Anggaran Rp 520 Triliun Habis Untuk Subsidi Energi Kalau Nggak Direm Bahaya Buat APBN –
4 min readJumlah tersebut sudah melambung tinggi dari pagu subsidi yang disiapkan Pemerintah sebesar Rp 170 triliun di tahun ini.
Kondisi ini dinilai cukup berbahaya bagi perekonomian nasional. Khususnya untuk stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Agar tidak berkepanjangan membebani APBN, harus segera dilakukan tata kelola dan pengawasan penyaluran subsidi, khususnya untuk BBM (Bahan Bakar Minyak). Kalau terus membengkak, defisit APBN bisa kembali meningkat,” ujar ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Selain itu, agar tetap sanggup menanggung beban subsidi yang kian menggunung, pendapatan negara harus tetap dijaga, bahkan ditingkatkan.
Penerimaan negara, kata Yusuf, harus bisa mempertahankan tren pertumbuhan yang sudah berlangsung sejak awal 2022.
Pemerintah juga harus mempertahankan tren pemulihan ekonomi, sehingga aktivitas perekonomian bisa berjalan baik. Dengan begitu, negara bisa menarik penerimaan dari pajak maupun nonpajak dengan lebih optimal.
Dia menjelaskan, selama ini pengawasan terhadap penyaluran subsidi BBM maupun gas elpiji relatif sulit. Akhirnya, subsidi meningkat karena ikut dinikmati orang tidak berhak.
Untuk itu, Yusuf menilai, pembenahan data penyaluran ataupun penerima subsidi BBM dan subsidi energi lainnya penting dilakukan. Ini untuk memastikan orang-orang yang menerima subsidi adalah orang tepat, yakni kelas pendapatan menengah ke bawah.
“Dalam undang-undang, kelompok inilah yang wajib dilindungi oleh negara,” imbuh Yusuf.
Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, jika APBN terus terbebani subsidi yang sangat besar, sementara harga komoditas ekspor Indonesia mengalami penurunan, akan sangat berbahaya bagi ekonomi nasional.
“Kemampuan APBN menahan laju harga BBM, semata-mata karena Indonesia mendapat ‘durian runtuh’ dari kenaikan harga komoditas batu bara, hingga minyak sawit yang sifatnya temporer,” ujar Bhima kepada Rakyat Merdeka.
Kendati begitu, dia mengingatkan risiko terjadinya resesi global dan normalisasi harga komoditas bisa membuat pendapatan negara terkoreksi.
“Jangan lengah karena berharap dari komoditas sama dengan naik roller coaster, naik turun tidak pasti,” tegas Bhima.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, Pemerintah sudah menggelontorkan Rp 520 triliun tahun ini untuk subsidi energi, di tengah melambungnya harga komoditas di tingkat internasional.
“Negara mana pun tidak akan kuat menyangga subsidi sebesar itu. Tapi Alhamdulillah sampai saat ini kita masih kuat. Ini yang perlu kita syukuri,” kata Jokowi dalam acara doa dan zikir kebangsaan dalam rangka peringatan HUT ke-77 RI di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (1/8) malam.
Diterangkan Jokowi, subsidi tersebut ditujukan untuk beberapa jenis barang. Yaitu, BBM jenis Solar, dan Pertalite.
Subsidi BBM yang begitu besar ini tak lepas dari kondisi dunia yang mengalami gejolak. Mulai dari pandemi Covid-19 selama sekitar 2,5 tahun yang berdampak terhadap pelemahan ekonomi dunia.
Dan yang terbaru, perang antara Ukraina dengan Rusia yang terjadi di saat perekonomian negara-negara di dunia belum pulih 100 persen pascapandemi Covid-19.
“Semua negara berada dalam posisi yang sangat sulit. Tapi kita patut bersyukur. Alhamdulilah, bensin di negara lain harganya sudah Rp 31.000, Rp 32.000. Di Indonesia, Pertalite harganya masih Rp 7.650,” jelas Jokowi. [NOV] ]]> , Jumlah tersebut sudah melambung tinggi dari pagu subsidi yang disiapkan Pemerintah sebesar Rp 170 triliun di tahun ini.
Kondisi ini dinilai cukup berbahaya bagi perekonomian nasional. Khususnya untuk stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Agar tidak berkepanjangan membebani APBN, harus segera dilakukan tata kelola dan pengawasan penyaluran subsidi, khususnya untuk BBM (Bahan Bakar Minyak). Kalau terus membengkak, defisit APBN bisa kembali meningkat,” ujar ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Selain itu, agar tetap sanggup menanggung beban subsidi yang kian menggunung, pendapatan negara harus tetap dijaga, bahkan ditingkatkan.
Penerimaan negara, kata Yusuf, harus bisa mempertahankan tren pertumbuhan yang sudah berlangsung sejak awal 2022.
Pemerintah juga harus mempertahankan tren pemulihan ekonomi, sehingga aktivitas perekonomian bisa berjalan baik. Dengan begitu, negara bisa menarik penerimaan dari pajak maupun nonpajak dengan lebih optimal.
Dia menjelaskan, selama ini pengawasan terhadap penyaluran subsidi BBM maupun gas elpiji relatif sulit. Akhirnya, subsidi meningkat karena ikut dinikmati orang tidak berhak.
Untuk itu, Yusuf menilai, pembenahan data penyaluran ataupun penerima subsidi BBM dan subsidi energi lainnya penting dilakukan. Ini untuk memastikan orang-orang yang menerima subsidi adalah orang tepat, yakni kelas pendapatan menengah ke bawah.
“Dalam undang-undang, kelompok inilah yang wajib dilindungi oleh negara,” imbuh Yusuf.
Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, jika APBN terus terbebani subsidi yang sangat besar, sementara harga komoditas ekspor Indonesia mengalami penurunan, akan sangat berbahaya bagi ekonomi nasional.
“Kemampuan APBN menahan laju harga BBM, semata-mata karena Indonesia mendapat ‘durian runtuh’ dari kenaikan harga komoditas batu bara, hingga minyak sawit yang sifatnya temporer,” ujar Bhima kepada Rakyat Merdeka.
Kendati begitu, dia mengingatkan risiko terjadinya resesi global dan normalisasi harga komoditas bisa membuat pendapatan negara terkoreksi.
“Jangan lengah karena berharap dari komoditas sama dengan naik roller coaster, naik turun tidak pasti,” tegas Bhima.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, Pemerintah sudah menggelontorkan Rp 520 triliun tahun ini untuk subsidi energi, di tengah melambungnya harga komoditas di tingkat internasional.
“Negara mana pun tidak akan kuat menyangga subsidi sebesar itu. Tapi Alhamdulillah sampai saat ini kita masih kuat. Ini yang perlu kita syukuri,” kata Jokowi dalam acara doa dan zikir kebangsaan dalam rangka peringatan HUT ke-77 RI di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (1/8) malam.
Diterangkan Jokowi, subsidi tersebut ditujukan untuk beberapa jenis barang. Yaitu, BBM jenis Solar, dan Pertalite.
Subsidi BBM yang begitu besar ini tak lepas dari kondisi dunia yang mengalami gejolak. Mulai dari pandemi Covid-19 selama sekitar 2,5 tahun yang berdampak terhadap pelemahan ekonomi dunia.
Dan yang terbaru, perang antara Ukraina dengan Rusia yang terjadi di saat perekonomian negara-negara di dunia belum pulih 100 persen pascapandemi Covid-19.
“Semua negara berada dalam posisi yang sangat sulit. Tapi kita patut bersyukur. Alhamdulilah, bensin di negara lain harganya sudah Rp 31.000, Rp 32.000. Di Indonesia, Pertalite harganya masih Rp 7.650,” jelas Jokowi. [NOV]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID