Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (5) Memelihara Qana`ah –
5 min readQana’ah gampang diucapkan sulit dipraktekkan. Ada seorang yang kehausan lantas diberi air dengan setengah gelas. Orang itu merasa terhina karena air itu tidak sanggup membasahi tenggerokannya. Air setengah gelas itu habis diminum tetapi betul-betul tidak menyembuhkan dahaganya sedikitpun. Seorang lagi datang dengan kehausan yang sama dan menyaksikan air setengah gelas. Ia bersyukur, al-hamdulillah walau hanya setengah gelas tetapi lumayan bisa membasahi kerongkongan. Alhasil, orang ini merasa dahaganya terobati walau hanya setengah gelas karena berangkat dari persepsi positif, sedangkan orang yang pertama samasekali tidak terobati dahaganya karena berangkat dari persepsi negatif. Orang yang pertama contoh orang yang tidak Qana’ah dan orang yang kedua contoh orang Qana’ah.
Secara literal, Qana’ah berarti rela menerima jatah pembagian. Qana`ah adalah merasa tenang dalam menghadapi hilangnya sesuatu yang biasa ada, merasa cukup dengan yang sedikit, dan bersyukur dengan apa adanya. Ada juga yang mengatakan, yaitu merasa kaya dengan yang ada dan meninggalkan apa yang bisa menyebabkan kehilangan.
Nabi SAW. bersabda: “Qana’ah merupakan perbendaharaan yang tak pernah akan habis.” Dalam hadis lainnya, beliau bersabda: “Ridhailah apa yang diberikan Allah kepadamu, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling kaya.” Dalam Kitab Zabur, disebutkan, bahwa orang yang Qana’ah adalah orang yang kaya walaupun ia dalam keadaan kelaparan. Sebagian ahli hikmah berkata: “Barangsiapa yang tebal Qana’ahnya, maka setiap bulu yang ada di tubuhnya akan merasakan kebahagiaan.
Ada qaul yang mangatakan bahwa Allah Swt meletakkan kemuliaan di dalam lima hal, yaitu: Kemuliaan dalam ketaatan, kehinaan dalam kemaksiatan, kekhusyu’an dalam salat malam, kebijaksanaan dalam perut yang kosong, dan kekayaan dalam Qana’ah. Orang yang Qana’ah merasa tenang dari kesibukan dan berjaya atas segala sesuatu. Dikatakan juga, barangsiapa yang mengarahkan pandangannya kepada apa yang ada pada orang lain, ia akan memperpanjang kesedihannya.
Kalangan arifin berkata, kalian harus memotong segala sesuatu yang mengantarkan kepada kerakusan dengan pedang Qana’ah. Nabi Musa AS. ketika cenderung merasa rakus melalui ucapannya kepada Khidhr: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. (QS. Al-Kahf/18:77). Maka ia dihukum melalui ucapan Khidhr: “Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.” (QS. Al-Kahf/18: 78).
Dikatakan bahwa Allah mengutus seekor kijang ke hadapan Musa dan Khidhr AS. ketika mengucapkan Musa mengucapkan ucapannya tadi. Di dekat Khidhr ada daging kijang yang sudah terpanggang dan di dekat Musa juga ada daging kijang yang masih mentah. Hal ini memberi isyarat bahwa Khidhr itu bersikap sabar atas kelaparan, maka ia menyantapnya, sedang Musa AS. yang tidak sabar justru tidak bisa menyantapnya.
Dalam mengomentari ayat 97 surat al-Nahl “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik,” Ikrimah berpendapat, kata “kehidupan yang baik” dalam ayat ini adalah Qana’ah. Demikian juga dalam ayat 58 surat al-Hajj “Benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezki yang baik.“ Rezki yang baik dimaksudkan dalam ayat ini adalah Qana’ah. Dalam firman Allah ayat 33 surat al-Ahzab/33 “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Maksud al-Rijs dalam ayat ini kekikiran dan kerakusan.” Dan kalimat “wa yuthahhirakum thathhiran” (membersihkan kamu sebersih-bersihnya) dimaksudkan ialah dengan cara dermawan dan Qana’ah. Ada juga yang berpendapat, maksudnya dengan cara dermawan dan lemah lembut. Firman Allah ayat 35 surat Shad/38 “Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku.” Kerajaan yang dimaksud dalam ayat ini ialah sikap qana’ah yang sempurna.
Orang yang tidak pernah puas dengan jabatannya dan selalu mengincar jabatan orang lain dengan berbagai cara, termasuk meninggalkan Qana’ah dan mengejar kehinaan. Ambisi berlebihan lawan dari Qana’ah. Sifat-sifat tercela tersebut seyogyanya sudah tidak lagi membebani jamaah haji, karena rasa Qana’ah lebih kuat bekerja di dalam diri yang bersangkutan. ■
]]> , Qana’ah gampang diucapkan sulit dipraktekkan. Ada seorang yang kehausan lantas diberi air dengan setengah gelas. Orang itu merasa terhina karena air itu tidak sanggup membasahi tenggerokannya. Air setengah gelas itu habis diminum tetapi betul-betul tidak menyembuhkan dahaganya sedikitpun. Seorang lagi datang dengan kehausan yang sama dan menyaksikan air setengah gelas. Ia bersyukur, al-hamdulillah walau hanya setengah gelas tetapi lumayan bisa membasahi kerongkongan. Alhasil, orang ini merasa dahaganya terobati walau hanya setengah gelas karena berangkat dari persepsi positif, sedangkan orang yang pertama samasekali tidak terobati dahaganya karena berangkat dari persepsi negatif. Orang yang pertama contoh orang yang tidak Qana’ah dan orang yang kedua contoh orang Qana’ah.
Secara literal, Qana’ah berarti rela menerima jatah pembagian. Qana`ah adalah merasa tenang dalam menghadapi hilangnya sesuatu yang biasa ada, merasa cukup dengan yang sedikit, dan bersyukur dengan apa adanya. Ada juga yang mengatakan, yaitu merasa kaya dengan yang ada dan meninggalkan apa yang bisa menyebabkan kehilangan.
Nabi SAW. bersabda: “Qana’ah merupakan perbendaharaan yang tak pernah akan habis.” Dalam hadis lainnya, beliau bersabda: “Ridhailah apa yang diberikan Allah kepadamu, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling kaya.” Dalam Kitab Zabur, disebutkan, bahwa orang yang Qana’ah adalah orang yang kaya walaupun ia dalam keadaan kelaparan. Sebagian ahli hikmah berkata: “Barangsiapa yang tebal Qana’ahnya, maka setiap bulu yang ada di tubuhnya akan merasakan kebahagiaan.
Ada qaul yang mangatakan bahwa Allah Swt meletakkan kemuliaan di dalam lima hal, yaitu: Kemuliaan dalam ketaatan, kehinaan dalam kemaksiatan, kekhusyu’an dalam salat malam, kebijaksanaan dalam perut yang kosong, dan kekayaan dalam Qana’ah. Orang yang Qana’ah merasa tenang dari kesibukan dan berjaya atas segala sesuatu. Dikatakan juga, barangsiapa yang mengarahkan pandangannya kepada apa yang ada pada orang lain, ia akan memperpanjang kesedihannya.
Kalangan arifin berkata, kalian harus memotong segala sesuatu yang mengantarkan kepada kerakusan dengan pedang Qana’ah. Nabi Musa AS. ketika cenderung merasa rakus melalui ucapannya kepada Khidhr: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. (QS. Al-Kahf/18:77). Maka ia dihukum melalui ucapan Khidhr: “Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.” (QS. Al-Kahf/18: 78).
Dikatakan bahwa Allah mengutus seekor kijang ke hadapan Musa dan Khidhr AS. ketika mengucapkan Musa mengucapkan ucapannya tadi. Di dekat Khidhr ada daging kijang yang sudah terpanggang dan di dekat Musa juga ada daging kijang yang masih mentah. Hal ini memberi isyarat bahwa Khidhr itu bersikap sabar atas kelaparan, maka ia menyantapnya, sedang Musa AS. yang tidak sabar justru tidak bisa menyantapnya.
Dalam mengomentari ayat 97 surat al-Nahl “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik,” Ikrimah berpendapat, kata “kehidupan yang baik” dalam ayat ini adalah Qana’ah. Demikian juga dalam ayat 58 surat al-Hajj “Benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezki yang baik.“ Rezki yang baik dimaksudkan dalam ayat ini adalah Qana’ah. Dalam firman Allah ayat 33 surat al-Ahzab/33 “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Maksud al-Rijs dalam ayat ini kekikiran dan kerakusan.” Dan kalimat “wa yuthahhirakum thathhiran” (membersihkan kamu sebersih-bersihnya) dimaksudkan ialah dengan cara dermawan dan Qana’ah. Ada juga yang berpendapat, maksudnya dengan cara dermawan dan lemah lembut. Firman Allah ayat 35 surat Shad/38 “Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku.” Kerajaan yang dimaksud dalam ayat ini ialah sikap qana’ah yang sempurna.
Orang yang tidak pernah puas dengan jabatannya dan selalu mengincar jabatan orang lain dengan berbagai cara, termasuk meninggalkan Qana’ah dan mengejar kehinaan. Ambisi berlebihan lawan dari Qana’ah. Sifat-sifat tercela tersebut seyogyanya sudah tidak lagi membebani jamaah haji, karena rasa Qana’ah lebih kuat bekerja di dalam diri yang bersangkutan. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID