Kasus KDRT Meningkat Polda: Korban Jangan Takut Untuk Speak Up –
6 min readKepala Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya, Kompol Endang Sri Lestari menyebutkan, Undang-Undang (UU) KDRT sudah disahkan sejak 2004. Tapi banyak masyarakat belum mengetahuinya sehingga undang-undang tersebut masih perlu disosialisasikan.
“Mungkin baru ada yang mengenal KDRT itu harus kekerasan fisik, berantem, dan tendang-tendangan. Padahal KDRT itu ada 4 lingkup. Tidak sebatas kekerasan fisik saja. Tapi juga ada kekerasan seksual, psikis, dan ekonomi atau penelantaran, yang semuanya dapat dilaporkan ke polisi menjadi kasus hukum,” jelasnya.
Endang memaparkan, Polda Metro Jaya yang membawahi 13 Polres mencatat kasus KDRT meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2021 tercatat ada 859 kasus KDRT. Rinciannya, 743 kasus merupakan kekerasan fisik, 46 kasus penelantaran, 69 kekerasan seksual dan 1 kekerasan psikis.
Endang meyakini jumlah kasus KDRT lebih banyak karena banyak masyarakat masih enggan melaporkannya.
“Masyarakat sering menganggap KDRT adalah permasalahan tabu, yang ketika dilaporkan dianggap membuka aib. Padahal ketika tidak dilaporkan keadilan tidak akan didapat,” katanya.
Endang menekankan, pelaporan kasus KDRT adalah bagian dari pemenuhan hak korban. Selain kepolisian, ada banyak lembaga yang bisa membantu pemenuhan hak korban.
“Banyak orang ragu melaporkan KDRT karena takut disalahkan, takut diceraikan, hingga takut anaknya jadi telantar. Padahal dalam melaporkan KDRT tidak serta untuk pemidanaan pelaku, atau tidak harus memenjarakan suami,” terangnya.
Sebab, dalam UU KDRT sudah diatur mana delik aduan dan mana yang pidana murni. Untuk delik aduan harus dilaporkan korbannya sendiri yang meminta pelaku dituntut. Sedangkan dalam pidana murni, tidak ada pelaporan dari korban pun. Oang lain, pihak lain, petugas dan negara wajib untuk memproses hukum.
“Delik aduan bisa dicabut jika kedua pihak masih berkomitmen membina kembali keharmonisan rumah tangganya, maka harus didukung dan diberikan kesempatan,” imbuhnya.
Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mengimbau masyarakat cepat tanggap membantu para korban KDRT.
Kepala Dinas PPAPP DKI Jakarta, Tuty Kusumawati mengatakan, kekerasan dapat terjadi pada siapa dan di mana saja.
“Bahkan pelaku kekerasan sering kali justru orang yang sangat dikenal korban, baik itu orangtua, saudara, guru, teman maupun tetangga,” ujarnya dalam webinar bertema Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam Perspektif Hukum dan Psikologi di Jakarta, Senin (31/10).
Maka dari itu, Dinas PPAPP memberikan pemahaman soal KDRT kepada para Tim Penggerak PKK dan Dharma Wanita Persatuan se-DKI Jakarta, Badan Kerja Sama Organisasi Wanita (BKOW) DKI Jakarta, kader Dasawisma, pengelola RPTRA dan kader Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Tuty menerangkan, peristiwa kekerasan dapat terjadi di dalam rumah, sekolah, pesantren, tempat kerja, fasilitas umum maupun di tempat- tempat yang dianggap aman. Sementara pemenuhan ruang aman bagi perempuan dan anak, sejatinya bukan merupakan tanggung jawab negara saja, namun setiap orang.
“Hal ini dapat dimulai dari kesadaran masyarakat melalui edukasi-edukasi mengenai membangun ruang aman bagi semua orang. Khususnya bagi perempuan dan anak di lingkup keluarga, institusi pendidikan hingga masyarakat luas,” tuturnya.
Tuty mengingatkan, untuk mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka diperlukan upaya bersama dari semua stakeholder. Caranya dengan meningkatkan mekanisme perlindungan perempuan dan anak di tingkat akar rumput. Serta memperhatikan aspek pencegahan yang melibatkan seluruh warga.
“Kewajiban di dalam masyarakat untuk menghentikan tindakan KDRT dengan cara mencegah dan membantu korban KDRT,” ucap Tuty.
Tingginya perhatian sesama warga, menurutnya, akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan penyintas atau orang-orang yang rentan menerima kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk melapor.
Dia menambahkan, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan suatu terobosan hukum yang sangat penting untuk mengupayakan keadilan bagi korban sekaligus melakukan pencegahan KDRT.
“Meski demikian, masih ada hambatan dalam pelaksanaannya dalam banyak hal, baik itu terkait dengan aspek hukum penanganannya maupun dinamika psikologis dari Korban KDRT serta pemahaman masyarakat masih beragam,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengimbau, kepada seluruh korban KDRT untuk berani bersuara. Selain itu, lanjut dia, para pelaku KDRT harus ditindak agar para korban mendapatkan keadilan.
“Sekarang kami imbau seluruh lapisan masyarakat, siapa pun yang jadi korban (KDRT) harus berani speak up, memberikan keadilan kepada korban dan efek jera kepada pelaku sehingga tidak terjadi kasus berulang,” beber Bintang di kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa (11/10).
Selain itu, Kementerian PPA mempunyai layanan aduan bagi para korban yang hendak melapor. Tidak hanya para korban, pihak-pihak yang mengetahui, melihat, dan mendengar adanya kasus KDRT juga bisa melapor.
“Kami sudah punya call center dengan SAPA 129 demikian juga dengan whatsApp 0811111129129 itu. Kami dorong untuk itu, dan tidak hanya korban yang melihat, yang mendengar itu juga harus ikut peduli melaporkan terjadinya kekerasan,” jelas Bintang. ■
]]> , Kepala Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya, Kompol Endang Sri Lestari menyebutkan, Undang-Undang (UU) KDRT sudah disahkan sejak 2004. Tapi banyak masyarakat belum mengetahuinya sehingga undang-undang tersebut masih perlu disosialisasikan.
“Mungkin baru ada yang mengenal KDRT itu harus kekerasan fisik, berantem, dan tendang-tendangan. Padahal KDRT itu ada 4 lingkup. Tidak sebatas kekerasan fisik saja. Tapi juga ada kekerasan seksual, psikis, dan ekonomi atau penelantaran, yang semuanya dapat dilaporkan ke polisi menjadi kasus hukum,” jelasnya.
Endang memaparkan, Polda Metro Jaya yang membawahi 13 Polres mencatat kasus KDRT meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2021 tercatat ada 859 kasus KDRT. Rinciannya, 743 kasus merupakan kekerasan fisik, 46 kasus penelantaran, 69 kekerasan seksual dan 1 kekerasan psikis.
Endang meyakini jumlah kasus KDRT lebih banyak karena banyak masyarakat masih enggan melaporkannya.
“Masyarakat sering menganggap KDRT adalah permasalahan tabu, yang ketika dilaporkan dianggap membuka aib. Padahal ketika tidak dilaporkan keadilan tidak akan didapat,” katanya.
Endang menekankan, pelaporan kasus KDRT adalah bagian dari pemenuhan hak korban. Selain kepolisian, ada banyak lembaga yang bisa membantu pemenuhan hak korban.
“Banyak orang ragu melaporkan KDRT karena takut disalahkan, takut diceraikan, hingga takut anaknya jadi telantar. Padahal dalam melaporkan KDRT tidak serta untuk pemidanaan pelaku, atau tidak harus memenjarakan suami,” terangnya.
Sebab, dalam UU KDRT sudah diatur mana delik aduan dan mana yang pidana murni. Untuk delik aduan harus dilaporkan korbannya sendiri yang meminta pelaku dituntut. Sedangkan dalam pidana murni, tidak ada pelaporan dari korban pun. Oang lain, pihak lain, petugas dan negara wajib untuk memproses hukum.
“Delik aduan bisa dicabut jika kedua pihak masih berkomitmen membina kembali keharmonisan rumah tangganya, maka harus didukung dan diberikan kesempatan,” imbuhnya.
Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mengimbau masyarakat cepat tanggap membantu para korban KDRT.
Kepala Dinas PPAPP DKI Jakarta, Tuty Kusumawati mengatakan, kekerasan dapat terjadi pada siapa dan di mana saja.
“Bahkan pelaku kekerasan sering kali justru orang yang sangat dikenal korban, baik itu orangtua, saudara, guru, teman maupun tetangga,” ujarnya dalam webinar bertema Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam Perspektif Hukum dan Psikologi di Jakarta, Senin (31/10).
Maka dari itu, Dinas PPAPP memberikan pemahaman soal KDRT kepada para Tim Penggerak PKK dan Dharma Wanita Persatuan se-DKI Jakarta, Badan Kerja Sama Organisasi Wanita (BKOW) DKI Jakarta, kader Dasawisma, pengelola RPTRA dan kader Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Tuty menerangkan, peristiwa kekerasan dapat terjadi di dalam rumah, sekolah, pesantren, tempat kerja, fasilitas umum maupun di tempat- tempat yang dianggap aman. Sementara pemenuhan ruang aman bagi perempuan dan anak, sejatinya bukan merupakan tanggung jawab negara saja, namun setiap orang.
“Hal ini dapat dimulai dari kesadaran masyarakat melalui edukasi-edukasi mengenai membangun ruang aman bagi semua orang. Khususnya bagi perempuan dan anak di lingkup keluarga, institusi pendidikan hingga masyarakat luas,” tuturnya.
Tuty mengingatkan, untuk mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka diperlukan upaya bersama dari semua stakeholder. Caranya dengan meningkatkan mekanisme perlindungan perempuan dan anak di tingkat akar rumput. Serta memperhatikan aspek pencegahan yang melibatkan seluruh warga.
“Kewajiban di dalam masyarakat untuk menghentikan tindakan KDRT dengan cara mencegah dan membantu korban KDRT,” ucap Tuty.
Tingginya perhatian sesama warga, menurutnya, akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan penyintas atau orang-orang yang rentan menerima kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk melapor.
Dia menambahkan, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan suatu terobosan hukum yang sangat penting untuk mengupayakan keadilan bagi korban sekaligus melakukan pencegahan KDRT.
“Meski demikian, masih ada hambatan dalam pelaksanaannya dalam banyak hal, baik itu terkait dengan aspek hukum penanganannya maupun dinamika psikologis dari Korban KDRT serta pemahaman masyarakat masih beragam,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengimbau, kepada seluruh korban KDRT untuk berani bersuara. Selain itu, lanjut dia, para pelaku KDRT harus ditindak agar para korban mendapatkan keadilan.
“Sekarang kami imbau seluruh lapisan masyarakat, siapa pun yang jadi korban (KDRT) harus berani speak up, memberikan keadilan kepada korban dan efek jera kepada pelaku sehingga tidak terjadi kasus berulang,” beber Bintang di kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa (11/10).
Selain itu, Kementerian PPA mempunyai layanan aduan bagi para korban yang hendak melapor. Tidak hanya para korban, pihak-pihak yang mengetahui, melihat, dan mendengar adanya kasus KDRT juga bisa melapor.
“Kami sudah punya call center dengan SAPA 129 demikian juga dengan whatsApp 0811111129129 itu. Kami dorong untuk itu, dan tidak hanya korban yang melihat, yang mendengar itu juga harus ikut peduli melaporkan terjadinya kekerasan,” jelas Bintang. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID