Demo Omnibus Law Masih Marak FSBDSI Saranin Aksi Protes Secara Konstitusional –
3 min readSekretaris Federasi Serikat Buruh Demokrasi Seluruh Indonesia (FSBDSI) Bekasi, Purwadi geregetan dengan masih adanya aksi penolakan dari elemen buruh ihwal Omnibus Law UU Cipta Kerja. Hingga kini, masih berlanjut penolakan berwujud penggalangan petisi hingga demonstrasi.
“Memang, protes apa pun dibenarkan dalam demokrasi sepanjang tidak menyalahi kaidah hukum yang berlaku,” ujar Purwadi, melalui keterangan tertulis, kepada RM.id, Senin (8/8).
Meski protes itu dibenarkan, kata Purwadi, para aktivis termasuk para buruh disarankan bijaksana dalam menyikapi kontroversi UU Cipta Kerja. Sarannya, jangan emosional dan sentimental. Apalagi, termakan hasutan kelompok yang menurutnya memiliki agenda terselubung yang merugikan.
Menurutnya, cara yang paling tepat melakukan kritik atas regulasi ini adalah dengan menggunakan prosedur konstitusional. Misalnya, melakukan protes di jalur hukum.
“Semua instrumen cukup tersedia baik yang formal bersengketa di pengadilan hukum maupun non formal seperti protes jalanan. Tapi jangan anarkis dan merusak fasilitas umum,” ungkapnya.
Aktivis buruh ini menghimbau, kelompok gerakan yang melakukan protes dengan berdemonstrasi agar berfikir jernih dan rasional. Jangan sampai, protes tetapi tidak dibekali dengan pengetahuan memadai mengenai subtansi isunya.
“Pemerintah dan DPR tentu tidak mungkin mempertaruhkan kredibilitas mereka mengesahkan UU yang merugikan rakyat. Pasti punya niat baik untuk menarik investor luar berdatangan, membuka lapangan kerja dan menstimulasi ekonomi di tengah pandemi Covid-19,” katanya.
“Butuh kesabaran tingkat dewa menunggu realisasi kebijakan politik, biar waktu yang akan menjawab,” sambungnya.
Purwadi menyarankan, para buruh, mahasiswa, civil society dan komponen politik lainnya bisa melakukan upaya hukum menolak semua atau menolak sebagian regulasi, tinggal sediakan data kuat serta siap berdebat secara subtansinya nanti.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah protes jalanan berdemonstrasi, namun tentunya harus sesuai dengan koridor hukum, jangan bertindak anarkis, merusak dan provokatif. Baginya, demo bukanlah semata teriak dan gelar spanduk, namun butuh kajian yang mendalam dari setiap isu yang di perjuangkan di jalanan.
“Begitulah sejatinya kesatria demokrasi, memanfaatkan sedikit celah memperjuangkan kepentingan politik lainnya. Kalah menang urusan belakang, intinya jangan kalah sebelum bertanding,” terangnya.
Terlepas dari kontroversi UU Cipta Kerja, katanya, kebijakan ini bisa diasumsikan usaha Pemerintah Jokowi-Ma’ruf untuk menarik investor, membuka lapangan kerja serta menggairahkan kembali sektor ekonomi.
“Ada dua tahun lagi waktu tersisa untuk membuktikan semuanya. Jangan keburu berkonklusi bahwa peraturan ini merugikan rakyat. Berikan kesempatan yang luas kepada pemerintah untuk merealisasikan semua keputusan UU tersebut,” pungkasnya. ■
]]> , Sekretaris Federasi Serikat Buruh Demokrasi Seluruh Indonesia (FSBDSI) Bekasi, Purwadi geregetan dengan masih adanya aksi penolakan dari elemen buruh ihwal Omnibus Law UU Cipta Kerja. Hingga kini, masih berlanjut penolakan berwujud penggalangan petisi hingga demonstrasi.
“Memang, protes apa pun dibenarkan dalam demokrasi sepanjang tidak menyalahi kaidah hukum yang berlaku,” ujar Purwadi, melalui keterangan tertulis, kepada RM.id, Senin (8/8).
Meski protes itu dibenarkan, kata Purwadi, para aktivis termasuk para buruh disarankan bijaksana dalam menyikapi kontroversi UU Cipta Kerja. Sarannya, jangan emosional dan sentimental. Apalagi, termakan hasutan kelompok yang menurutnya memiliki agenda terselubung yang merugikan.
Menurutnya, cara yang paling tepat melakukan kritik atas regulasi ini adalah dengan menggunakan prosedur konstitusional. Misalnya, melakukan protes di jalur hukum.
“Semua instrumen cukup tersedia baik yang formal bersengketa di pengadilan hukum maupun non formal seperti protes jalanan. Tapi jangan anarkis dan merusak fasilitas umum,” ungkapnya.
Aktivis buruh ini menghimbau, kelompok gerakan yang melakukan protes dengan berdemonstrasi agar berfikir jernih dan rasional. Jangan sampai, protes tetapi tidak dibekali dengan pengetahuan memadai mengenai subtansi isunya.
“Pemerintah dan DPR tentu tidak mungkin mempertaruhkan kredibilitas mereka mengesahkan UU yang merugikan rakyat. Pasti punya niat baik untuk menarik investor luar berdatangan, membuka lapangan kerja dan menstimulasi ekonomi di tengah pandemi Covid-19,” katanya.
“Butuh kesabaran tingkat dewa menunggu realisasi kebijakan politik, biar waktu yang akan menjawab,” sambungnya.
Purwadi menyarankan, para buruh, mahasiswa, civil society dan komponen politik lainnya bisa melakukan upaya hukum menolak semua atau menolak sebagian regulasi, tinggal sediakan data kuat serta siap berdebat secara subtansinya nanti.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah protes jalanan berdemonstrasi, namun tentunya harus sesuai dengan koridor hukum, jangan bertindak anarkis, merusak dan provokatif. Baginya, demo bukanlah semata teriak dan gelar spanduk, namun butuh kajian yang mendalam dari setiap isu yang di perjuangkan di jalanan.
“Begitulah sejatinya kesatria demokrasi, memanfaatkan sedikit celah memperjuangkan kepentingan politik lainnya. Kalah menang urusan belakang, intinya jangan kalah sebelum bertanding,” terangnya.
Terlepas dari kontroversi UU Cipta Kerja, katanya, kebijakan ini bisa diasumsikan usaha Pemerintah Jokowi-Ma’ruf untuk menarik investor, membuka lapangan kerja serta menggairahkan kembali sektor ekonomi.
“Ada dua tahun lagi waktu tersisa untuk membuktikan semuanya. Jangan keburu berkonklusi bahwa peraturan ini merugikan rakyat. Berikan kesempatan yang luas kepada pemerintah untuk merealisasikan semua keputusan UU tersebut,” pungkasnya. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID