Amarah Hakim –
3 min readReza Indragiri Amriel
Pakar Psikologi Forensik, Anggota Pusat Kajian Assessment Warga Binaan Pemasyarakatan, Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, Kemenkumham, Konsultan berbagai program Diklat Mahkamah Agung
(*)
Hakim tak boleh marah. Kalau marah, berarti dia tak bijak. Begitu anggapan orang. Ah, tak segampang itu menilai hakim.
Hakim terlihat gusar saat memeriksa Susi dan Kodir. Kentara naik darah alias marah. Hakim menyebut saksi menyampaikan keterangan hasil setting-an.
Kata penelitian, hakim yang marah menandakan dia termotivasi dan menjiwai betul perkara yang tengah dia sidangkan. Dengan emosinya yang naik, hakim menjadi lebih hati-hati dalam mencermati bukti, lebih sigap menangkap keterangan-keterangan yang tidak konsisten, serta lebih seksama terhadap rincian perkataan dan perbuatan di ruang sidang.
Jadi memang berisiko kalau ada pihak yang coba-coba men-setting para saksi lagi. Semakin banyak setting-an keterangan saksi yang berhasil hakim tangkap, semakin tinggi pula keyakinan hakim bahwa pihak pen-setting saksi memang sedang berupaya mempersulit persidangan sekaligus merusak kewibawaan hakim. Akibatnya berakumulasi; jangan kaget kalau nantinya hakim memberikan hukuman sangat berat.
Hakim juga pantas marah, setelah melihat keluarga Yoshua marah. Lewat amarahnya, hakim meyakinkan keluarga korban bahwa mereka berada dalam naungan hakim. Hakim menunjukkan bahwa persidangan ini bisa diandalkan untuk memperjuangkan nasib korban.
Alhasil, di mata saya, hakim yang menyidangkan perkara pembunuhan berencana dan perintangan penegakan hukum sudah marah dengan tepat. Amarah yang tepat, adalah amarah yang punya nilai yudisial.
Cirinya, pertama, tertuju ke pihak yang memang pantas dimarahi. Yakni saksi yang berdusta, berbelit-belit, dan tidak natural saat menjawab. Kedua, marahnya hakim didasarkan pada alasan yang sesuai. Yaitu, karena ulah saksi bisa menjauhkan proses hukum dari azas murah, cepat, dan sederhana.
Dan ketiga, amarah itu diungkapkan dengan cara yang tepat. Ini tampak ketika hakim memperingatkan saksi dan mengancam akan memidana mereka jika terus tidak bersikap kooperatif. (*)
]]> ,
Reza Indragiri Amriel
Pakar Psikologi Forensik, Anggota Pusat Kajian Assessment Warga Binaan Pemasyarakatan, Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, Kemenkumham, Konsultan berbagai program Diklat Mahkamah Agung
(*)
Hakim tak boleh marah. Kalau marah, berarti dia tak bijak. Begitu anggapan orang. Ah, tak segampang itu menilai hakim.
Hakim terlihat gusar saat memeriksa Susi dan Kodir. Kentara naik darah alias marah. Hakim menyebut saksi menyampaikan keterangan hasil setting-an.
Kata penelitian, hakim yang marah menandakan dia termotivasi dan menjiwai betul perkara yang tengah dia sidangkan. Dengan emosinya yang naik, hakim menjadi lebih hati-hati dalam mencermati bukti, lebih sigap menangkap keterangan-keterangan yang tidak konsisten, serta lebih seksama terhadap rincian perkataan dan perbuatan di ruang sidang.
Jadi memang berisiko kalau ada pihak yang coba-coba men-setting para saksi lagi. Semakin banyak setting-an keterangan saksi yang berhasil hakim tangkap, semakin tinggi pula keyakinan hakim bahwa pihak pen-setting saksi memang sedang berupaya mempersulit persidangan sekaligus merusak kewibawaan hakim. Akibatnya berakumulasi; jangan kaget kalau nantinya hakim memberikan hukuman sangat berat.
Hakim juga pantas marah, setelah melihat keluarga Yoshua marah. Lewat amarahnya, hakim meyakinkan keluarga korban bahwa mereka berada dalam naungan hakim. Hakim menunjukkan bahwa persidangan ini bisa diandalkan untuk memperjuangkan nasib korban.
Alhasil, di mata saya, hakim yang menyidangkan perkara pembunuhan berencana dan perintangan penegakan hukum sudah marah dengan tepat. Amarah yang tepat, adalah amarah yang punya nilai yudisial.
Cirinya, pertama, tertuju ke pihak yang memang pantas dimarahi. Yakni saksi yang berdusta, berbelit-belit, dan tidak natural saat menjawab. Kedua, marahnya hakim didasarkan pada alasan yang sesuai. Yaitu, karena ulah saksi bisa menjauhkan proses hukum dari azas murah, cepat, dan sederhana.
Dan ketiga, amarah itu diungkapkan dengan cara yang tepat. Ini tampak ketika hakim memperingatkan saksi dan mengancam akan memidana mereka jika terus tidak bersikap kooperatif. (*)
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID