Eksklusif Dengan Dirut Pertamina, Nicke Widyawati Kami Aktif Mengembangkan Bisnis Baru EBT –
22 min readPT Pertamina (Persero) telah menyatakan komitmen untuk mendukung Pemerintah mencapai target Net Zero Emission (NZE) tahun 2060. Untuk merealisasikan dukungan itu, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan di tengah tantangan krisis energi serta ekonomi global. Sementara, Pertamina merupakan ujung tombak dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri.
Seperti apa program dan strategi perusahaan pelat merah itu untuk mendukung target NZE? Berikut ini wawancara Direktur Utama Rakyat Merdeka/CEO RM Group Kiki Iswara dengan Direktur Utama Nicke Widyawati di Jakarta, belum lama ini.
Apa rencana strategis Pertamina dalam mendorong Net Zero Emission?
Pertamina berambisi menjadi perusahaan energi global terkemuka dan bereputasi baik serta diakui sebagai Environmentally Friendly Company, Socially Responsibility Company, and Good Governance Company. Hal itu menjadi komitmen Pertamina untuk menerapkan Kerangka Environment, Sustainability, & Governance(ESG) di semua lini bisnis perusahaan, untuk mendorong keberlanjutan bisnis di masa depan. Sebagai perusahaan energi, Pertamina memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pilar pencapaian NZE di Indonesia, dengan prinsip keterjangkauan dan kewajaran, affordability and fairness.
Untuk mencapai aspirasi Net-Zero, Pertamina telah mengembangkan strategi holistik yang disampaikan melalui 2 pilar dan 3 enabler. Kedua pilar utama tersebut, pertama, upaya dekarbonisasi dalam aktivitas bisnis dan pengembangan Bisnis Hijau baru. Sedangkan 3 enabler yang akan mendukung rencana Pertamina dalam mendorong NJE, yaitu pertama, mengembangkan standar penghitungan karbon yang telah disetujui oleh regulasi nasional dan internasional, serta penerapan Carbon Pricing, dimulai dari internal Pertamina. Kedua, membangun organisasi keberlanjutan yang akan mengawasi bisnis Pertamina berada di jalur yang benar untuk tujuan Net Zero Roadmap. Dan ketiga, keterlibatan pemangku kepentingan untuk sepenuhnya mendukung target dan komitmen NZE Nasional.
Dalam mengembangkan energi bersih, apa yang bisa kita harapkan di Indonesia dalam 5 tahun ke depan?
Sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Energi Indonesia (RUEN), Indonesia menargetkan komposisi energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2025 mencapai 23 persen dari total kapasitas terpasang, yang hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kapasitas terpasang 2022 yang hanya sekitar 15 persen.
Saat ini pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh batubara dan gas. Namun seperti yang tertuang dalam komitmen NZE Indonesia pada tahun 2060, Indonesia akan mengganti penggunaan batubara dengan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan yang sebagian besar berasal dari tenaga surya, hidro, dan angin.
Pertamina sebagai Perusahaan Energi, juga aktif berpatisipasi untuk transisi energi di Indonesia tersebut. Sesuai dengan salah satu pilar dalam Strategy NZE Pertamina, kami mengembangkan Bisnis Baru dari RBT yang lebih hijau. Antara lain: meng-upgrade kilang Pertamina untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan, pengembangan lebih lanjut Bioenergi dalam bentuk biomassa dan bioetanol, mengoptimalkan potensi dan meningkatkan kapasitas panas bumi terpasang serta komersialisasi hidrogen.
Selain itu, Pertamina mengambil peran strategis dalam ekosistem baterai yang terintegrasi dan penyimpanan energi di Indonesia. Kami juga memperkuat gasifikasi terintegrasi kami, membantu pelanggan kami di sektor transportasi, rumah tangga, dan industri untuk mengurangi emisi. Di bidang pembangkit listrik, kami terus meningkatkan pemanfaatan proyek EBT serta rendah karbon yang memungkinkan kami mengurangi jejak karbon. Kami terus berupaya untuk menerapkan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dalam peningkatan produksi beberapa ladang minyak dan gas.
Menurut Anda, apa tantangan dalam mempercepat transisi energi di Indonesia?
Mengingat posisi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, transisi energi juga harus menjamin keterjangkauan energi bagi masyarakat, affordability of energy. Ada tiga tantangan utama dalam transisi energi, yaitu kesiapan teknologi, aspek pembiayaan, serta akses dan infrastruktur. Namun yang kami perlukan dukungan penuh terutama di bidang technology and financing dengan kerja sama global dari negara-negara maju.
Indonesia harus mampu mengejar perkembangan teknologi terkini dan mereformasi kebijakan untuk lebih mendukung pengembangan sumber EBT. Perlu adanya kolaborasi global dari negara maju agar terjadi transfer pengetahuan dan teknologi.
Teknologi dan komponen yang diperlukan untuk energi terbarukan seperti pembangkit tenaga matahari, angin, dan pasang surut, juga masih bergantung pada negara maju. Biaya teknologi untuk EBT masih lebih tinggi daripada bahan bakar fosil. Itulah sebabnya, kami terbuka untuk kemitraan dan kolaborasi, guna mendorong inovasi dan menurunkan biaya teknologi.
Transisi energi merupakan tantangan bagi semua. Tetapi juga harus dilihat sebagai peluang untuk menciptakan masa depan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan menerapkan skenario dan roadmap yang kuat, terutama untuk aspek pembiayaan.
Untuk mengatasi masalah pembiayaan, diharapkan lebih banyak investasi akan masuk, baik internasional maupun domestik, untuk meningkatkan mekanisme pembiayaan global dalam mendukung proyek transisi energi dan dekarbonisasi. Diperlukan kebijakan dalam hal kemudahan dan insentif untuk EBT, agar investor lebih tertarik masuk ke Indonesia.
Tantangan lainnya?
Kesiapan SDM. Akan muncul peluang kerja baru dengan adanya transisi energi. Namun, dengan penurunan produksi dan demand energi fosil secara bertahap, akan terjadi perubahan dalam penciptaan lapangan kerja di bidang sektor minyak dan gas. Berdasarkan data dari SKK Migas, ada sekitar 22.600 pekerja langsung di sektor hulu. Ini belum termasuk di sektor hilir, seperti pengolahan, distribusi, pemasaran hingga lembaga penyalur, dan industry pendukung lainnya. Jika kita bicara tentang kendaraan listrik saja, ada sekitar 1,5 juta tenaga kerja dalam mata rantai industri otomotif saat ini, yang mungkin akan terdampak.
Untuk itu, transisi energi harus disiapkan dengan memastikan kemampuan sumber daya manusia untuk mengakomodasi perubahan. Misalnya, transfer of knowledge, upskilling & workshop. Transisi tenaga kerja harus dipercepat sebagai upaya antisipasi dampak langsung mapun tidak langsung terhadap sektor tenaga kerja. Oleh karena itu, penting untuk melakukan perencanaan tenaga kerja strategis secara jangka panjang, menetapkan berbagai kebijakan dan peraturan untuk mendukung peningkatan keterampilan tenaga kerja yang inklusif untuk menghadapi transisi energi.
Selain itu, kondisi geografis Indonesia, juga menjadi tantangan tersendiri. Konsep interkoneksi tidak tepat untuk diterapkan dalam proses transisi energi di dalam negeri, mengingat kondisi geografis. Konsep interkoneksi akan menjadikan proses transisi energi lebih mahal dan keandalan pasokan menjadi tidak terjamin. Maka yang harus didorong, selain industri harus kita garap untuk transisi, kita juga harus membangun desentralisasi. Jadi kemandirian energi di daerah yang menggunakan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut.
Bagaimana Pertamina mempromosikan ketahanan energi Indonesia? Sementara pada saat yang sama mempercepat transisi…
Terdapat lima aspek yang dibutuhkan dalam ketahanan energi. Yaitu Availability, Accessibility, Affordability, Acceptability, dan Sustainability. Dengan kelima aspek itu, energi fosil tetap berjalan paralel dengan program bauran energi. Sebagai catatan, Indonesia menargetkan komposisi EBT pada tahun 2025 mencapai 23 persen dari total kapasitas terpasang, dan 31 persen pada 2050. Hari ini produk renewable energy di Pertamina masih 3 persen akan ditingkatkan jadi 17 persen pada 2030. Saat ini, dominasi Indonesia sisanya dari fosil, yaitu BBM dan gas. Jadi Pertamina harus tetap menyediakannya, namun Pertamina memiliki program dekarbonisasi.
Transisi energi harus direncanakan dengan baik untuk memastikan keamanan energi dan aksesibilitas energi bagi seluruh masyarakat tetap terjaga. Pertamina akan mempercepat transisi energi menuju penggunaan energi yang berkelanjutan, memastikan transisi yang adil dan terjangkau, serta meningkatkan ketahanan energi.
Pertamina terus berupaya memaksimalkan kinerja operasi dalam rangka menjaga ketahanan energi nasional. Capaian unggul operasional terlihat nyata di sektor hulu, Pertamina mampu meningkatkan produksi migas sebesar 965 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD) dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu sebesar 850 MBOEPD.
Dari sisi hilir, kami berupaya mempertahankan intake sesuai rencana optimasi hilir, meningkatkan keandalan melalui program preventive, predictive, maintenance dan turn around, serta pengembangan dan pembangunan kilang sesuai amanat pemerintah melalui proyek RDMP dan GRR.
Optimasi operasional juga dilakukan oleh lini bisnis lainnya. Subholding Power, New & Renewable Energy (PNRE) Pertamina berupaya memaksimalkan produksi listrik melalui peningkatan aktivitas pada fasilitas produksi dan sarana pendukung. Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Tenaga Panas Bumi, sekaligus berupaya maksimal menekan unplanned shutdown.
Subholding Gas Pertamina berupaya memaksimalkan operasional dengan menggulirkan beragam program. Di antaranya PGN Sayang Ibu dan PGN Masuk Desa. Subholding Gas juga terus menjalankan operational excellence, meningkatkan cost optimization program, serta meningkatkan kapasitas jaringan gas dan trading LNG.
Sementara itu, Subholding Integrated Marine & Logistics Pertamina terus meningkatkan sinergi dengan berbagai stakeholder, baik internal maupun eksternal. Dengan mengusung green marine logistics, subholding yang dinakhodai oleh PT Pertamina Internasional Shipping (PIS) ini agresif mengembangkan pasar regional.
Yang tidak kalah penting dan selama ini menjadi garda terdepan distribusi energi ke seluruh pelosok negeri adalah upaya optimasi operasional yang dilakukan oleh Subholding Trading & Commercial melalui beragam intensif program. Seperti BBM Satu Harga, Pertashop, OVOO, Pertamina One Solution, MyPertamina, NFR, Ecosystem EV, serta Subsidi Tepat Sasaran.
Dengan digitalisasi, salah satunya melalui Pertamina Integrated Enterprise Data and Command Center (PIEDCC), kami mampu melihat kesiapan dan kesiagaan dalam menyalurkan energi dari hulu hingga hilir hingga pelosok Tanah Air, secara real time.
Kami melihat Pertamina cukup agresif bekerja sama dengan perusahaan global dalam mengembangkan bisnis baru yang ramah lingkungan. Bagaimana kerja sama ini menguntungkan Pertamina?
Melalui Subholding PT Pertamina Power Indonesia (PT PPI), Pertamina bertujuan untuk menjadi salah satu produsen Energi Baru dan Terbarukan (EBT) utama di Indonesia. Pertamina sudah berkomitmen untuk mengembangkan Bisnis Hijaunya dengan investasi besar-besaran. Bekerja sama dengan perusahaan global, PT PPI melakukan akuisisi dan kemitraan (kerja sama) dengan perusahaan EBT yang sudah ada, hal ini dimaksudkan untuk transfer of knowledge dan mempercepat penetrasi bisnis EBT. Salah satu contohnya adalah Joint Study Agreement (JSA) antara PPI dan Pondera dalam kerja sama ‘Integrated Offshore Wind Energy & Hydrogen Production Facility’. JSA ini merupakan tindak lanjut dari pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
Kerja sama lainnya adalah JSA antara Pertamina (Persero), PEP dan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation (JOGMEC). Dalam kerja sama ini, Pertamina dan Jogmec berkolaborasi dalam kegiatan CO2 Injection di Lapangan Jatibarang melalui studi bersama tahap awal untuk lebih mendukung Full Field Scale CO2-EOR sebagai metode untuk meningkatkan produksi crude dan mengurangi emisi karbon dioksida di Lapangan Jatibarang, Jawa Barat.
Selain itu, Pertamina juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti dengan ExxonMobil untuk mengkaji penerapan teknologi Carbon Capture & Storage(CCS) dan Carbon Capture, Utilization & Storage (CCUS), juga dengan Chiyoda Corporation (Chiyoda) dalam kerja sama studi aplikasi teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), dan produksi hydrogen.
Pertamina juga menjalin kerja sama dengan Masdar, anak usaha Mubadala dari UAE, dalam pengembangan PLTS, serta Pondera dari Belanda, dalam pengembangan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu). Juga dengan ACWA Power Arab Saudi dalam kerja sama Pengembangan Energi Hijau.
Kerja sama dengan Perhutani terkait Nature Based Solutions, Pertamina dan Jababeka sepakat untuk melakukan kerja sama dalam identifikasi dan evaluasi pengembangan Green Industrial Estate. Pertamina dengan PT PLN (Persero) dan PT Pupuk Indonesia (Persero), juga melakukan kerja sama pengembangan Green Industry Cluster di Indonesia.
Kerja sama Pertamina dengan Inpex Corporation (Inpex) berencana menjajaki peluang pengembangan bersama pasokan Clean-LNG dan Clean-Gas dari terminal LNG Bontang. Kerja sama dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) dan Mitsubishi Coorporation, dalam pengembangan Blue/Green Hydrogen dan Blue/Green Ammonia di Indonesia.
Kolaborasi dengan berbagai perusahaan, baik nasional maupun global, diperlukan untuk mencapai target NZE. Terutama untuk mengatasi tantangan transisi energi dari sisi investasi, operasional, dan belanja modal.
Pertamina menjalankan operasi dan bisnis migas terintegrasi secara masif. Bagaimana penerapan dekarbonisasi di Pertamina?
Untuk memastikan implementasi dekarbonisasi, Pertamina telah mengembangkan Key Performance Indicator (KPI) pada seluruh Subholding-nya untuk mencapai target dekarbonisasi. Perencanaan jangka panjang Pertamina juga sudah sejalan dengan pengembangan Bisnis Hijau dan inisiatif dekarbonisasinya.
Pertamina mengalokasikan CAPEX (Capital Expenditure) sebesar 14 persen untuk Energi Bersih, Baru, dan Terbarukan (EBT). Komitmen Pertamina ini sejalan dengan upaya pemanfaatan sumber daya dalam negeri untuk memasok energi dalam negeri menuju pembangunan hijau dan dekarbonisasi. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata investasi International Oil Company di EBT sebesar 4,3 persen. Pertamina menargetkan untuk meningkatkan bauran produk EBT dari 1 persen pada tahun 2021 menjadi 17 persen pada tahun 2030.
Pertamina juga sudah melaksanakan program penurunan emisi yang mengacu pada Indonesia Nationally Determined Contribution (NDC): Pencapaian Penurunan Emisi Pertamina 2010-2021 sudah mencapai 29 persenmencapai target 2030 dari NDC Indonesia.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kami telah menyusun roadmap untuk target NZE sesuai dengan target pemerintah, yaitu 2060 atau lebih cepat. Roadmap Pertamina NZE ini mencakup rencana strategis jangka panjang perusahaan yang selaras dengan aspirasi dekarbonisasi dan bisnis energi bersih dan hijau.
Seberapa penting keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan Net-Zero?
Keterlibatan masyarakat juga memainkan peran kunci dalam Pertamina Renewable Business, karena pada akhirnya pelangganlah yang akan memilih produk yang akan mereka gunakan. Pertamina akan berkolaborasi dengan setiap komunitas dan memberikan edukasi kepada pelanggannya mengenai produk Green Business baru. Pertamina juga terus menjaga keterlibatan masyarakat, dengan target meningkatkan akses berbasis masyarakat terhadap energi bersih dan modern di Indonesia, sesuai dengan SDGs nomor 1, 4, 7, 14, dan 15.
Untuk memastikan kegiatan terkait keberlanjutan Sosial & Lingkungan tetap berjalan dengan baik dan mendukung Net Zero Emission, Pertamina memiliki kerangka kerja berupa empat pendekatan adaptasi dan mitigasi berbasis masyarakat. Pertama, penghijauan, yaitu program peningkatan dan pemeliharaan tutupan vegetasi, termasuk program budidaya mangrove. Hal ini juga akan mendorong target NZE melalui nature based Solutions.
Kedua, penggunaan EBT, konservasi dan penghematan energi dalam pembangunan masyarakat seperti elektrifikasi desa menggunakan PLTS dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Ketiga, pengelolaan limbah, dengan pemanfaatan limbah padat dan cair yang digunakan untuk pupuk dan energi. Dan keempat, budidaya pertanian dengan emisi GRK rendah dan pencegahan kebakaran hutan lahan.
Dukungan apa yang Anda butuhkan dari Pemerintah dan pemangku kepentingan utama lainnya dalam mendorong Net-Zero?
Kebijakan Pemerintah yang efektif diperlukan untuk mencapai mencapai NZE, dan untuk membantu memperkuat ketahanan iklim di seluruh negara. Pemerintah dan pemangku kepentingan utama lainnya dapat membantu mempercepat kemajuan dengan memastikan beberapa program. Seperti, pertama, program penelitian dan pengembangan teknologi pemerintah, yang dapat mendorong kemajuan dalam tekpnologi energi bersih dan membawanya ke penggunaan komersial. Kedua, program sukarela, seperti Pahlawan Energi di Indonesia, bekerja sama dengan bisnis untuk mengurangi emisi, seringkali dengan pengakuan publik.
Ketiga, penerapan regulasi, seperti efisiensi bahan bakar dan standar emisi untuk mobil dan truk, mengharuskan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi energi atau mengurangi emisi dalam operasi mereka sendiri atau pada barang yang mereka hasilkan. Keempat, peraturan yang mendorong penurunan emisi karbon, seperti carbon-tax atau program cap-and-trade atau penetapan carbon pricing. Dan kelima, kemudahan agar semakin banyak investasi yang masuk, baik internasional maupun domestik, sehingga dapat mempercepat pengembangan teknologi reduksi carbon print.
Sebagai Chair Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20, menjadi peran kami untuk menyampaikan pandangan dari pelaku bisnis untuk mendukung transisi energi melalui penyampaian rekomendasi kebijakan kepada pemimpin di G20. Serta, TF ESC diharapkan menjadi jembatan koordinasi antara pelaku usaha dan stakeholder, dan katalis untuk kerja sama dan kolaborasi dalam mencapai tujuan dan target transisi energi.
Tim B20 ESC adalah salah satu Task Force dari 7 TF B20 dengan 8 Co-Chairs dari global industri energi dan 150+ eksekutif dari negara-negara G20 sebagai Member. TF ESC didukung oleh knowledge partners dan network partners dalam merumuskan rekomendasi kebijakan dan aksi bisnis yang komprehensif.
Peran Task Force Energy, Sustainability, & Climate di Business-20 adalah menyampaikan pandangan dari kaca mata pelaku bisnis untuk mendukung transisi energi melalui penyampaian Policy Recommendation kepada pemimpin di G20. TF ESC diharapkan menjadi jembatan dalam koordinasi antara pelaku usaha dan stakeholder, dan katalis untuk kerja sama dan kolaborasi dalam mencapai tujuan dan target transisi energi.
Ada tiga pilar Policy Recommendation yang dapat kami sampaikan. Pertama, mempercepat transisi ke penggunaan energi berkelanjutan dengan mengurangi intensitas karbon. Hal ini dapat dicapai dengan efisiensi energi, pengurangan penggunaan pembangkit listrik yang tidak efisien, mitigasi emisi pada sektor yang sulit dikurangi, kemudahan akses pembiayaan, dan inovasi dalam teknologi. Kedua, memastikan transisi yang adil, teratur, dan terjangkau menuju penggunaan energi yang berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai dengan fokus pada 4 bidang utama: transisi yang teratur dalam sumber energi primer, partisipasi UMKM dalam transisi energi, kesiapan transisi tenaga kerja, dan praktik pertambangan yang berkelanjutan.
Transisi energi tidak boleh melupakan ketahanan energi, dan terjangkau oleh masyarakat. Ada ekosistem dan bisnis yang juga harus diperhatikan. Dan ketiga, meningkatkan akses masyarakat untuk mengkonsumsi energi bersih dan modern. Hal ini dapat didukung dengan menerapkan solusi energi terintegrasi, akses energi bersih ke rumah tangga dan UMKM, dan transisi dengan cakupan yang lebih luas dengan melibatkan komunitas. Indonesia memiliki tantangan dengan lebih dari 17.000 pulau. Sehingga harus didorong ketahanan energi lokal yang menggunakan sumber energi dari setip wilayah.
]]> , PT Pertamina (Persero) telah menyatakan komitmen untuk mendukung Pemerintah mencapai target Net Zero Emission (NZE) tahun 2060. Untuk merealisasikan dukungan itu, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan di tengah tantangan krisis energi serta ekonomi global. Sementara, Pertamina merupakan ujung tombak dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri.
Seperti apa program dan strategi perusahaan pelat merah itu untuk mendukung target NZE? Berikut ini wawancara Direktur Utama Rakyat Merdeka/CEO RM Group Kiki Iswara dengan Direktur Utama Nicke Widyawati di Jakarta, belum lama ini.
Apa rencana strategis Pertamina dalam mendorong Net Zero Emission?
Pertamina berambisi menjadi perusahaan energi global terkemuka dan bereputasi baik serta diakui sebagai Environmentally Friendly Company, Socially Responsibility Company, and Good Governance Company. Hal itu menjadi komitmen Pertamina untuk menerapkan Kerangka Environment, Sustainability, & Governance(ESG) di semua lini bisnis perusahaan, untuk mendorong keberlanjutan bisnis di masa depan. Sebagai perusahaan energi, Pertamina memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pilar pencapaian NZE di Indonesia, dengan prinsip keterjangkauan dan kewajaran, affordability and fairness.
Untuk mencapai aspirasi Net-Zero, Pertamina telah mengembangkan strategi holistik yang disampaikan melalui 2 pilar dan 3 enabler. Kedua pilar utama tersebut, pertama, upaya dekarbonisasi dalam aktivitas bisnis dan pengembangan Bisnis Hijau baru. Sedangkan 3 enabler yang akan mendukung rencana Pertamina dalam mendorong NJE, yaitu pertama, mengembangkan standar penghitungan karbon yang telah disetujui oleh regulasi nasional dan internasional, serta penerapan Carbon Pricing, dimulai dari internal Pertamina. Kedua, membangun organisasi keberlanjutan yang akan mengawasi bisnis Pertamina berada di jalur yang benar untuk tujuan Net Zero Roadmap. Dan ketiga, keterlibatan pemangku kepentingan untuk sepenuhnya mendukung target dan komitmen NZE Nasional.
Dalam mengembangkan energi bersih, apa yang bisa kita harapkan di Indonesia dalam 5 tahun ke depan?
Sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Energi Indonesia (RUEN), Indonesia menargetkan komposisi energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2025 mencapai 23 persen dari total kapasitas terpasang, yang hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kapasitas terpasang 2022 yang hanya sekitar 15 persen.
Saat ini pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh batubara dan gas. Namun seperti yang tertuang dalam komitmen NZE Indonesia pada tahun 2060, Indonesia akan mengganti penggunaan batubara dengan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan yang sebagian besar berasal dari tenaga surya, hidro, dan angin.
Pertamina sebagai Perusahaan Energi, juga aktif berpatisipasi untuk transisi energi di Indonesia tersebut. Sesuai dengan salah satu pilar dalam Strategy NZE Pertamina, kami mengembangkan Bisnis Baru dari RBT yang lebih hijau. Antara lain: meng-upgrade kilang Pertamina untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan, pengembangan lebih lanjut Bioenergi dalam bentuk biomassa dan bioetanol, mengoptimalkan potensi dan meningkatkan kapasitas panas bumi terpasang serta komersialisasi hidrogen.
Selain itu, Pertamina mengambil peran strategis dalam ekosistem baterai yang terintegrasi dan penyimpanan energi di Indonesia. Kami juga memperkuat gasifikasi terintegrasi kami, membantu pelanggan kami di sektor transportasi, rumah tangga, dan industri untuk mengurangi emisi. Di bidang pembangkit listrik, kami terus meningkatkan pemanfaatan proyek EBT serta rendah karbon yang memungkinkan kami mengurangi jejak karbon. Kami terus berupaya untuk menerapkan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dalam peningkatan produksi beberapa ladang minyak dan gas.
Menurut Anda, apa tantangan dalam mempercepat transisi energi di Indonesia?
Mengingat posisi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, transisi energi juga harus menjamin keterjangkauan energi bagi masyarakat, affordability of energy. Ada tiga tantangan utama dalam transisi energi, yaitu kesiapan teknologi, aspek pembiayaan, serta akses dan infrastruktur. Namun yang kami perlukan dukungan penuh terutama di bidang technology and financing dengan kerja sama global dari negara-negara maju.
Indonesia harus mampu mengejar perkembangan teknologi terkini dan mereformasi kebijakan untuk lebih mendukung pengembangan sumber EBT. Perlu adanya kolaborasi global dari negara maju agar terjadi transfer pengetahuan dan teknologi.
Teknologi dan komponen yang diperlukan untuk energi terbarukan seperti pembangkit tenaga matahari, angin, dan pasang surut, juga masih bergantung pada negara maju. Biaya teknologi untuk EBT masih lebih tinggi daripada bahan bakar fosil. Itulah sebabnya, kami terbuka untuk kemitraan dan kolaborasi, guna mendorong inovasi dan menurunkan biaya teknologi.
Transisi energi merupakan tantangan bagi semua. Tetapi juga harus dilihat sebagai peluang untuk menciptakan masa depan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan menerapkan skenario dan roadmap yang kuat, terutama untuk aspek pembiayaan.
Untuk mengatasi masalah pembiayaan, diharapkan lebih banyak investasi akan masuk, baik internasional maupun domestik, untuk meningkatkan mekanisme pembiayaan global dalam mendukung proyek transisi energi dan dekarbonisasi. Diperlukan kebijakan dalam hal kemudahan dan insentif untuk EBT, agar investor lebih tertarik masuk ke Indonesia.
Tantangan lainnya?
Kesiapan SDM. Akan muncul peluang kerja baru dengan adanya transisi energi. Namun, dengan penurunan produksi dan demand energi fosil secara bertahap, akan terjadi perubahan dalam penciptaan lapangan kerja di bidang sektor minyak dan gas. Berdasarkan data dari SKK Migas, ada sekitar 22.600 pekerja langsung di sektor hulu. Ini belum termasuk di sektor hilir, seperti pengolahan, distribusi, pemasaran hingga lembaga penyalur, dan industry pendukung lainnya. Jika kita bicara tentang kendaraan listrik saja, ada sekitar 1,5 juta tenaga kerja dalam mata rantai industri otomotif saat ini, yang mungkin akan terdampak.
Untuk itu, transisi energi harus disiapkan dengan memastikan kemampuan sumber daya manusia untuk mengakomodasi perubahan. Misalnya, transfer of knowledge, upskilling & workshop. Transisi tenaga kerja harus dipercepat sebagai upaya antisipasi dampak langsung mapun tidak langsung terhadap sektor tenaga kerja. Oleh karena itu, penting untuk melakukan perencanaan tenaga kerja strategis secara jangka panjang, menetapkan berbagai kebijakan dan peraturan untuk mendukung peningkatan keterampilan tenaga kerja yang inklusif untuk menghadapi transisi energi.
Selain itu, kondisi geografis Indonesia, juga menjadi tantangan tersendiri. Konsep interkoneksi tidak tepat untuk diterapkan dalam proses transisi energi di dalam negeri, mengingat kondisi geografis. Konsep interkoneksi akan menjadikan proses transisi energi lebih mahal dan keandalan pasokan menjadi tidak terjamin. Maka yang harus didorong, selain industri harus kita garap untuk transisi, kita juga harus membangun desentralisasi. Jadi kemandirian energi di daerah yang menggunakan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut.
Bagaimana Pertamina mempromosikan ketahanan energi Indonesia? Sementara pada saat yang sama mempercepat transisi…
Terdapat lima aspek yang dibutuhkan dalam ketahanan energi. Yaitu Availability, Accessibility, Affordability, Acceptability, dan Sustainability. Dengan kelima aspek itu, energi fosil tetap berjalan paralel dengan program bauran energi. Sebagai catatan, Indonesia menargetkan komposisi EBT pada tahun 2025 mencapai 23 persen dari total kapasitas terpasang, dan 31 persen pada 2050. Hari ini produk renewable energy di Pertamina masih 3 persen akan ditingkatkan jadi 17 persen pada 2030. Saat ini, dominasi Indonesia sisanya dari fosil, yaitu BBM dan gas. Jadi Pertamina harus tetap menyediakannya, namun Pertamina memiliki program dekarbonisasi.
Transisi energi harus direncanakan dengan baik untuk memastikan keamanan energi dan aksesibilitas energi bagi seluruh masyarakat tetap terjaga. Pertamina akan mempercepat transisi energi menuju penggunaan energi yang berkelanjutan, memastikan transisi yang adil dan terjangkau, serta meningkatkan ketahanan energi.
Pertamina terus berupaya memaksimalkan kinerja operasi dalam rangka menjaga ketahanan energi nasional. Capaian unggul operasional terlihat nyata di sektor hulu, Pertamina mampu meningkatkan produksi migas sebesar 965 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD) dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu sebesar 850 MBOEPD.
Dari sisi hilir, kami berupaya mempertahankan intake sesuai rencana optimasi hilir, meningkatkan keandalan melalui program preventive, predictive, maintenance dan turn around, serta pengembangan dan pembangunan kilang sesuai amanat pemerintah melalui proyek RDMP dan GRR.
Optimasi operasional juga dilakukan oleh lini bisnis lainnya. Subholding Power, New & Renewable Energy (PNRE) Pertamina berupaya memaksimalkan produksi listrik melalui peningkatan aktivitas pada fasilitas produksi dan sarana pendukung. Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Tenaga Panas Bumi, sekaligus berupaya maksimal menekan unplanned shutdown.
Subholding Gas Pertamina berupaya memaksimalkan operasional dengan menggulirkan beragam program. Di antaranya PGN Sayang Ibu dan PGN Masuk Desa. Subholding Gas juga terus menjalankan operational excellence, meningkatkan cost optimization program, serta meningkatkan kapasitas jaringan gas dan trading LNG.
Sementara itu, Subholding Integrated Marine & Logistics Pertamina terus meningkatkan sinergi dengan berbagai stakeholder, baik internal maupun eksternal. Dengan mengusung green marine logistics, subholding yang dinakhodai oleh PT Pertamina Internasional Shipping (PIS) ini agresif mengembangkan pasar regional.
Yang tidak kalah penting dan selama ini menjadi garda terdepan distribusi energi ke seluruh pelosok negeri adalah upaya optimasi operasional yang dilakukan oleh Subholding Trading & Commercial melalui beragam intensif program. Seperti BBM Satu Harga, Pertashop, OVOO, Pertamina One Solution, MyPertamina, NFR, Ecosystem EV, serta Subsidi Tepat Sasaran.
Dengan digitalisasi, salah satunya melalui Pertamina Integrated Enterprise Data and Command Center (PIEDCC), kami mampu melihat kesiapan dan kesiagaan dalam menyalurkan energi dari hulu hingga hilir hingga pelosok Tanah Air, secara real time.
Kami melihat Pertamina cukup agresif bekerja sama dengan perusahaan global dalam mengembangkan bisnis baru yang ramah lingkungan. Bagaimana kerja sama ini menguntungkan Pertamina?
Melalui Subholding PT Pertamina Power Indonesia (PT PPI), Pertamina bertujuan untuk menjadi salah satu produsen Energi Baru dan Terbarukan (EBT) utama di Indonesia. Pertamina sudah berkomitmen untuk mengembangkan Bisnis Hijaunya dengan investasi besar-besaran. Bekerja sama dengan perusahaan global, PT PPI melakukan akuisisi dan kemitraan (kerja sama) dengan perusahaan EBT yang sudah ada, hal ini dimaksudkan untuk transfer of knowledge dan mempercepat penetrasi bisnis EBT. Salah satu contohnya adalah Joint Study Agreement (JSA) antara PPI dan Pondera dalam kerja sama ‘Integrated Offshore Wind Energy & Hydrogen Production Facility’. JSA ini merupakan tindak lanjut dari pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
Kerja sama lainnya adalah JSA antara Pertamina (Persero), PEP dan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation (JOGMEC). Dalam kerja sama ini, Pertamina dan Jogmec berkolaborasi dalam kegiatan CO2 Injection di Lapangan Jatibarang melalui studi bersama tahap awal untuk lebih mendukung Full Field Scale CO2-EOR sebagai metode untuk meningkatkan produksi crude dan mengurangi emisi karbon dioksida di Lapangan Jatibarang, Jawa Barat.
Selain itu, Pertamina juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti dengan ExxonMobil untuk mengkaji penerapan teknologi Carbon Capture & Storage(CCS) dan Carbon Capture, Utilization & Storage (CCUS), juga dengan Chiyoda Corporation (Chiyoda) dalam kerja sama studi aplikasi teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), dan produksi hydrogen.
Pertamina juga menjalin kerja sama dengan Masdar, anak usaha Mubadala dari UAE, dalam pengembangan PLTS, serta Pondera dari Belanda, dalam pengembangan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu). Juga dengan ACWA Power Arab Saudi dalam kerja sama Pengembangan Energi Hijau.
Kerja sama dengan Perhutani terkait Nature Based Solutions, Pertamina dan Jababeka sepakat untuk melakukan kerja sama dalam identifikasi dan evaluasi pengembangan Green Industrial Estate. Pertamina dengan PT PLN (Persero) dan PT Pupuk Indonesia (Persero), juga melakukan kerja sama pengembangan Green Industry Cluster di Indonesia.
Kerja sama Pertamina dengan Inpex Corporation (Inpex) berencana menjajaki peluang pengembangan bersama pasokan Clean-LNG dan Clean-Gas dari terminal LNG Bontang. Kerja sama dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) dan Mitsubishi Coorporation, dalam pengembangan Blue/Green Hydrogen dan Blue/Green Ammonia di Indonesia.
Kolaborasi dengan berbagai perusahaan, baik nasional maupun global, diperlukan untuk mencapai target NZE. Terutama untuk mengatasi tantangan transisi energi dari sisi investasi, operasional, dan belanja modal.
Pertamina menjalankan operasi dan bisnis migas terintegrasi secara masif. Bagaimana penerapan dekarbonisasi di Pertamina?
Untuk memastikan implementasi dekarbonisasi, Pertamina telah mengembangkan Key Performance Indicator (KPI) pada seluruh Subholding-nya untuk mencapai target dekarbonisasi. Perencanaan jangka panjang Pertamina juga sudah sejalan dengan pengembangan Bisnis Hijau dan inisiatif dekarbonisasinya.
Pertamina mengalokasikan CAPEX (Capital Expenditure) sebesar 14 persen untuk Energi Bersih, Baru, dan Terbarukan (EBT). Komitmen Pertamina ini sejalan dengan upaya pemanfaatan sumber daya dalam negeri untuk memasok energi dalam negeri menuju pembangunan hijau dan dekarbonisasi. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata investasi International Oil Company di EBT sebesar 4,3 persen. Pertamina menargetkan untuk meningkatkan bauran produk EBT dari 1 persen pada tahun 2021 menjadi 17 persen pada tahun 2030.
Pertamina juga sudah melaksanakan program penurunan emisi yang mengacu pada Indonesia Nationally Determined Contribution (NDC): Pencapaian Penurunan Emisi Pertamina 2010-2021 sudah mencapai 29 persenmencapai target 2030 dari NDC Indonesia.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kami telah menyusun roadmap untuk target NZE sesuai dengan target pemerintah, yaitu 2060 atau lebih cepat. Roadmap Pertamina NZE ini mencakup rencana strategis jangka panjang perusahaan yang selaras dengan aspirasi dekarbonisasi dan bisnis energi bersih dan hijau.
Seberapa penting keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan Net-Zero?
Keterlibatan masyarakat juga memainkan peran kunci dalam Pertamina Renewable Business, karena pada akhirnya pelangganlah yang akan memilih produk yang akan mereka gunakan. Pertamina akan berkolaborasi dengan setiap komunitas dan memberikan edukasi kepada pelanggannya mengenai produk Green Business baru. Pertamina juga terus menjaga keterlibatan masyarakat, dengan target meningkatkan akses berbasis masyarakat terhadap energi bersih dan modern di Indonesia, sesuai dengan SDGs nomor 1, 4, 7, 14, dan 15.
Untuk memastikan kegiatan terkait keberlanjutan Sosial & Lingkungan tetap berjalan dengan baik dan mendukung Net Zero Emission, Pertamina memiliki kerangka kerja berupa empat pendekatan adaptasi dan mitigasi berbasis masyarakat. Pertama, penghijauan, yaitu program peningkatan dan pemeliharaan tutupan vegetasi, termasuk program budidaya mangrove. Hal ini juga akan mendorong target NZE melalui nature based Solutions.
Kedua, penggunaan EBT, konservasi dan penghematan energi dalam pembangunan masyarakat seperti elektrifikasi desa menggunakan PLTS dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Ketiga, pengelolaan limbah, dengan pemanfaatan limbah padat dan cair yang digunakan untuk pupuk dan energi. Dan keempat, budidaya pertanian dengan emisi GRK rendah dan pencegahan kebakaran hutan lahan.
Dukungan apa yang Anda butuhkan dari Pemerintah dan pemangku kepentingan utama lainnya dalam mendorong Net-Zero?
Kebijakan Pemerintah yang efektif diperlukan untuk mencapai mencapai NZE, dan untuk membantu memperkuat ketahanan iklim di seluruh negara. Pemerintah dan pemangku kepentingan utama lainnya dapat membantu mempercepat kemajuan dengan memastikan beberapa program. Seperti, pertama, program penelitian dan pengembangan teknologi pemerintah, yang dapat mendorong kemajuan dalam tekpnologi energi bersih dan membawanya ke penggunaan komersial. Kedua, program sukarela, seperti Pahlawan Energi di Indonesia, bekerja sama dengan bisnis untuk mengurangi emisi, seringkali dengan pengakuan publik.
Ketiga, penerapan regulasi, seperti efisiensi bahan bakar dan standar emisi untuk mobil dan truk, mengharuskan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi energi atau mengurangi emisi dalam operasi mereka sendiri atau pada barang yang mereka hasilkan. Keempat, peraturan yang mendorong penurunan emisi karbon, seperti carbon-tax atau program cap-and-trade atau penetapan carbon pricing. Dan kelima, kemudahan agar semakin banyak investasi yang masuk, baik internasional maupun domestik, sehingga dapat mempercepat pengembangan teknologi reduksi carbon print.
Sebagai Chair Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20, menjadi peran kami untuk menyampaikan pandangan dari pelaku bisnis untuk mendukung transisi energi melalui penyampaian rekomendasi kebijakan kepada pemimpin di G20. Serta, TF ESC diharapkan menjadi jembatan koordinasi antara pelaku usaha dan stakeholder, dan katalis untuk kerja sama dan kolaborasi dalam mencapai tujuan dan target transisi energi.
Tim B20 ESC adalah salah satu Task Force dari 7 TF B20 dengan 8 Co-Chairs dari global industri energi dan 150+ eksekutif dari negara-negara G20 sebagai Member. TF ESC didukung oleh knowledge partners dan network partners dalam merumuskan rekomendasi kebijakan dan aksi bisnis yang komprehensif.
Peran Task Force Energy, Sustainability, & Climate di Business-20 adalah menyampaikan pandangan dari kaca mata pelaku bisnis untuk mendukung transisi energi melalui penyampaian Policy Recommendation kepada pemimpin di G20. TF ESC diharapkan menjadi jembatan dalam koordinasi antara pelaku usaha dan stakeholder, dan katalis untuk kerja sama dan kolaborasi dalam mencapai tujuan dan target transisi energi.
Ada tiga pilar Policy Recommendation yang dapat kami sampaikan. Pertama, mempercepat transisi ke penggunaan energi berkelanjutan dengan mengurangi intensitas karbon. Hal ini dapat dicapai dengan efisiensi energi, pengurangan penggunaan pembangkit listrik yang tidak efisien, mitigasi emisi pada sektor yang sulit dikurangi, kemudahan akses pembiayaan, dan inovasi dalam teknologi. Kedua, memastikan transisi yang adil, teratur, dan terjangkau menuju penggunaan energi yang berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai dengan fokus pada 4 bidang utama: transisi yang teratur dalam sumber energi primer, partisipasi UMKM dalam transisi energi, kesiapan transisi tenaga kerja, dan praktik pertambangan yang berkelanjutan.
Transisi energi tidak boleh melupakan ketahanan energi, dan terjangkau oleh masyarakat. Ada ekosistem dan bisnis yang juga harus diperhatikan. Dan ketiga, meningkatkan akses masyarakat untuk mengkonsumsi energi bersih dan modern. Hal ini dapat didukung dengan menerapkan solusi energi terintegrasi, akses energi bersih ke rumah tangga dan UMKM, dan transisi dengan cakupan yang lebih luas dengan melibatkan komunitas. Indonesia memiliki tantangan dengan lebih dari 17.000 pulau. Sehingga harus didorong ketahanan energi lokal yang menggunakan sumber energi dari setip wilayah.
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID