DigiBerita.com | Bahasa Indonesia
22 December 2024

Digiberita.com

Berita Startup dan Ekonomi Digital

Buntut Harga Tiket Pesawat Naik Penumpang Ngeluh, Ekonomi Terganggu –

6 min read

Mesti memberatkan masyarakat, kenaikan tarif pesawat sangat wajar. Sebab, bisnis maskapai sudah hancur-hancuran. Setelah terdampak pandemi, harga avtur melonjak tinggi.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merestui kenaikan harga tiket pesawat akibat adanya fluktuasi harga avtur. Namun begitu, maskapai diharapkan tetap mempertimbangkan keterjangkauan masyarakat.

Kebijakan Kemenhub membolehkan maskapai mengerek tarif tiket tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 142 Tahun 2022, tentang Besaran Biaya Tambahan (Surcharge) Yang Disebabkan Adanya Fluktuasi Bahan Bakar (Fuel Surcharge) Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Beleid yang berlaku mulai 4 Agustus 2022 itu, memberi ruang kepada maskapai untuk mengerek biaya tambahan (surcharge), maksimal 15 persen dari tarif batas atas untuk pesawat jet dan 25 persen bagi pesawat jenis proppeller atau baling-baling.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra memastikan, pihaknya akan patuh terhadap ketentuan dan kebijakan harga tiket pesawat yang dikeluarkan regulator.

Khususnya, yang mengacu pada aturan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB), maupun kebijakan penunjang dalam kaitan komponen harga tiket lainnya.

Untuk itu, pihaknya mengajak seluruh stakeholder penerbangan fokus mengoptimalkan momentum pemulihan industri penerbangan, maupun kebangkitan ekonomi nasional dengan terus memperkuat sinergitas.

“Tentunya sinergitas antara semua pihak terkait harus terus diperkuat, guna memaksimalkan akses masyarakat terhadap layanan transportasi udara yang aman dan nyaman,” ujar Irfan melalui siaran pers, yang diterima Rakyat Merdeka, Minggu (7/8).

Irfan menilai, imbauan ini sebagai pengingat bagi seluruh pelaku industri layanan transportasi udara, untuk menyelaraskan langkah dengan tetap menjaga komitmen kepatuhan terhadap aturan bisnis penerbangan.

Termasuk mengenai penerapan komponen harga tiket yang mengacu pada ketentuan dan regulasi yang berlaku. Serta secara berkesinambungan terus meningkatkan layanan transportasi udara yang berkualitas bagi masyarakat.

 

Soal rencana Garuda terhadap kebijakan baru tersebut, Irfan mengatakan, pihaknya akan menjalankan secara cermat dan seksama.

“Kami akan mempertimbangkan fluktuasi harga avtur terhadap kebutuhan penyesuaian harga tiket dengan tetap mengedepankan pemenuhan kebutuhan masyarakat,” janjinya.

Dihubungi terpisah, pengamat bisnis penerbangan Gatot Raharjo mengakui, fluktuasi harga avtur sangat berpengaruh terhadap operasional maskapai. Sehingga, ia memproyeksi, maskapai akan menyesuaikan tarif tiket pesawatnya. Meskipun saat ini, menurutnya, Garuda Indonesia sudah berada di atas tarif batas atas.

Menurut Gatot, wajar maskapai menaikkan harga tiket karena sudah dua tahun bisnis mereka hancur-hancuran karena pandemi.

“Namun, jika kenaikan harga tiket itu dikeluhkan masyarakat, juga wajar. Semoga saja tidak menimbulkan gejolak,” ucap Gatot kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Untuk itu, diharapkannya, regulator mengatur, mengawasi dan mengendalikan hal tersebut.

Artinya, kata Gatot, aturan yang dikeluarkan soal penentuan harga tiket oleh maskapai, baik swasta maupun BUMN (Badan Usaha Milik Negara) harus jelas batasannya, bukan sekadar imbauan.

Sebab, kenaikan harga tiket penerbangan bisa meresahkan masyarakat dan mempengaruhi perekonomian nasional. Mengingat harga tiket pesawat selalu menjadi salah satu penyebab inflasi.

“Aturannya tegas, tapi harus disepakati semua pihak. Tarif diatur, modal dan kepemilikan maskapai diatur. Terpenting, jangan sampai merugikan masyarakat. Apalagi saat ini juga masa-masanya rebound bagi maskapai untuk bisa bangkit,” kata Gatot.

Bila hal-hal tersebut tidak segera diatur, ia khawatir, akan terjadi monopoli baik secara de facto dan de jure. Karena tak ada aturan yang dapat menyeimbangkan bisnis penerbangan.

Lebih jauh, Gatot bilang, pihaknya akan selalu mendukung Pemerintah, agar tidak kalah dengan operator, khususnya swasta, dalam bisnis penerbangan.

“Kalau (swasta) sudah monopoli, susah mengaturnya. Itu terbukti, dengan adanya imbauan (menerapkan harga tiket yang terjangkau) ini. Padahal, harusnya cukup dilakukan pengaturan, pengawasan dan pengendalian yang baik,” tegasnya.

Selain itu, dengan adanya kenaikan fuel surcharge menjadi 20 persen, maka kebijakan pengenaan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 0 atau nol rupiah terhadap Pelayanan Jasa Pendaratan, Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara (PJP4U) di Unit Pelayanan Bandar Udara (UPBU), yang baru diterbitkan, menjadi kurang efektif.

“PJP4U yang gratis, seperti tidak ada artinya karena maskapai masih menjual tiket dengan harga mahal,” sambungnya.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Udara Kemenhub, Nur Isnin Istiartono menyampaikan, dalam hal penetapan besaran biaya tambahan (surcharge), pihaknya berupaya mengakomodir kepentingan semua pihak.Tujuannya memberikan perlindungan kepada konsumen dan menjaga keberlangsungan usaha yang sehat.

“Kami perlu menetapkan kebijakan fuel surcharge agar maskapai mempunyai pedoman dalam menerapkan tarif penumpang,” ucapnm Nur Isnin, di Jakarta, Jumat (5/8).

Pihaknya berharap, dengan memberlakukan tarif penumpang yang terjangkau akan menjaga konektifitas antar wilayah di Indonesia, serta kontinuitas pelayanan jasa transportasi udara.

“Secara tertulis, imbauan ini telah kami sampaikan kepada masing-masing Direktur Utama maskapai nasional, untuk dapat diterapkan di lapangan,” lanjutnya.

Artinya, penerapan pengenaan biaya tambahan bersifat pilihan (optional) bagi maskapai atau tidak bersifat mandatory. Selanjutnya, Ditjen Perhubungan Udara akan melakukan evaluasi setelah tiga bulan penerapan besaran biaya tambahan oleh maskapai. ■
]]> , Mesti memberatkan masyarakat, kenaikan tarif pesawat sangat wajar. Sebab, bisnis maskapai sudah hancur-hancuran. Setelah terdampak pandemi, harga avtur melonjak tinggi.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merestui kenaikan harga tiket pesawat akibat adanya fluktuasi harga avtur. Namun begitu, maskapai diharapkan tetap mempertimbangkan keterjangkauan masyarakat.

Kebijakan Kemenhub membolehkan maskapai mengerek tarif tiket tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 142 Tahun 2022, tentang Besaran Biaya Tambahan (Surcharge) Yang Disebabkan Adanya Fluktuasi Bahan Bakar (Fuel Surcharge) Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Beleid yang berlaku mulai 4 Agustus 2022 itu, memberi ruang kepada maskapai untuk mengerek biaya tambahan (surcharge), maksimal 15 persen dari tarif batas atas untuk pesawat jet dan 25 persen bagi pesawat jenis proppeller atau baling-baling.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra memastikan, pihaknya akan patuh terhadap ketentuan dan kebijakan harga tiket pesawat yang dikeluarkan regulator.

Khususnya, yang mengacu pada aturan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB), maupun kebijakan penunjang dalam kaitan komponen harga tiket lainnya.

Untuk itu, pihaknya mengajak seluruh stakeholder penerbangan fokus mengoptimalkan momentum pemulihan industri penerbangan, maupun kebangkitan ekonomi nasional dengan terus memperkuat sinergitas.

“Tentunya sinergitas antara semua pihak terkait harus terus diperkuat, guna memaksimalkan akses masyarakat terhadap layanan transportasi udara yang aman dan nyaman,” ujar Irfan melalui siaran pers, yang diterima Rakyat Merdeka, Minggu (7/8).

Irfan menilai, imbauan ini sebagai pengingat bagi seluruh pelaku industri layanan transportasi udara, untuk menyelaraskan langkah dengan tetap menjaga komitmen kepatuhan terhadap aturan bisnis penerbangan.

Termasuk mengenai penerapan komponen harga tiket yang mengacu pada ketentuan dan regulasi yang berlaku. Serta secara berkesinambungan terus meningkatkan layanan transportasi udara yang berkualitas bagi masyarakat.

 

Soal rencana Garuda terhadap kebijakan baru tersebut, Irfan mengatakan, pihaknya akan menjalankan secara cermat dan seksama.

“Kami akan mempertimbangkan fluktuasi harga avtur terhadap kebutuhan penyesuaian harga tiket dengan tetap mengedepankan pemenuhan kebutuhan masyarakat,” janjinya.

Dihubungi terpisah, pengamat bisnis penerbangan Gatot Raharjo mengakui, fluktuasi harga avtur sangat berpengaruh terhadap operasional maskapai. Sehingga, ia memproyeksi, maskapai akan menyesuaikan tarif tiket pesawatnya. Meskipun saat ini, menurutnya, Garuda Indonesia sudah berada di atas tarif batas atas.

Menurut Gatot, wajar maskapai menaikkan harga tiket karena sudah dua tahun bisnis mereka hancur-hancuran karena pandemi.

“Namun, jika kenaikan harga tiket itu dikeluhkan masyarakat, juga wajar. Semoga saja tidak menimbulkan gejolak,” ucap Gatot kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Untuk itu, diharapkannya, regulator mengatur, mengawasi dan mengendalikan hal tersebut.

Artinya, kata Gatot, aturan yang dikeluarkan soal penentuan harga tiket oleh maskapai, baik swasta maupun BUMN (Badan Usaha Milik Negara) harus jelas batasannya, bukan sekadar imbauan.

Sebab, kenaikan harga tiket penerbangan bisa meresahkan masyarakat dan mempengaruhi perekonomian nasional. Mengingat harga tiket pesawat selalu menjadi salah satu penyebab inflasi.

“Aturannya tegas, tapi harus disepakati semua pihak. Tarif diatur, modal dan kepemilikan maskapai diatur. Terpenting, jangan sampai merugikan masyarakat. Apalagi saat ini juga masa-masanya rebound bagi maskapai untuk bisa bangkit,” kata Gatot.

Bila hal-hal tersebut tidak segera diatur, ia khawatir, akan terjadi monopoli baik secara de facto dan de jure. Karena tak ada aturan yang dapat menyeimbangkan bisnis penerbangan.

Lebih jauh, Gatot bilang, pihaknya akan selalu mendukung Pemerintah, agar tidak kalah dengan operator, khususnya swasta, dalam bisnis penerbangan.

“Kalau (swasta) sudah monopoli, susah mengaturnya. Itu terbukti, dengan adanya imbauan (menerapkan harga tiket yang terjangkau) ini. Padahal, harusnya cukup dilakukan pengaturan, pengawasan dan pengendalian yang baik,” tegasnya.

Selain itu, dengan adanya kenaikan fuel surcharge menjadi 20 persen, maka kebijakan pengenaan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 0 atau nol rupiah terhadap Pelayanan Jasa Pendaratan, Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara (PJP4U) di Unit Pelayanan Bandar Udara (UPBU), yang baru diterbitkan, menjadi kurang efektif.

“PJP4U yang gratis, seperti tidak ada artinya karena maskapai masih menjual tiket dengan harga mahal,” sambungnya.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Udara Kemenhub, Nur Isnin Istiartono menyampaikan, dalam hal penetapan besaran biaya tambahan (surcharge), pihaknya berupaya mengakomodir kepentingan semua pihak.Tujuannya memberikan perlindungan kepada konsumen dan menjaga keberlangsungan usaha yang sehat.

“Kami perlu menetapkan kebijakan fuel surcharge agar maskapai mempunyai pedoman dalam menerapkan tarif penumpang,” ucapnm Nur Isnin, di Jakarta, Jumat (5/8).

Pihaknya berharap, dengan memberlakukan tarif penumpang yang terjangkau akan menjaga konektifitas antar wilayah di Indonesia, serta kontinuitas pelayanan jasa transportasi udara.

“Secara tertulis, imbauan ini telah kami sampaikan kepada masing-masing Direktur Utama maskapai nasional, untuk dapat diterapkan di lapangan,” lanjutnya.

Artinya, penerapan pengenaan biaya tambahan bersifat pilihan (optional) bagi maskapai atau tidak bersifat mandatory. Selanjutnya, Ditjen Perhubungan Udara akan melakukan evaluasi setelah tiga bulan penerapan besaran biaya tambahan oleh maskapai. ■

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2020 - 2024. PT Juan Global. All rights reserved. DigiBerita.com. |