DigiBerita.com | Bahasa Indonesia
24 January 2025

Digiberita.com

Berita Startup dan Ekonomi Digital

Negeri Kanguru Penghasil Lithium Terbesar Dunia Bahlil Ajak Australia Sinergi Garap Hilirisasi Tambang… –

5 min read

Australia dan Indonesia merupakan negara penghasil tambang komponen industri baterai. Karena itu, Menteri Bahlil mengajak Negeri Kanguru berkolaborasi untuk memperkuat perekonomian kedua negara.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahada­lia melakukan penjajakan kerja sama dengan sejumlah negara di gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Di antaranya dengan Australia dan Kanada.

Bahlil bertemu dengan Sek­retaris Parlemen Negara Bagian Australia Barat Jessica Jane Shaw di Nusa Dua, Bali, Min­ggu (13/11). Dalam pertemuan itu, Bahlil menyampaikan komitmen Pemerintah mendor­ong investasi hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan melalui pengembangan eko­sistem industri kendaraan listrik terintegrasi.

Menurut Bahlil, saat ini meru­pakan momentum yang tepat bagi Indonesia dan Australia untuk memperkuat hubungan perekonomian, khususnya da­lam hal investasi. Indonesia dan Australia memiliki kekuatan di sektor pertambangan. Australia memiliki keunggulan sebagai penghasil lithium terbesar di dunia. Dan, Indonesia merupa­kan penghasil nikel.

Bahlil menjelaskan, 40 persen komponen kendaraan listrik adalah baterai. Sedangkan, ba­han baku penting dalam baterai yaitu nikel, mangan, cobalt, dan lithium. Dan, untuk lithium merupakan bahan mineral yang tidak dimiliki oleh Indonesia.

“Indonesia memiliki pasar yang besar dalam industri ken­daraan listrik dengan pemain-pemain global besar yang sudah berinvestasi seperti LG, Fox­conn, CATL. Ini merupakan sebuah peluang besar yang dapat dijajaki antara Indonesia dan Australia dengan konsep saling menguntungkan, dalam rangka meningkatkan perekonomian kedua negara,” ujar Bahlil.

Shaw menyambut positif aja­kan Bahlil. Menurutnya, dengan adanya 50 persen cadangan lithium dunia di Australia Barat, serta letak geografis Australia yang strategis terhadap Indone­sia. Hal ini merupakan langkah tepat untuk Indonesia memper­oleh bahan baku lithium dari Australia. Dan, bersinergi dalam pengembangan ekosistem kend­araan listrik.

“Seperti Indonesia, Pemerintah Australia juga memiliki ketertarikan dalam hal hilirisasi. Sehingga, ada peluang untuk melakukan kolaborasi dan sharing knowledge antara kedua negara,” ujar Shaw.

Selanjutnya Bahlil bertemu Menteri Perdagangan Interna­sional, Promosi Ekspor, Usaha Kecil dan Pembangunan Ekono­mi Kanada Mary Ng. Pertemuan digelar pada hari Selasa (15/11). Dalam pertemuan itu, Bahlil mengusulkan inisiatif untuk mendirikan organisasi negara-negara penghasil nikel seperti organisasi negara pengekspor minyak atau OPEC.

Dalam pertemuan, kedua pe­jabat itu mengeksplor peluang kerja sama kedua negara dan kolaborasi untuk optimalisa­si sumber daya alam secara berkelanjutan.

 

Sebagai sesama negara yang kaya hasil pertambangan khusus­nya nikel, menurut Bahlil, ke­beradaan organisasi negara penghasil nikel dapat mengoor­dinasikan dan menyatukan kebi­jakan komoditas nikel. Apalagi, Indonesia saat ini sedang mempri­oritaskan hilirisasi sumber daya alam dalam rangka pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Bahlil memperhatikan, selama ini negara-negara industri pro­dusen kendaraan listrik melaku­kan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik.

“Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata,” ungkap Bahlil.

Bahlil menyampaikan komit­mennya untuk mendukung pe­nyelesaian perjanjian kerja sama ekonomi Indonesia-Kanada (Indonesia-Canada Compre­hensive Economic Partnership Agreement/Indonesia-Canada/ CEPA). Bahlil berjanji akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian untuk mengakselerasi penyelesaian CEPA Indonesia-Canada.

Menteri Mary menyambut baik usulan itu. Dia menyampaikan, pekerjaan rumah selanjutnya ada­lah kedua negara untuk bekerja bersama dan mengeksplorasi peluang kolaborasi dimaksud.

Kedua negara sudah memiliki visi yang sejalan terkait optimal­isasi sumber daya alam secara berkelanjutan yang juga mem­berikan benefit secara ekonomi.

Pemerintah Kanada juga menginisiasi transisi ekonomi ke arah ekonomi hijau berkelanjutan, terutama dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan hijau.

“Pada prinsipnya, kami meya­kini bahwa kolaborasi perlu dilakukan dengan partner yang dapat dipercaya. Dan, Indonesia termasuk partner yang tepat,” ungkap Mary.

Soal negosiasi CEPA, Mary mengatakan, Pemerintah Kanada akan menciptakan sebuah kerangka yang akan memberi­kan investor kepastian dalam melakukan usahanya di Indone­sia. [BCG] ]]> , Australia dan Indonesia merupakan negara penghasil tambang komponen industri baterai. Karena itu, Menteri Bahlil mengajak Negeri Kanguru berkolaborasi untuk memperkuat perekonomian kedua negara.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahada­lia melakukan penjajakan kerja sama dengan sejumlah negara di gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Di antaranya dengan Australia dan Kanada.

Bahlil bertemu dengan Sek­retaris Parlemen Negara Bagian Australia Barat Jessica Jane Shaw di Nusa Dua, Bali, Min­ggu (13/11). Dalam pertemuan itu, Bahlil menyampaikan komitmen Pemerintah mendor­ong investasi hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan melalui pengembangan eko­sistem industri kendaraan listrik terintegrasi.

Menurut Bahlil, saat ini meru­pakan momentum yang tepat bagi Indonesia dan Australia untuk memperkuat hubungan perekonomian, khususnya da­lam hal investasi. Indonesia dan Australia memiliki kekuatan di sektor pertambangan. Australia memiliki keunggulan sebagai penghasil lithium terbesar di dunia. Dan, Indonesia merupa­kan penghasil nikel.

Bahlil menjelaskan, 40 persen komponen kendaraan listrik adalah baterai. Sedangkan, ba­han baku penting dalam baterai yaitu nikel, mangan, cobalt, dan lithium. Dan, untuk lithium merupakan bahan mineral yang tidak dimiliki oleh Indonesia.

“Indonesia memiliki pasar yang besar dalam industri ken­daraan listrik dengan pemain-pemain global besar yang sudah berinvestasi seperti LG, Fox­conn, CATL. Ini merupakan sebuah peluang besar yang dapat dijajaki antara Indonesia dan Australia dengan konsep saling menguntungkan, dalam rangka meningkatkan perekonomian kedua negara,” ujar Bahlil.

Shaw menyambut positif aja­kan Bahlil. Menurutnya, dengan adanya 50 persen cadangan lithium dunia di Australia Barat, serta letak geografis Australia yang strategis terhadap Indone­sia. Hal ini merupakan langkah tepat untuk Indonesia memper­oleh bahan baku lithium dari Australia. Dan, bersinergi dalam pengembangan ekosistem kend­araan listrik.

“Seperti Indonesia, Pemerintah Australia juga memiliki ketertarikan dalam hal hilirisasi. Sehingga, ada peluang untuk melakukan kolaborasi dan sharing knowledge antara kedua negara,” ujar Shaw.

Selanjutnya Bahlil bertemu Menteri Perdagangan Interna­sional, Promosi Ekspor, Usaha Kecil dan Pembangunan Ekono­mi Kanada Mary Ng. Pertemuan digelar pada hari Selasa (15/11). Dalam pertemuan itu, Bahlil mengusulkan inisiatif untuk mendirikan organisasi negara-negara penghasil nikel seperti organisasi negara pengekspor minyak atau OPEC.

Dalam pertemuan, kedua pe­jabat itu mengeksplor peluang kerja sama kedua negara dan kolaborasi untuk optimalisa­si sumber daya alam secara berkelanjutan.

 

Sebagai sesama negara yang kaya hasil pertambangan khusus­nya nikel, menurut Bahlil, ke­beradaan organisasi negara penghasil nikel dapat mengoor­dinasikan dan menyatukan kebi­jakan komoditas nikel. Apalagi, Indonesia saat ini sedang mempri­oritaskan hilirisasi sumber daya alam dalam rangka pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Bahlil memperhatikan, selama ini negara-negara industri pro­dusen kendaraan listrik melaku­kan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik.

“Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata,” ungkap Bahlil.

Bahlil menyampaikan komit­mennya untuk mendukung pe­nyelesaian perjanjian kerja sama ekonomi Indonesia-Kanada (Indonesia-Canada Compre­hensive Economic Partnership Agreement/Indonesia-Canada/ CEPA). Bahlil berjanji akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian untuk mengakselerasi penyelesaian CEPA Indonesia-Canada.

Menteri Mary menyambut baik usulan itu. Dia menyampaikan, pekerjaan rumah selanjutnya ada­lah kedua negara untuk bekerja bersama dan mengeksplorasi peluang kolaborasi dimaksud.

Kedua negara sudah memiliki visi yang sejalan terkait optimal­isasi sumber daya alam secara berkelanjutan yang juga mem­berikan benefit secara ekonomi.

Pemerintah Kanada juga menginisiasi transisi ekonomi ke arah ekonomi hijau berkelanjutan, terutama dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan hijau.

“Pada prinsipnya, kami meya­kini bahwa kolaborasi perlu dilakukan dengan partner yang dapat dipercaya. Dan, Indonesia termasuk partner yang tepat,” ungkap Mary.

Soal negosiasi CEPA, Mary mengatakan, Pemerintah Kanada akan menciptakan sebuah kerangka yang akan memberi­kan investor kepastian dalam melakukan usahanya di Indone­sia. [BCG]

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2020 - 2025. DigiBerita.com. All rights reserved |