DigiBerita.com | Bahasa Indonesia
23 January 2025

Digiberita.com

Berita Startup dan Ekonomi Digital

Sebentar Lagi, Banyak Orang Pindahkan Mata Pencaharian Dan Kehidupan Sosialnya Ke Metaverse –

6 min read

Teknologi blockchain yang diikuti dengan jargon tren metaverse makin perhatian publik. Terutama aplikasi berbasis game.

Banyak game yang kini menyematkan mata uang kripto dengan teknologi blockchain sebagai basis platform teknologi pendukungnya. Namun sayangnya pemahaman mengenai metaverse dinilai sangat dini.

Pelaku usaha di bidang blockchain, Reiner Rahardja menilai, saat ini banyak pihak keliru dengan menyebut segala jenis game berbasis blockchain sebagai metaverse.

Padahal, metaverse yang diwacanakan oleh para industrialis dunia sifatnya jauh lebih rumit dan kompleks dalam ranah penerapan dan pengaktifasian ekosistemnya. Jadi bukan sekadar game online berbasis blockchain.

“Metaverse yang sejati hanya akan terjadi jika memiliki penerapan ekosistem dan ekonomi independen didalamnya yang menjadikan metaverse tersebut sebagai pengejawantahan dari gabungan kata meta dan universe atau meta-universe yang kemudian disingkat menjadi sebuah kata baru yakni metaverse,” papar Reiner dalam keterangan persnya, dikutip Minggu (6/11).

Pria yang berkecimpung di blockchain sejak 6 tahun silam ini menjelaskan, kata universe  artinya jagat semesta yang mewakili ruang dan waktu fisik dalam kehidupan sehari-hari. Tentu termasuk di dalamnya adalah kegiatan harian manusia yang seluruhnya berputar di sekitar unsur finansial dan uang.

Sedangkan kata Meta, secara etimologi berarti melampaui atau bersifat transenden. Pemahaman kata inilah yang membuat rancu pengertian metaverse secara global.

Hal itu karena publik belum bisa membedakan mana Meta yang artinya brand media sosial milik Mark Zuckerberg, atau meta dalam arti kata sebenarnya.

“Sehingga banyak orang berpikir metaverse adalah produk atau teknologi milik perusahaan yang dulunya bernama Facebook, padahal sama sekali bukan,” tegas Reiner.

Ia juga mendeskripsikan metaverse secara sederhana, yakni sebuah dunia baru yang melampaui asas ruang dan waktu fisik dan menjadi opsi hidup kedua bagi setiap insan untuk menjalani kehidupannya dengan serius.

Bukan dalam konteks berpindah hidup dari universe saat ini lalu secara harafiah masuk dalam metaverse di dunia maya dan tidak keluar lagi, tapi lebih kepada eksistensi dua jenis dunia berbeda yang saling berjalan bersamaan atau sifatnya co-exist.

Kenyataan ini juga terlihat dalam ucapan Mark Zuckerberg 2021 silam yang sedang mentransformasi perusahaanya dari perusahaan sosial media menjadi perusahaan metaverse.

“Dari situ kita mendapat hidden message bahwa dunia maya saat ini bukanlah metaverse, sedangkan populasi terbesar penduduk dunia maya sekarang adalah sekadar penduduk sosial media saja,” beber Reiner. 

Ketika metaverse itu nanti sudah jadi maka akan banyak orang dapat memulai hidup baru di dalamnya. Bahkan, memindahkan mata pencaharian dan kehidupan sosial sepenuhnya dalam metaverse.

“Pindah ke metaverse ya semacam migrasi gitulah, kayak orang Indonesia merantau ke luar negri buat memperbaiki nasib ujung-ujungnya mah nyari duit juga. Cuma pergaulannya baru semua dan jati diri lama gak perlu dibawa ke metaverse. Ya perantau kan gitu, ga ada yang tau kita siapa di negara asal kita,” terangnya.

 

Menariknya, dari aspek blockchain saat ini adalah ketika metaverse itu tidak lagi menggunakan mata uang dunia dan segala bisnis.

Lalu aktivitas perekonomian di dalamnya sama sekali terpisah dari roda perekonomian universe normal, lanjut Reiner, karena sifat blockchain adalah desentralisasi alias tidak terpusat atau dikontrol segelintir super power.

Maka yang ada adalah pengaturan dari rakyat untuk rakyat melalui system voting blockchain. Sifat tersebut yang apabila diterapkan dengan baik nantinya akan membuat perekonomian metaverse terpisah dari universe yang ada.

Hal ini terbukti dari perkembangan mata uang kripto akhir-akhir ini yang beberapa kali mengalami fenomena “decoupling” dari finansial market dunia.

Bahkan, dalam keputusan The Fed tanggal 2 November 2022 kemarin volatilitas kripto tidak seanjlok bursa saham dan itu menunjukan anomali.

“Bayangkan jika kripto sudah fully alive dalam metaverse, akan menjadi kuda hitam dalam perubahan massal pola hidup manusia,” ucapnya. 

Tinggal menunggu waktu saja sampai metaverse yang berjalan sesuai harapan dapat muncul dan “co-exist” dengan universe saat ini dan memberikan pilihan hidup lebih luas untuk melanjutkan sepak terjang di dunia nyata atau memulai kehidupan baru dengan pergaulan dan peluang-peluang baru di dalam metaverse.

“Saya rasa sebelum tahun 2027 pun manusia sudah banyak yang migrasi ke metaverse karena sudah ada metaverse yang dapat memfasilitasi hidup baru tersebut secara holistik,” pungkas Reiner. ■
]]> , Teknologi blockchain yang diikuti dengan jargon tren metaverse makin perhatian publik. Terutama aplikasi berbasis game.

Banyak game yang kini menyematkan mata uang kripto dengan teknologi blockchain sebagai basis platform teknologi pendukungnya. Namun sayangnya pemahaman mengenai metaverse dinilai sangat dini.

Pelaku usaha di bidang blockchain, Reiner Rahardja menilai, saat ini banyak pihak keliru dengan menyebut segala jenis game berbasis blockchain sebagai metaverse.

Padahal, metaverse yang diwacanakan oleh para industrialis dunia sifatnya jauh lebih rumit dan kompleks dalam ranah penerapan dan pengaktifasian ekosistemnya. Jadi bukan sekadar game online berbasis blockchain.

“Metaverse yang sejati hanya akan terjadi jika memiliki penerapan ekosistem dan ekonomi independen didalamnya yang menjadikan metaverse tersebut sebagai pengejawantahan dari gabungan kata meta dan universe atau meta-universe yang kemudian disingkat menjadi sebuah kata baru yakni metaverse,” papar Reiner dalam keterangan persnya, dikutip Minggu (6/11).

Pria yang berkecimpung di blockchain sejak 6 tahun silam ini menjelaskan, kata universe  artinya jagat semesta yang mewakili ruang dan waktu fisik dalam kehidupan sehari-hari. Tentu termasuk di dalamnya adalah kegiatan harian manusia yang seluruhnya berputar di sekitar unsur finansial dan uang.

Sedangkan kata Meta, secara etimologi berarti melampaui atau bersifat transenden. Pemahaman kata inilah yang membuat rancu pengertian metaverse secara global.

Hal itu karena publik belum bisa membedakan mana Meta yang artinya brand media sosial milik Mark Zuckerberg, atau meta dalam arti kata sebenarnya.

“Sehingga banyak orang berpikir metaverse adalah produk atau teknologi milik perusahaan yang dulunya bernama Facebook, padahal sama sekali bukan,” tegas Reiner.

Ia juga mendeskripsikan metaverse secara sederhana, yakni sebuah dunia baru yang melampaui asas ruang dan waktu fisik dan menjadi opsi hidup kedua bagi setiap insan untuk menjalani kehidupannya dengan serius.

Bukan dalam konteks berpindah hidup dari universe saat ini lalu secara harafiah masuk dalam metaverse di dunia maya dan tidak keluar lagi, tapi lebih kepada eksistensi dua jenis dunia berbeda yang saling berjalan bersamaan atau sifatnya co-exist.

Kenyataan ini juga terlihat dalam ucapan Mark Zuckerberg 2021 silam yang sedang mentransformasi perusahaanya dari perusahaan sosial media menjadi perusahaan metaverse.

“Dari situ kita mendapat hidden message bahwa dunia maya saat ini bukanlah metaverse, sedangkan populasi terbesar penduduk dunia maya sekarang adalah sekadar penduduk sosial media saja,” beber Reiner. 

Ketika metaverse itu nanti sudah jadi maka akan banyak orang dapat memulai hidup baru di dalamnya. Bahkan, memindahkan mata pencaharian dan kehidupan sosial sepenuhnya dalam metaverse.

“Pindah ke metaverse ya semacam migrasi gitulah, kayak orang Indonesia merantau ke luar negri buat memperbaiki nasib ujung-ujungnya mah nyari duit juga. Cuma pergaulannya baru semua dan jati diri lama gak perlu dibawa ke metaverse. Ya perantau kan gitu, ga ada yang tau kita siapa di negara asal kita,” terangnya.

 

Menariknya, dari aspek blockchain saat ini adalah ketika metaverse itu tidak lagi menggunakan mata uang dunia dan segala bisnis.

Lalu aktivitas perekonomian di dalamnya sama sekali terpisah dari roda perekonomian universe normal, lanjut Reiner, karena sifat blockchain adalah desentralisasi alias tidak terpusat atau dikontrol segelintir super power.

Maka yang ada adalah pengaturan dari rakyat untuk rakyat melalui system voting blockchain. Sifat tersebut yang apabila diterapkan dengan baik nantinya akan membuat perekonomian metaverse terpisah dari universe yang ada.

Hal ini terbukti dari perkembangan mata uang kripto akhir-akhir ini yang beberapa kali mengalami fenomena “decoupling” dari finansial market dunia.

Bahkan, dalam keputusan The Fed tanggal 2 November 2022 kemarin volatilitas kripto tidak seanjlok bursa saham dan itu menunjukan anomali.

“Bayangkan jika kripto sudah fully alive dalam metaverse, akan menjadi kuda hitam dalam perubahan massal pola hidup manusia,” ucapnya. 

Tinggal menunggu waktu saja sampai metaverse yang berjalan sesuai harapan dapat muncul dan “co-exist” dengan universe saat ini dan memberikan pilihan hidup lebih luas untuk melanjutkan sepak terjang di dunia nyata atau memulai kehidupan baru dengan pergaulan dan peluang-peluang baru di dalam metaverse.

“Saya rasa sebelum tahun 2027 pun manusia sudah banyak yang migrasi ke metaverse karena sudah ada metaverse yang dapat memfasilitasi hidup baru tersebut secara holistik,” pungkas Reiner. ■

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2020 - 2025. DigiBerita.com. All rights reserved |