Ke Menteri Yang Mau Nyapres Presiden Tak Melarang, Tapi Kasih Peringatan –
4 min readPresiden Jokowi tak akan menghalang-halangi jika ada menteri yang mau nyapres. Namun, Jokowi memberi peringatan, kinerja menteri tersebut jangan sampai terganggu. Kalau terganggu, siap-siap bakal dievaluasi.
Hal itu disampaikan Jokowi saat meninjau pameran Indo Defence 2022 Expo & Forum, di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, kemarin. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, sebagai salah satu menteri yang digadang-gadang Partai Gerindra sebagai calon presiden (capres), manggut-manggut mendengarnya.
“Ya tugas sebagai menteri harus diutamakan,” tegas Jokowi, namun dengan tersenyum.
Kepala Negara menjelaskan, ada opsi-opsi yang nantinya akan diberikan kepada anak buahnya yang mau nyapres. Di antaranya memberikan cuti.
“Tetapi kalau kita lihat nanti mengganggu, ya akan dievaluasi. Apakah harus cuti panjang banget atau tidak,” sambungnya.
Senin (31/10) lalu, MK mengeluarkan putusan soal menteri cukup izin ke Presiden saat nyapres. Putusan ini dikeluarkan atas uji materiil Pasal 170 Ayat (1) UU Pemilu yang diajukan Partai Garuda.
Pasal tersebut berbunyi: “Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta Pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil walikota”. Dalam pasal tersebut, posisi menteri tidak termasuk yang dikecualikan.
Dalam putusannya, MK menambahkan frasa “menteri dan pejabat setingkat menteri” dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU Pemilu. Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, MK menilai warga negara yang mengemban jabatan tertentu, tetap melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih, sepanjang hak tersebut tidak dicabut oleh UU atau putusan pengadilan.
“Adanya perlakuan berbeda terhadap menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai pejabat negara yang diharuskan mengundurkan diri sebagaimana ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu, menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional,” kata Arief.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi setuju dengan putusan MK tersebut. Ia juga mendukung opsi cuti yang disampaikan Jokowi. Namun, Viva memberikan 3 catatan.
Pertama, menteri tersebut harus mengambil cuti dari jabatannya, dan tak menerima tanggungan. “Menteri cuti di luar tanggungan biaya oleh negara,” ujarnya, di Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin.
Kedua, menteri tersebut tak boleh menyalahgunakan kekuasaannya. Seperti tak boleh menggunakan fasilitas negara atau lembaga kementerian untuk meningkatkan elektabilitas pribadi atau partainya.
“Apabila ada abuse of power, maka harus ditindak, ada sanksi yang jelas. Kan di Undang-Undang Pemilu ada,” jelas Viva.
Ketiga, jika dalam perjalanannya menteri tersebut tak menunjukkan performa maksimal karena sibuk kampanye, Presiden dapat menggantinya. “Dalam rangka untuk meningkatkan kinerja pemerintah,” tegasnya.
Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, nasib menteri yang nyapres sepenuhnya ada di tangan Jokowi. Apakah diganti atau tetap dipertahankan.
“Semua balik lagi ke Presiden Jokowi. Kalau Presiden Jokowi tidak merasa terganggu, menteri-menterinya sekalian berkampanye ya, nggak ada yang bisa memaksa dia untuk melakukan reshuffle kan,” kata Hensat, tadi malam. [SAR] ]]> , Presiden Jokowi tak akan menghalang-halangi jika ada menteri yang mau nyapres. Namun, Jokowi memberi peringatan, kinerja menteri tersebut jangan sampai terganggu. Kalau terganggu, siap-siap bakal dievaluasi.
Hal itu disampaikan Jokowi saat meninjau pameran Indo Defence 2022 Expo & Forum, di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, kemarin. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, sebagai salah satu menteri yang digadang-gadang Partai Gerindra sebagai calon presiden (capres), manggut-manggut mendengarnya.
“Ya tugas sebagai menteri harus diutamakan,” tegas Jokowi, namun dengan tersenyum.
Kepala Negara menjelaskan, ada opsi-opsi yang nantinya akan diberikan kepada anak buahnya yang mau nyapres. Di antaranya memberikan cuti.
“Tetapi kalau kita lihat nanti mengganggu, ya akan dievaluasi. Apakah harus cuti panjang banget atau tidak,” sambungnya.
Senin (31/10) lalu, MK mengeluarkan putusan soal menteri cukup izin ke Presiden saat nyapres. Putusan ini dikeluarkan atas uji materiil Pasal 170 Ayat (1) UU Pemilu yang diajukan Partai Garuda.
Pasal tersebut berbunyi: “Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta Pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil walikota”. Dalam pasal tersebut, posisi menteri tidak termasuk yang dikecualikan.
Dalam putusannya, MK menambahkan frasa “menteri dan pejabat setingkat menteri” dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU Pemilu. Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, MK menilai warga negara yang mengemban jabatan tertentu, tetap melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih, sepanjang hak tersebut tidak dicabut oleh UU atau putusan pengadilan.
“Adanya perlakuan berbeda terhadap menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai pejabat negara yang diharuskan mengundurkan diri sebagaimana ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu, menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional,” kata Arief.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi setuju dengan putusan MK tersebut. Ia juga mendukung opsi cuti yang disampaikan Jokowi. Namun, Viva memberikan 3 catatan.
Pertama, menteri tersebut harus mengambil cuti dari jabatannya, dan tak menerima tanggungan. “Menteri cuti di luar tanggungan biaya oleh negara,” ujarnya, di Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin.
Kedua, menteri tersebut tak boleh menyalahgunakan kekuasaannya. Seperti tak boleh menggunakan fasilitas negara atau lembaga kementerian untuk meningkatkan elektabilitas pribadi atau partainya.
“Apabila ada abuse of power, maka harus ditindak, ada sanksi yang jelas. Kan di Undang-Undang Pemilu ada,” jelas Viva.
Ketiga, jika dalam perjalanannya menteri tersebut tak menunjukkan performa maksimal karena sibuk kampanye, Presiden dapat menggantinya. “Dalam rangka untuk meningkatkan kinerja pemerintah,” tegasnya.
Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, nasib menteri yang nyapres sepenuhnya ada di tangan Jokowi. Apakah diganti atau tetap dipertahankan.
“Semua balik lagi ke Presiden Jokowi. Kalau Presiden Jokowi tidak merasa terganggu, menteri-menterinya sekalian berkampanye ya, nggak ada yang bisa memaksa dia untuk melakukan reshuffle kan,” kata Hensat, tadi malam. [SAR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID