Awal Ketegangan Politik Dalam Dunia Islam –
5 min readIsu suksesi dan ketegangan politik dalam dunia Islam berawal pada masa Khulafa’ al-Rasyidin. Hanya saja, kearifan para sahabat Nabi berhasil meredam ketegangan itu. Akan tetapi pasca Khulafa’ al-Rasyidin, ketegangan politik tak terbendung lagi dan terjadilah apa yang biasa disebut dengan “fitnah kubra”, yaitu fitnah yang melahirkan perpecahan dan perang saudara melanda umat Islam saat itu.
Fitnah Kubra memuncak ketika Ali dan Mu’awiyah berseteru, masing-masing tidak ada yang mau mengalah di dalam memerebutkan pemimpin yang akan menggantikan Utsman. Ali sudah dilantik menjadi khalifah keempat tetapi tidak diakui oleh Mu’awiyah. Karena tidak ada yang mau mengalah, maka terjadilah peperangan yang disebut Perang Shiffin. Mu’awiyah didukung oleh ‘Aisyah, istri Nabi dan Ali tentu saja didukung oleh istrinya, Fathimah, putri Nabi. Perang tidak dapat dielakkan antara keduanya. Di tengah perang saudara ini, Amr ibn ‘Ash yang dikenal sebagai politikus cerdik di pihak Mu’awiyah, menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. Ia menggunakan simbol 500 Al-Qur’an yang diusung di ujung tombak sambil mengajak semua pasukan untuk kembali kepada penyelesaian secara Al-Qur’an. Ali dan Mu’awiyah menyetujuinya. Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ary, seorang ulama yang disegani dan Amru ibn Al-Ash mewakili pihak Mu’awiyah. Amr ibn ‘Ash tahu keshalihan dan kelemahan Abu Musa. Amr meminta agar demi kemuliaan Islam dan demi kemaslahatan umat Islam, sebaiknya Ali-dan Mu’awiyah mengundurkan diri lalu dicari tokoh lain yang lebih netral.
Dengan lugu Abu Musa, perunding mewakili pihak Ali ibn Ai Thalib menerima usulan itu. Ia diminta berpidato di lebih awal di depan massa dan pasukan kedua belah pihak. Ia menyerukan bahwa sekarang ini tidak ada lagi khalifah dan kini saatnya kita akan mencari khalifah yang dapat diterima oleh semua pihak. Tiba giliran Amr ibn ‘Ash, menelikung pernyataan itu dengan mengatakan, oleh karena sekarang tidak ada lagi khalifah maka dengan ini kami melegalkan Mu’awiyah sebagai khalifah. Tentu saja pihak Ali tidak menerimanya, maka peperangan pecah kembali. Begitulah seterusnya hingga Ali mati terbunuh.
Perang Shiffin merupakan perang saudara dalam dunia Islam. Peperangan ini sering disebut fitnah kubra atau fitnah terbesar dalam sejarah umat Islam. Fitnah inilah kemudian melahirkan aliran teologi seperti syi’ah, murji’ah, khawarij, dan simbol ahlu sunnah.
Apa yang ditampilkan Amr ibn ‘Ash itulah contoh Islam politik. Ia mengecoh lawannya dengan menggunakan simbol Al-Qur’an dan bahasa agama. Ia membakar emosi umat dengan menggunakan ayat dan hadis untuk mencapai kemenangan politik. Ia memojokkan orang lain dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis. Ia juga menggunakan ayat dan hadis untuk menghilangkan dan membunuh karakter lawan-lawan politiknya. Abu Musa al-Asy’ary dapat dikatakan simbol dari politik Islam dan Amr ibn ‘Ash merupakan simbol Islam politik.
Di dalam lintasan sejarah dunia Islam, pergumulan antara politik Islam dan Islam politik sering terjadi, tidak terkecuali di Indonesia. Ada golongan lebih menekankan pentingnya politik Islam, sementara golongan lain menganggapnya tidak cukup tetapi mesti harus dengan Islam politik. Ketegangan setiap suksesi dalam dunia Islam hampir selalu terjadi. Ini mungkin antara lain disebabkan tidak adanya standar baku yang mengatur urusan suksesi. Fikih siyasah lebih banyak berbicara tentang etika politik bukan sistem politik. Tentu ada hikmahnya mengapa Al-Qur’an dan hadis tidak mengatur secara detail soal suksesi. Mungkin salahsatu hikmahnya biarkanlah urusan politik praktis itu diselesaikan sendiri oleh kearifan lokal setiap komunitas umat, sebagaimana juga yang terjadi di dalam suksesi para Khulafa’ al-Rasyidin. ■
]]> , Isu suksesi dan ketegangan politik dalam dunia Islam berawal pada masa Khulafa’ al-Rasyidin. Hanya saja, kearifan para sahabat Nabi berhasil meredam ketegangan itu. Akan tetapi pasca Khulafa’ al-Rasyidin, ketegangan politik tak terbendung lagi dan terjadilah apa yang biasa disebut dengan “fitnah kubra”, yaitu fitnah yang melahirkan perpecahan dan perang saudara melanda umat Islam saat itu.
Fitnah Kubra memuncak ketika Ali dan Mu’awiyah berseteru, masing-masing tidak ada yang mau mengalah di dalam memerebutkan pemimpin yang akan menggantikan Utsman. Ali sudah dilantik menjadi khalifah keempat tetapi tidak diakui oleh Mu’awiyah. Karena tidak ada yang mau mengalah, maka terjadilah peperangan yang disebut Perang Shiffin. Mu’awiyah didukung oleh ‘Aisyah, istri Nabi dan Ali tentu saja didukung oleh istrinya, Fathimah, putri Nabi. Perang tidak dapat dielakkan antara keduanya. Di tengah perang saudara ini, Amr ibn ‘Ash yang dikenal sebagai politikus cerdik di pihak Mu’awiyah, menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. Ia menggunakan simbol 500 Al-Qur’an yang diusung di ujung tombak sambil mengajak semua pasukan untuk kembali kepada penyelesaian secara Al-Qur’an. Ali dan Mu’awiyah menyetujuinya. Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ary, seorang ulama yang disegani dan Amru ibn Al-Ash mewakili pihak Mu’awiyah. Amr ibn ‘Ash tahu keshalihan dan kelemahan Abu Musa. Amr meminta agar demi kemuliaan Islam dan demi kemaslahatan umat Islam, sebaiknya Ali-dan Mu’awiyah mengundurkan diri lalu dicari tokoh lain yang lebih netral.
Dengan lugu Abu Musa, perunding mewakili pihak Ali ibn Ai Thalib menerima usulan itu. Ia diminta berpidato di lebih awal di depan massa dan pasukan kedua belah pihak. Ia menyerukan bahwa sekarang ini tidak ada lagi khalifah dan kini saatnya kita akan mencari khalifah yang dapat diterima oleh semua pihak. Tiba giliran Amr ibn ‘Ash, menelikung pernyataan itu dengan mengatakan, oleh karena sekarang tidak ada lagi khalifah maka dengan ini kami melegalkan Mu’awiyah sebagai khalifah. Tentu saja pihak Ali tidak menerimanya, maka peperangan pecah kembali. Begitulah seterusnya hingga Ali mati terbunuh.
Perang Shiffin merupakan perang saudara dalam dunia Islam. Peperangan ini sering disebut fitnah kubra atau fitnah terbesar dalam sejarah umat Islam. Fitnah inilah kemudian melahirkan aliran teologi seperti syi’ah, murji’ah, khawarij, dan simbol ahlu sunnah.
Apa yang ditampilkan Amr ibn ‘Ash itulah contoh Islam politik. Ia mengecoh lawannya dengan menggunakan simbol Al-Qur’an dan bahasa agama. Ia membakar emosi umat dengan menggunakan ayat dan hadis untuk mencapai kemenangan politik. Ia memojokkan orang lain dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis. Ia juga menggunakan ayat dan hadis untuk menghilangkan dan membunuh karakter lawan-lawan politiknya. Abu Musa al-Asy’ary dapat dikatakan simbol dari politik Islam dan Amr ibn ‘Ash merupakan simbol Islam politik.
Di dalam lintasan sejarah dunia Islam, pergumulan antara politik Islam dan Islam politik sering terjadi, tidak terkecuali di Indonesia. Ada golongan lebih menekankan pentingnya politik Islam, sementara golongan lain menganggapnya tidak cukup tetapi mesti harus dengan Islam politik. Ketegangan setiap suksesi dalam dunia Islam hampir selalu terjadi. Ini mungkin antara lain disebabkan tidak adanya standar baku yang mengatur urusan suksesi. Fikih siyasah lebih banyak berbicara tentang etika politik bukan sistem politik. Tentu ada hikmahnya mengapa Al-Qur’an dan hadis tidak mengatur secara detail soal suksesi. Mungkin salahsatu hikmahnya biarkanlah urusan politik praktis itu diselesaikan sendiri oleh kearifan lokal setiap komunitas umat, sebagaimana juga yang terjadi di dalam suksesi para Khulafa’ al-Rasyidin. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID