Prof. Tjandra Yoga Aditama 69 Sirup Obat Dicabut Izin Edarnya, Yang Kadung Minum Tolong Diperhatikan –
7 min readMantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan kesedihan mendalam, atas meninggalnya 194 anak dari total 324 yang terkena gagal ginjal akut per 5 November 2022.
Berbagai penjelasan mengaitkan kejadian tragis ini dengan konsumsi obat yang diminum anak-anak. Meski sebenarnya itu adalah obat resmi yang beredar.
Pada 2 November 2022, WHO sudah mengeluarkan Medical Product Alert No. 7/2022 yang menegaskan, delapan obat sirup untuk anak di negara kita dinyatakan substandar (terkontaminasi).
Kedelapan obat tersebut adalah Termorex syrup (batch AUG22A06), Flurin DMP syrup, Unibebi Cough Syrup, Unibebi Demam Paracetamol Drops, Unibebi Demam Paracetamol Syrup, Paracetamol Drops (PT Afi Farma), Paracetamol Syrup (mint) (PT Afi Farma) dan Vipcol Syrup.
“Penjelasan WHO ini jelas menyatakan bahwa semua obat sirup ini mengandung etilen glikol (EG) dan/atau di etilen glikol (DEG) yang tinggi kadarnya. Ditulis sebagai unacceptable amounts, sebagai pencemar, yang sudah dikonfirmasi berdasar analisis laboratorium oleh otoritas kesehatan di Indonesia,” papar Prof. Tjandra dalam keterangannya, Selasa (7/11).
Yang lebih mengejutkan lagi, BPOM mencabut izin edar 69 sirup obat. Sebagaimana diberitakan RM.id edisi 7 November 2022, https://rm.id/baca-berita/nasional/147660/bpom-cabut-izin-edar-69-sirup-obat-dari-3-industri-farmasi-nakal
“Dalam kegiatan produksinya, ketiga industri farmasi itu menggunakan bahan baku pelarut propilen glikol. Sementara produk jadinya, mengandung cemaran etilen glikol yang melebihi batas aman,” demikian penjelasan BPOM melalui keterangan resminya, Senin, 7 November.
Dengan begitu, sudah ada anak-anak Indonesia yang dalam beberapa bulan belakangan ini mengkonsumsi 69 obat, yang sekarang dicabut izin edarnya oleh BPOM.
Termasuk, 8 obat yang oleh WHO disebut substandar, terkontaminasi, dan kadar EG dan/atau DEG nya tinggi.
Ini berarti, anak-anak sudah meminum obat yang mengandung cemaran melebihi batas aman.
“Tentu, ada potensi dampak bahayanya. Kita tidak bisa mendiamkan begitu saja nasib mereka. Kita tahu, sudah ada 324 anak yang sakit dan 194 orang yang meninggal,” papar Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI ini.
“Yang harus dicari sekarang, berapa banyak sebenarnya anak-anak Indonesia yang pada kenyataannya sudah mengkonsumsi 69 obat yang tidak aman itu,” imbuhnya.
Prof. Tjandra menegaskan, kita perlu tahu persis, apakah ada dampak negatif yang dialami anak-anak, karena sudah mengkonsumsi obat yang tidak aman.
Terutama, di luar 324 pasien yang sudah tercatat.
“Ini obatnya ada 69 macam. Tentu, sudah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Entah berapa ratus atau mungkin ribu anak yang sudah meminumnya. Katakanlah di sepanjang tahun 2022 ini saja,” tutur Penerima Rakyat Merdeka Award 2022 – Edukasi dan Literasi Kesehatan Masyarakat ini.
Sebaiknya, kata Prof. Tjandra, semua anak-anak peminum 69 obat ini dicari satu persatu, diidentifikasi dan diperiksa kesehatannya.
Tentu, tidak mudah mencari siapa saja, dan berapa banyak anak-anak yang sudah meminum obat ini, tetapi tidak sakit.
Namun, data peredaran 69 obat sirup itu dapat dijadikan acuan, untuk mengidentifikasi.
Karena penting bagi kita, untuk menjaga kesehatan anak-anak, yang ternyata sudah terlanjur meminum 69 obat dengan cemaran “berbahaya” itu.
“Meski saat ini tidak tercatat sebagai pasien gagal ginjal, tapi harus diketahui, apakah ada dampak lain yang mereka alami. Baik itu jangka pendek atau jangka panjang,” ucap Prof. Tjandra.
Menurutnya, yang paling baik sekarang ini adalah memfasilitasi pemeriksaan kesehatan semua anak, yang mengkonsumsi sirup obat berbahaya itu.
“Karena 69 obat ini sudah diumumkan ke publik, maka para orang tua yang anaknya mengkonsumsi obat-obatan tersebut, diimbau membawa anaknya untuk diperiksa di fasilitas kesehatan. Tentu dengan memudahkan pelayanannya,” usul Prof. Tjandra.
Sisi lainnya, 69 obat melebihi ambang batas untuk EG dan atau DEG ini, tentu tidak hanya diminum oleh 324 orang yang kini dilaporkan jatuh sakit.
Kalau ada ratusan lagi (apalagi kalau ribuan atau lebih banyak lagi) anak yang juga meminum obat ini, dan kemudian ternyata baik-baik saja, maka tentu harus di analisa mendalam.
Harus dapat dijelaskan kenapa banyak (atau mungkin lebih banyak) anak-anak yang minum obat yang sama, tetapi tidak sakit.
Apakah memang karena faktor daya tahan anak yang berbeda atau jangan-jangan ada faktor penyebab lain yang perlu dicari mendalam?
“Artinya, di satu sisi, pembuktian harus dapat menjelaskan, kenapa banyak anak yang meminum obat di atas ambang batas, tetapi tidak tercatat sebagai 324 kasus gagal ginjal akut. Di sisi lain, mereka yang tetap sakit walaupun tidak meminum obat ini, tetap harus diteliti,” beber Prof. Tjandra.
Baik juga jika disampaikan ke publik, jumlah anak yang mengkonsumsi sedikitnya satu dari 69 obat yang disebut tinggi kadar EG dan DEG, dari total 324 kasus. Atau dari 194 yang meninggal.
“Kalau semua atau sebagian besar memang mengkonsumsinya maka hubungan antara konsumsi obat dan kejadian penyakit menjadi lebih pasti. Tetapi, kalau dari 324 pasien (dan 194 yg meninggal) hanya sedikit yang minum obat sirup itu, hubungan sebab akibatnya menjadi sulit dibuktikan dengan pasti,” terangnya.
Untuk itu, kata Prof. Tjandra, kita harus menunggu pengumuman resmi tentang jumlah anak, dari total 324 yang sakit, yang mengkonsumsi obat dengan kadar EG dan DEG tinggi.
Datanya tentu bisa didapatkan, karena pemerintah telah melakukan penyelidikan epidemiologik (PE) yang mendalam, terhadap 324 anak itu.
Termasuk, obat-obat apa saja yang mereka minum, dan mungkin juga ada faktor-faktor penyebab penyakit lainnya.!
Di era evidence-based sekarang ini, hasil penelitian ilmiah adalah dasar penentuan kebijakan publik.
“Semoga, semua anak-anak Indonesia yang sudah telanjur meminum 69 obat yang tercemar itu, dapat dilindungi negara. Semoga, analisis ilmiah dapat segera menjawab, kenapa terjadi tragedi hampir 200 anak Indonesia meninggal dalam beberapa bulan terakhir, karena gagal ginjal akut,” pungkas Prof. Tjandra. ■
]]> , Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan kesedihan mendalam, atas meninggalnya 194 anak dari total 324 yang terkena gagal ginjal akut per 5 November 2022.
Berbagai penjelasan mengaitkan kejadian tragis ini dengan konsumsi obat yang diminum anak-anak. Meski sebenarnya itu adalah obat resmi yang beredar.
Pada 2 November 2022, WHO sudah mengeluarkan Medical Product Alert No. 7/2022 yang menegaskan, delapan obat sirup untuk anak di negara kita dinyatakan substandar (terkontaminasi).
Kedelapan obat tersebut adalah Termorex syrup (batch AUG22A06), Flurin DMP syrup, Unibebi Cough Syrup, Unibebi Demam Paracetamol Drops, Unibebi Demam Paracetamol Syrup, Paracetamol Drops (PT Afi Farma), Paracetamol Syrup (mint) (PT Afi Farma) dan Vipcol Syrup.
“Penjelasan WHO ini jelas menyatakan bahwa semua obat sirup ini mengandung etilen glikol (EG) dan/atau di etilen glikol (DEG) yang tinggi kadarnya. Ditulis sebagai unacceptable amounts, sebagai pencemar, yang sudah dikonfirmasi berdasar analisis laboratorium oleh otoritas kesehatan di Indonesia,” papar Prof. Tjandra dalam keterangannya, Selasa (7/11).
Yang lebih mengejutkan lagi, BPOM mencabut izin edar 69 sirup obat. Sebagaimana diberitakan RM.id edisi 7 November 2022, https://rm.id/baca-berita/nasional/147660/bpom-cabut-izin-edar-69-sirup-obat-dari-3-industri-farmasi-nakal
“Dalam kegiatan produksinya, ketiga industri farmasi itu menggunakan bahan baku pelarut propilen glikol. Sementara produk jadinya, mengandung cemaran etilen glikol yang melebihi batas aman,” demikian penjelasan BPOM melalui keterangan resminya, Senin, 7 November.
Dengan begitu, sudah ada anak-anak Indonesia yang dalam beberapa bulan belakangan ini mengkonsumsi 69 obat, yang sekarang dicabut izin edarnya oleh BPOM.
Termasuk, 8 obat yang oleh WHO disebut substandar, terkontaminasi, dan kadar EG dan/atau DEG nya tinggi.
Ini berarti, anak-anak sudah meminum obat yang mengandung cemaran melebihi batas aman.
“Tentu, ada potensi dampak bahayanya. Kita tidak bisa mendiamkan begitu saja nasib mereka. Kita tahu, sudah ada 324 anak yang sakit dan 194 orang yang meninggal,” papar Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI ini.
“Yang harus dicari sekarang, berapa banyak sebenarnya anak-anak Indonesia yang pada kenyataannya sudah mengkonsumsi 69 obat yang tidak aman itu,” imbuhnya.
Prof. Tjandra menegaskan, kita perlu tahu persis, apakah ada dampak negatif yang dialami anak-anak, karena sudah mengkonsumsi obat yang tidak aman.
Terutama, di luar 324 pasien yang sudah tercatat.
“Ini obatnya ada 69 macam. Tentu, sudah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Entah berapa ratus atau mungkin ribu anak yang sudah meminumnya. Katakanlah di sepanjang tahun 2022 ini saja,” tutur Penerima Rakyat Merdeka Award 2022 – Edukasi dan Literasi Kesehatan Masyarakat ini.
Sebaiknya, kata Prof. Tjandra, semua anak-anak peminum 69 obat ini dicari satu persatu, diidentifikasi dan diperiksa kesehatannya.
Tentu, tidak mudah mencari siapa saja, dan berapa banyak anak-anak yang sudah meminum obat ini, tetapi tidak sakit.
Namun, data peredaran 69 obat sirup itu dapat dijadikan acuan, untuk mengidentifikasi.
Karena penting bagi kita, untuk menjaga kesehatan anak-anak, yang ternyata sudah terlanjur meminum 69 obat dengan cemaran “berbahaya” itu.
“Meski saat ini tidak tercatat sebagai pasien gagal ginjal, tapi harus diketahui, apakah ada dampak lain yang mereka alami. Baik itu jangka pendek atau jangka panjang,” ucap Prof. Tjandra.
Menurutnya, yang paling baik sekarang ini adalah memfasilitasi pemeriksaan kesehatan semua anak, yang mengkonsumsi sirup obat berbahaya itu.
“Karena 69 obat ini sudah diumumkan ke publik, maka para orang tua yang anaknya mengkonsumsi obat-obatan tersebut, diimbau membawa anaknya untuk diperiksa di fasilitas kesehatan. Tentu dengan memudahkan pelayanannya,” usul Prof. Tjandra.
Sisi lainnya, 69 obat melebihi ambang batas untuk EG dan atau DEG ini, tentu tidak hanya diminum oleh 324 orang yang kini dilaporkan jatuh sakit.
Kalau ada ratusan lagi (apalagi kalau ribuan atau lebih banyak lagi) anak yang juga meminum obat ini, dan kemudian ternyata baik-baik saja, maka tentu harus di analisa mendalam.
Harus dapat dijelaskan kenapa banyak (atau mungkin lebih banyak) anak-anak yang minum obat yang sama, tetapi tidak sakit.
Apakah memang karena faktor daya tahan anak yang berbeda atau jangan-jangan ada faktor penyebab lain yang perlu dicari mendalam?
“Artinya, di satu sisi, pembuktian harus dapat menjelaskan, kenapa banyak anak yang meminum obat di atas ambang batas, tetapi tidak tercatat sebagai 324 kasus gagal ginjal akut. Di sisi lain, mereka yang tetap sakit walaupun tidak meminum obat ini, tetap harus diteliti,” beber Prof. Tjandra.
Baik juga jika disampaikan ke publik, jumlah anak yang mengkonsumsi sedikitnya satu dari 69 obat yang disebut tinggi kadar EG dan DEG, dari total 324 kasus. Atau dari 194 yang meninggal.
“Kalau semua atau sebagian besar memang mengkonsumsinya maka hubungan antara konsumsi obat dan kejadian penyakit menjadi lebih pasti. Tetapi, kalau dari 324 pasien (dan 194 yg meninggal) hanya sedikit yang minum obat sirup itu, hubungan sebab akibatnya menjadi sulit dibuktikan dengan pasti,” terangnya.
Untuk itu, kata Prof. Tjandra, kita harus menunggu pengumuman resmi tentang jumlah anak, dari total 324 yang sakit, yang mengkonsumsi obat dengan kadar EG dan DEG tinggi.
Datanya tentu bisa didapatkan, karena pemerintah telah melakukan penyelidikan epidemiologik (PE) yang mendalam, terhadap 324 anak itu.
Termasuk, obat-obat apa saja yang mereka minum, dan mungkin juga ada faktor-faktor penyebab penyakit lainnya.!
Di era evidence–based sekarang ini, hasil penelitian ilmiah adalah dasar penentuan kebijakan publik.
“Semoga, semua anak-anak Indonesia yang sudah telanjur meminum 69 obat yang tercemar itu, dapat dilindungi negara. Semoga, analisis ilmiah dapat segera menjawab, kenapa terjadi tragedi hampir 200 anak Indonesia meninggal dalam beberapa bulan terakhir, karena gagal ginjal akut,” pungkas Prof. Tjandra. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID