FGD Fraksi Golkar MPR Bamsoet: Bentuk Hukum PPHN Ditentukan Bersama Seluruh Fraksi MPR dan DPD –
6 min readKetua MPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan, hingga saat ini MPR belum menentukan pilihan bentuk hukum terhadap Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Dalam Rapat Pimpinan MPR pada 30 Agustus lalu baru ada kesepakatan akan mengusulkan jadwal Sidang Paripurna MPR pada 3 Oktober 2022 kepada Forum Rapat Gabungan MPR yang akan digelar pada akhir September 2022 dengan agenda tunggal pengambilan keputusan pembentukkan Panitia Ad Hoc.
Hal itu disampaikan Bamsoet, sapaan akrab Bambang, saat menghadiri Focus Group Discussion (FGD) ‘Urgensi Pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara’, yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar MPR, di Kompleks MPR, Jakarta, Kamis (8/9). FGD ini dihadiri Ketua Fraksi Partai Golkar MPR Idris Laena, Sekretaris Fraksi Partai Golkar MPR Ferdiansyah, dan Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR Adies Kadir. Hadir pula dari Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR antara lain Wakil Ketua Rambe Kamarul Zaman, dan para anggota antara lain Rully Chairul Azwar dan Andi Mattalatta, pakar hukum tata negara Refly Harun serta Direktur Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari.
Sesuai ketentuan Pasal 34 Tata Tertib MPR, kata Bamsoet, pembentukan Panitia Ad Hoc MPR dilakukan dalam Sidang Paripurna MPR. Sidang Paripurna MPR dengan agenda tunggal pembentukan Panitia Ad Hoc MPR akan diawali dengan penjelasan Pimpinan MPR dan Pemandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD, sesuai dengan ketentuan Pasal 87 Tata Tertib MPR yang mengatur mengenai tata cara pembentukan Keputusan MPR.
Ketua DPR ke-20 menjelaskan, Panitia Ad Hoc MPR yang akan diputuskan pembentukannya itu bertugas menyiapkan rancangan Keputusan MPR tentang bentuk hukum dan rancangan PPHN tanpa melalui mekanisme Amandemen UUD NRI 1945. Sidang Paripurna tersebut akan menjadi Sidang Paripurna yang pertama kali diselenggarakan MPR sejak Reformasi bergulir, di luar Sidang Paripurna rutin seperti pelantikan presiden/wakil presiden maupun Sidang Tahunan. Sidang Paripurna diselenggarakan sebagai tindak lanjut atas kesepakatan Rapat Gabungan pada 25 Juli 2022, saat seluruh Fraksi dan Kelompok DPD telah menerima hasil kajian substansi dan bentuk hukum PPHN yang dilakukan Badan Pengkajian MPR.
Bamsoet menjelaskan, pembentukan Keputusan MPR dilakukan melalui tiga tingkat pembicaraan. Tingkat I, pembahasan oleh Sidang Paripurna yang didahului oleh penjelasan Pimpinan MPR, dilanjutkan Pemandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD. Tingkat II, pembahasan oleh Panitia Ad Hoc terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I. Hasil pembahasan pada tingkat II ini merupakan Rancangan Keputusan MPR.
“Serta Tingkat III, pengambilan keputusan oleh Sidang Paripurna setelah mendengar laporan Pimpinan Panitia Ad Hoc, dan bilamana perlu dengan kata akhir dari Fraksi dan Kelompok DPD. Pembicaraan Tingkat III untuk mengambil keputusan tentang bentuk hukum dan rancangan PPHN bisa saja waktunya dilakukan setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden 14 Februari 2024, sehingga kondisi politik sudah jauh lebih tenang dan kondusif,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menegaskan, pilihan bentuk hukum PPHN apapun nantinya yang diambil, tergantung dinamika pembahasan di Panitia Ad Hoc, yang bertugas menyiapkan rancangan keputusan MPR mengenai bentuk hukum dan substansi PPHN.
“Dalam laporan Badan Pengkajian MPR juga menjelaskan bahwa PPHN yang diatur melalui Ketetapan MPR memiliki kedudukan hukum yang kuat. Sebab, dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Ketetapan MPR berada di atas Undang-Undang. Dengan demikian, sesuai dengan kaidah hukum, setiap peraturan perundang-undangan harus selalu berkesesuaian dengan Ketetapan MPR. Kelebihan lainnya adalah Ketetapan MPR tidak dapat dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi maupun digantikan oleh Perppu,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI ini menerangkan, pilihan bentuk hukum lainnya terhadap PPHN, menurut Badan Pengkajian MPR, yakni melalui Undang-Undang. Mengingat Indonesia adalah negara hukum yang konstitusional dan demokratis. Dengan demikian, segenap peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memiliki daya ikat yang sama.
“Berbagai pilihan bentuk hukum tersebut, masing-masing terdapat kekurangan dan kelebihan. Pilihan bentuk hukum PPHN manapun akan diambil, apakah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, diatur melalui Ketetapan MPR atau diatur melalui Undang-Undang, atau melalui terobosan lain seperti konvensi ketatanegaraan yang dapat dilakukan tanpa amandemen, seluruhnya tergantung kesepakatan fraksi dan kelompok DPD yang nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam Panitia Ad Hoc yang akan dibentuk MPR, yang keanggotaannya memperhatikan proporsionalitas dari Fraksi dan Kelompok DPD,” pungkas Bamsoet.■
]]> , Ketua MPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan, hingga saat ini MPR belum menentukan pilihan bentuk hukum terhadap Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Dalam Rapat Pimpinan MPR pada 30 Agustus lalu baru ada kesepakatan akan mengusulkan jadwal Sidang Paripurna MPR pada 3 Oktober 2022 kepada Forum Rapat Gabungan MPR yang akan digelar pada akhir September 2022 dengan agenda tunggal pengambilan keputusan pembentukkan Panitia Ad Hoc.
Hal itu disampaikan Bamsoet, sapaan akrab Bambang, saat menghadiri Focus Group Discussion (FGD) ‘Urgensi Pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara’, yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar MPR, di Kompleks MPR, Jakarta, Kamis (8/9). FGD ini dihadiri Ketua Fraksi Partai Golkar MPR Idris Laena, Sekretaris Fraksi Partai Golkar MPR Ferdiansyah, dan Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR Adies Kadir. Hadir pula dari Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR antara lain Wakil Ketua Rambe Kamarul Zaman, dan para anggota antara lain Rully Chairul Azwar dan Andi Mattalatta, pakar hukum tata negara Refly Harun serta Direktur Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari.
Sesuai ketentuan Pasal 34 Tata Tertib MPR, kata Bamsoet, pembentukan Panitia Ad Hoc MPR dilakukan dalam Sidang Paripurna MPR. Sidang Paripurna MPR dengan agenda tunggal pembentukan Panitia Ad Hoc MPR akan diawali dengan penjelasan Pimpinan MPR dan Pemandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD, sesuai dengan ketentuan Pasal 87 Tata Tertib MPR yang mengatur mengenai tata cara pembentukan Keputusan MPR.
Ketua DPR ke-20 menjelaskan, Panitia Ad Hoc MPR yang akan diputuskan pembentukannya itu bertugas menyiapkan rancangan Keputusan MPR tentang bentuk hukum dan rancangan PPHN tanpa melalui mekanisme Amandemen UUD NRI 1945. Sidang Paripurna tersebut akan menjadi Sidang Paripurna yang pertama kali diselenggarakan MPR sejak Reformasi bergulir, di luar Sidang Paripurna rutin seperti pelantikan presiden/wakil presiden maupun Sidang Tahunan. Sidang Paripurna diselenggarakan sebagai tindak lanjut atas kesepakatan Rapat Gabungan pada 25 Juli 2022, saat seluruh Fraksi dan Kelompok DPD telah menerima hasil kajian substansi dan bentuk hukum PPHN yang dilakukan Badan Pengkajian MPR.
Bamsoet menjelaskan, pembentukan Keputusan MPR dilakukan melalui tiga tingkat pembicaraan. Tingkat I, pembahasan oleh Sidang Paripurna yang didahului oleh penjelasan Pimpinan MPR, dilanjutkan Pemandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD. Tingkat II, pembahasan oleh Panitia Ad Hoc terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I. Hasil pembahasan pada tingkat II ini merupakan Rancangan Keputusan MPR.
“Serta Tingkat III, pengambilan keputusan oleh Sidang Paripurna setelah mendengar laporan Pimpinan Panitia Ad Hoc, dan bilamana perlu dengan kata akhir dari Fraksi dan Kelompok DPD. Pembicaraan Tingkat III untuk mengambil keputusan tentang bentuk hukum dan rancangan PPHN bisa saja waktunya dilakukan setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden 14 Februari 2024, sehingga kondisi politik sudah jauh lebih tenang dan kondusif,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menegaskan, pilihan bentuk hukum PPHN apapun nantinya yang diambil, tergantung dinamika pembahasan di Panitia Ad Hoc, yang bertugas menyiapkan rancangan keputusan MPR mengenai bentuk hukum dan substansi PPHN.
“Dalam laporan Badan Pengkajian MPR juga menjelaskan bahwa PPHN yang diatur melalui Ketetapan MPR memiliki kedudukan hukum yang kuat. Sebab, dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Ketetapan MPR berada di atas Undang-Undang. Dengan demikian, sesuai dengan kaidah hukum, setiap peraturan perundang-undangan harus selalu berkesesuaian dengan Ketetapan MPR. Kelebihan lainnya adalah Ketetapan MPR tidak dapat dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi maupun digantikan oleh Perppu,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI ini menerangkan, pilihan bentuk hukum lainnya terhadap PPHN, menurut Badan Pengkajian MPR, yakni melalui Undang-Undang. Mengingat Indonesia adalah negara hukum yang konstitusional dan demokratis. Dengan demikian, segenap peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memiliki daya ikat yang sama.
“Berbagai pilihan bentuk hukum tersebut, masing-masing terdapat kekurangan dan kelebihan. Pilihan bentuk hukum PPHN manapun akan diambil, apakah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, diatur melalui Ketetapan MPR atau diatur melalui Undang-Undang, atau melalui terobosan lain seperti konvensi ketatanegaraan yang dapat dilakukan tanpa amandemen, seluruhnya tergantung kesepakatan fraksi dan kelompok DPD yang nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam Panitia Ad Hoc yang akan dibentuk MPR, yang keanggotaannya memperhatikan proporsionalitas dari Fraksi dan Kelompok DPD,” pungkas Bamsoet.■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID