengaruh terhadap kualitas dan kesehatan jiwa bangsa dalam jangka panjang.
Secara khusus, Indonesia juga mengalami darurat penyimpangan seksual. Data Kementerian Kesehatan 2012 memperkirakan terdapat 1.095.970 LSL (lelaki sama lelaki) di Indonesia. Padahal, tahun 2009 jumlahnya hanya 800 ribu jiwa. Menurut Laporan LGBT Nasional Indonesia (2013), jumlah organisasi LGBT di Indonesia juga terus berkembang. Setidaknya terdapat 2 jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 dari 34 provinsi di Indonesia. Sebagian besar di antaranya aktif berperan di bidang kesehatan, media informasi, hiburan dan penyelenggaraan kegiatan sosial serta pendidikan.
Meningkatnya jaringan ini juga ditunjukkan dengan semakin gencarnya kampanye gerakan ini di media. Data Drone Emprit pada September-Oktober 2021 menunjukkan peningkatan pencarian informasi LSL di media social terus meningkat.
Berbagai tantangan yang terkait dengan kesehatan jiwa ini juga tidak dapat tertanggulangi dengan baik karena ketidaksetaraan akses terhadap layanan kesehatan jiwa. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia pada 2017 menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki 48 RSJ dan 269-unit layanan kesehatan jiwa di RSU. Di sisi lain, tenaga pemberi layanan kesehatan jiwa juga masih terbatas.
“Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa hanya tersedia 600-800 psikiater di Indonesia, yang per orang harus melayani 300.000-400.00 pasien dengan sebaran yang tidak merata. Begitu juga jumlah tenaga psikologi klinis yang berkecimpung langsung di bidang kesehatan dan rumah sakit hanya 1.143 orang pada tahun 2019. Angka ini jauh di bawah standar WHO yaitu 1 tenaga psikolog atau psikiater melayani 30 ribu orang,” paparnya.
Berbagai masalah kesehatan jiwa ini perlu mendapat perhatian khusus dan harus diselesaikan berbagai lini dengan program lintas sektor. Muhammadiyah dan Aisyiyah memiliki potensi untuk berkontribusi dalam layanan kesehatan jiwa dengan kekuatan struktur dari tingkat provinsi sampai dengan di tingkat kelurahan/desa, dan ratusan ribu Amal usaha kesehatan Muhammadiyah ‘Aisyiyah (AukesMA). “Muhammadiyah dapat melakukan banyak hal termasuk mengedukasi masyarakat, membantu peningkatan layanan kesehatan jiwa, melaksanakan program promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta terlibat dalam proses advokasi kebijakan,” tambahnya.
Rekomendasi dan program untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kesehatan jiwa akan dibahas dalam lokakarya yang dilakukan hari ini. Secara khusus lokakarya membahas konsep Rumah Sehat Jiwa yang diharapkan dapat menjadi solusi berbagai permasalahan kesehatan jiwa dengan pendekatan individu, kelompok dan komunitas. “Sebagai solusi yang tidak terpisahkan, penting juga untuk memperkuat sikap orangtua dan keluarga dalam mendidik dan mendampingi anak-anaknya agar tumbuh baik dan sehat secara fisik, mental, maupun spiritual,” tutup Rohimi.■
]]> , Majelis Kesehatan Pimpinan Pusat PP Aisyiyah, Majelis Pembina Kesehatan Umat (MPKU) PP Muhammadiyah, dan Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) mengadakan seminar dan lokakarya nasional yang membahas berbagai permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia, di Kampus Uhamka, Jakarta, Rabu (3/8). Kegiatan ini merupakan rangkaian acara menjelang Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah pada 18-20 November 2022.
Tema seminar dan lokakarya nasional adalah “Kebijakan dan Peran Serta Organisasi Kemasyarakatan dalam Mendukung Terciptanya Kesehatan Jiwa Keluarga Indonesia dalam Mencerahkan Peradaban Bangsa”. Dalam seminar nasional ini, hadir beberapa narasumber yang membahas tema kesehatan jiwa dari perspektif pandangan keagamaan Muhammadiyah, ketahanan keluarga, psikologi, dan psikiatri.
Para narasumber yang hadir adalah Hamim Ilyas, Prof Euis Sunarti, Ely Risman Musa, dan Era Catur Prasetya. Kegiatan seminar dan lokakarya ini diikuti pimpinan, lembaga, majelis di Aisyiyah dan Muhammadiyah, MKES, MPKU serta organisasi otonomi baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota serta organisasi kemasyarakatan di tingkat nasional. “Lokakarya juga melibatkan aktivis kesehatan jiwa dan para pakar kebijakan kesehatan jiwa,” ucap Sekretaris PP Aisyiyah Rohimi Zamzam, seperti keterangan yang diterima redaksi, Kamis (4/8).
Pelaksanaan seminar nasional dan lokakarya ini didorong kepedulian Muhammadiyah terhadap tantangan kesehatan kesehatan jiwa di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi gangguan emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas meningkat 1,6 kali dari 6 persen menjadi 9,8 persen selama 2013-2018. “Begitu pula prevalensi gangguan jiwa berat meningkat 4 kali lipat dari 1,7 persen menjadi 7 persen dalam kurun waktu yang sama,” sambungnya.
Bahkan, data Aplikasi Keluarga Sehat 2015 menunjukkan 15,8 persen keluarga mempunyai gangguan jiwa berat. Indonesia juga masih menghadapi masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 84,6 triliun (77,42 triliun rupiah untuk pengobatan pribadi dan 7,2 triliun untuk biaya sosial).
Tingginya masalah kesehatan jiwa juga berkorelasi dengan masih tingginya tantangan kekerasan domestik. Data Komnas Perempuan 2019 berdasarkan catatan selama 12 tahun menunjukkan, kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat. “Begitu juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan prevalensi kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat,” terang Rohimi.
Kasus yang tercatat selama 2010-2017 sebanyak 26.954. Ironisnya, dalam kasus kekerasan terhadap anak yang berujung kematian, pelaku terbanyak adalah ibu kandung (44 persen), disusul oleh ayah dan ibu tiri (22 persen), ayah kandung (18 persen), pengasuh (8 persen), tante dan kerabat lain (8 persen). Begitu pula laporan OECDPISA 2018 yang dirilis 2019 menunjukkan bahwa 41 persen siswa di Indonesia pernah mengalami perundungan yang akan berpengaruh terhadap kualitas dan kesehatan jiwa bangsa dalam jangka panjang.
Secara khusus, Indonesia juga mengalami darurat penyimpangan seksual. Data Kementerian Kesehatan 2012 memperkirakan terdapat 1.095.970 LSL (lelaki sama lelaki) di Indonesia. Padahal, tahun 2009 jumlahnya hanya 800 ribu jiwa. Menurut Laporan LGBT Nasional Indonesia (2013), jumlah organisasi LGBT di Indonesia juga terus berkembang. Setidaknya terdapat 2 jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 dari 34 provinsi di Indonesia. Sebagian besar di antaranya aktif berperan di bidang kesehatan, media informasi, hiburan dan penyelenggaraan kegiatan sosial serta pendidikan.
Meningkatnya jaringan ini juga ditunjukkan dengan semakin gencarnya kampanye gerakan ini di media. Data Drone Emprit pada September-Oktober 2021 menunjukkan peningkatan pencarian informasi LSL di media social terus meningkat.
Berbagai tantangan yang terkait dengan kesehatan jiwa ini juga tidak dapat tertanggulangi dengan baik karena ketidaksetaraan akses terhadap layanan kesehatan jiwa. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia pada 2017 menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki 48 RSJ dan 269-unit layanan kesehatan jiwa di RSU. Di sisi lain, tenaga pemberi layanan kesehatan jiwa juga masih terbatas.
“Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa hanya tersedia 600-800 psikiater di Indonesia, yang per orang harus melayani 300.000-400.00 pasien dengan sebaran yang tidak merata. Begitu juga jumlah tenaga psikologi klinis yang berkecimpung langsung di bidang kesehatan dan rumah sakit hanya 1.143 orang pada tahun 2019. Angka ini jauh di bawah standar WHO yaitu 1 tenaga psikolog atau psikiater melayani 30 ribu orang,” paparnya.
Berbagai masalah kesehatan jiwa ini perlu mendapat perhatian khusus dan harus diselesaikan berbagai lini dengan program lintas sektor. Muhammadiyah dan Aisyiyah memiliki potensi untuk berkontribusi dalam layanan kesehatan jiwa dengan kekuatan struktur dari tingkat provinsi sampai dengan di tingkat kelurahan/desa, dan ratusan ribu Amal usaha kesehatan Muhammadiyah ‘Aisyiyah (AukesMA). “Muhammadiyah dapat melakukan banyak hal termasuk mengedukasi masyarakat, membantu peningkatan layanan kesehatan jiwa, melaksanakan program promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta terlibat dalam proses advokasi kebijakan,” tambahnya.
Rekomendasi dan program untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kesehatan jiwa akan dibahas dalam lokakarya yang dilakukan hari ini. Secara khusus lokakarya membahas konsep Rumah Sehat Jiwa yang diharapkan dapat menjadi solusi berbagai permasalahan kesehatan jiwa dengan pendekatan individu, kelompok dan komunitas. “Sebagai solusi yang tidak terpisahkan, penting juga untuk memperkuat sikap orangtua dan keluarga dalam mendidik dan mendampingi anak-anaknya agar tumbuh baik dan sehat secara fisik, mental, maupun spiritual,” tutup Rohimi.■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID