DigiBerita.com | Bahasa Indonesia
22 January 2025

Digiberita.com

Berita Startup dan Ekonomi Digital

Bahayakan Warga, Harus Segera Dibenahi Jaringan Utilitas Semrawut Rusak Keindahan Kota Saja –

7 min read

Kabel udara semrawut di Jakarta merusak estetika kota dan mengganggu warga. Kondisinya, seperti benang kusut. Terus beranak pinak. Kabel-kabel tersebut juga rawan menimbulkan kecelakaan atau musibah.

Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, jaringan utilitas di Jakarta belum tertata baik.

“Jaringan utilitas kita memang semrawut. Merusak keindahan kota,” kata Hari Nugroho di Jakarta, Kamis (27/10).

Untuk membenahi persoalan tersebut, lanjut Hari, revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas perlu dilanjutkan.

“Para operator sudah lama keenakan. Kondisi ini yang menjadi sebab utama lamanya revisi Perda Utilitas,” terangnya.

Bahkan, para operator melapor ke Ombudsman karena Bina Marga melakukan pemotongan kabel-kabel. Padahal, pemotongan kabel bukan tanpa pemberitahuan. Semua diberitahukan saat pelaksanaan program revitalisasi trotoar.

Hari mengungkapkan, hingga kini pihaknya telah membangun jaringan utilitas sepanjang 25 kilometer di wilayah Jakarta Selatan.

Dinas Bina Marga, kata Hari, merencanakan penataan utilitas di 26 ruas jalan dengan panjang 200 kilometer.

“Hukumnya wajib setelah utilitas rampung dibangun, penyedia jaringan memindahkan kabel jaringan dari atas ke bawah jaringan yang dibangun oleh Pemprov DKI,” kata Hari, yang menyebut aturan tersebut dalam rangka menuju Jakarta menjadi kota global, kota maju dan smart.

Untuk diketahui, saat ini satu tiang disewakan untuk 40 operator. Sementara izin hanya sekali. Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hilang.

“Ke depan harus diatur. Tiang-tiang PLN, telekomunikasi, tiang operator jaringan internet harus segera diturunkan. Nanti hanya satu tiang, milik Pemerintah,” tegas Hari.

Dijelaskan Hari, penataan jaringan utilitas Jakarta dikerjakan dua pihak. Untuk area Jakarta Barat dan Jakarta Pusat dikerjakan Perumda Sarana Jaya. Untuk area Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara dikelola Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP).

 

Pakar tata kota, Nirwono Joga, juga mendorong agar revisi Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta tentang Jaringan Utilitas segera disahkan. Mengingat, kabel utilitas di beberapa sudut Jakarta sudah menjuntai dan berpotensi membahayakan warga.

Menurutnya, revisi atau pembuatan Perda baru tentang Saluran Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) yang tengah dibahas di DPRD, diharapkan dapat segera disahkan.

“Ini sebagai payung hukum penataan jaringan utilitas yang akan memindahkan seluruhnya ke bawah tanah secara bertahap,” kata Nirwono.

Jika Perda tentang jaringan utilitas disahkan dan seluruh kabel berada di bawah tanah, Nirwono mengusulkan agar sisi kiri merupakan kabel untuk listrik/ PLN, telepon, serat optik atau provider. Sementara sisi kanan, untuk jaringan perpipaan air bersih, air limbah dan gas.

“Kelak, semua jaringan utilitas tidak ada lagi yang menggantung,” tandasnya.

Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi DKI Jakarta menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas.

Ketua Bapemperda DPRD DKI Pantas Nainggolan mengatakan, masukan dari Pemerintah Pusat diperlukan untuk memperkaya kajian seputar pengelolaan Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT), sesuai konsideran dengan aturan perundang-undangan di atasnya.

“Masukan-masukan ini berharga bagi kami. Ini benar-benar terasa implikasinya dengan pusat. Khususnya Kominfo dengan PUPR,” kata Pantas.

Jadi Prioritas

Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra Syarif menyebut, jaringan utilitas masuk dalam 71 usulan Raperda yang ditampung Bapemperda DPRD DKI Jakarta.

Raperda Jaringan Utilitas ini bahkan menjadi prioritas untuk dipastikan masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) tahun 2023.

 

“Perda Jaringan Utilitas ini sudah mendesak. Harus disegerakan. Kalau tidak, kota semakin semrawut. Apalagi perkembangan kota kita ini kan sangat pesat,” kata Syarif kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerindra DKI Jakarta ini bilang, pembahasan Raperda Jaringan Utilitas ini selalu tertunda. Sehingga penataan kabel di Jakarta tertinggal jauh dengan kota-kota besar di dunia. Dia pun optimis 2023, Perda Jaringan Utilitas sudah selesai dan bisa diterapkan.

Menurut Syarif, penataan jaringan utilitas harus diintegrasikan dengan berbagai pihak. Seperti PAM Jaya, Perusahaan Gas Negara (PGN), PLN, dan operator optik. Sehingga ke depan, tidak terjadi proyek galian yang terus berulang.

Anggaran pembangunan jaringan utilitas, lanjut Sekretaris Komisi D ini, juga bisa memanfaatkan dari denda Koefisien Lantai Bangunan (KLB). “Seperti di Kota Tua, itu dananya dari KLB,” ujarnya.

Tapi, kata dia, itu tidak mutlak, bisa pakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebab, tidak semua wilayah di Jakarta ada gedung. Terutama di permukiman penduduk.

Sebelumnya, anggota Ombudsman Hery Susanto mewanti-wanti agar program SJUT tidak dijadikan cuan atau sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Program ini, seharusnya bertujuan untuk menata keindahan kota.

Menurutnya, jika bertujuan mengejar profit dengan pengenaan biaya sewa yang tinggi kepada penyelenggara layanan utilitas, justru akan merugikan warga. Pelaku usaha akan menaikkan tarif layanan. Sehingga bertentangan dengan asas-asas pelayanan publik.

Diungkap Hery, Perda DKI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas ditolak operator karena biayanya dinilai terlalu tinggi. Selama ini dalam menggelar jaringan, operator telekomunikasi hanya perlu membayar retribusi sekali atau one time charge sebesar Rp 10.000 per meter untuk subduc 40 mili meter.

Plus biaya vendor dan lainnya, sehingga biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 16.500 untuk pemakaian kabel selama 10 tahun.

Namun PT Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP) mengenakan tarif untuk SJUT adalah biaya sewa setahun.

“Jika menggunakan pola tarif sewa, harus ada batas atas tarif sewa dan mengedepankan asas musyawarah. Sehingga pihak operator tidak terbebani. Akhirnya, masyarakat juga tidak terbebani,” katanya.

Ditekankan Hery, perlu adanya koordinasi yang detail antara Pemerintah Daerah dan penyelenggara jaringan terhadap ketentuan teknis.

Dikhawatirkan, Pemerintah Daerah cenderung membuat infrastruktur pasif yang tidak sesuai dengan kebutuhan penyelenggara telekomunikasi.

Hery berharap, SJUT terselenggara dengan tepat, partisipatif dan kolaboratif. Sehingga diterima oleh semua pihak pelaku usaha dan masyarakat.

“Sebagai fokus pelayanan publik, SJUT harus berorientasi kepada kepentingan publik dan mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat,” tandasnya. ■
]]> , Kabel udara semrawut di Jakarta merusak estetika kota dan mengganggu warga. Kondisinya, seperti benang kusut. Terus beranak pinak. Kabel-kabel tersebut juga rawan menimbulkan kecelakaan atau musibah.

Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, jaringan utilitas di Jakarta belum tertata baik.

“Jaringan utilitas kita memang semrawut. Merusak keindahan kota,” kata Hari Nugroho di Jakarta, Kamis (27/10).

Untuk membenahi persoalan tersebut, lanjut Hari, revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas perlu dilanjutkan.

“Para operator sudah lama keenakan. Kondisi ini yang menjadi sebab utama lamanya revisi Perda Utilitas,” terangnya.

Bahkan, para operator melapor ke Ombudsman karena Bina Marga melakukan pemotongan kabel-kabel. Padahal, pemotongan kabel bukan tanpa pemberitahuan. Semua diberitahukan saat pelaksanaan program revitalisasi trotoar.

Hari mengungkapkan, hingga kini pihaknya telah membangun jaringan utilitas sepanjang 25 kilometer di wilayah Jakarta Selatan.

Dinas Bina Marga, kata Hari, merencanakan penataan utilitas di 26 ruas jalan dengan panjang 200 kilometer.

“Hukumnya wajib setelah utilitas rampung dibangun, penyedia jaringan memindahkan kabel jaringan dari atas ke bawah jaringan yang dibangun oleh Pemprov DKI,” kata Hari, yang menyebut aturan tersebut dalam rangka menuju Jakarta menjadi kota global, kota maju dan smart.

Untuk diketahui, saat ini satu tiang disewakan untuk 40 operator. Sementara izin hanya sekali. Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hilang.

“Ke depan harus diatur. Tiang-tiang PLN, telekomunikasi, tiang operator jaringan internet harus segera diturunkan. Nanti hanya satu tiang, milik Pemerintah,” tegas Hari.

Dijelaskan Hari, penataan jaringan utilitas Jakarta dikerjakan dua pihak. Untuk area Jakarta Barat dan Jakarta Pusat dikerjakan Perumda Sarana Jaya. Untuk area Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara dikelola Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP).

 

Pakar tata kota, Nirwono Joga, juga mendorong agar revisi Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta tentang Jaringan Utilitas segera disahkan. Mengingat, kabel utilitas di beberapa sudut Jakarta sudah menjuntai dan berpotensi membahayakan warga.

Menurutnya, revisi atau pembuatan Perda baru tentang Saluran Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) yang tengah dibahas di DPRD, diharapkan dapat segera disahkan.

“Ini sebagai payung hukum penataan jaringan utilitas yang akan memindahkan seluruhnya ke bawah tanah secara bertahap,” kata Nirwono.

Jika Perda tentang jaringan utilitas disahkan dan seluruh kabel berada di bawah tanah, Nirwono mengusulkan agar sisi kiri merupakan kabel untuk listrik/ PLN, telepon, serat optik atau provider. Sementara sisi kanan, untuk jaringan perpipaan air bersih, air limbah dan gas.

“Kelak, semua jaringan utilitas tidak ada lagi yang menggantung,” tandasnya.

Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi DKI Jakarta menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas.

Ketua Bapemperda DPRD DKI Pantas Nainggolan mengatakan, masukan dari Pemerintah Pusat diperlukan untuk memperkaya kajian seputar pengelolaan Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT), sesuai konsideran dengan aturan perundang-undangan di atasnya.

“Masukan-masukan ini berharga bagi kami. Ini benar-benar terasa implikasinya dengan pusat. Khususnya Kominfo dengan PUPR,” kata Pantas.

Jadi Prioritas

Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra Syarif menyebut, jaringan utilitas masuk dalam 71 usulan Raperda yang ditampung Bapemperda DPRD DKI Jakarta.

Raperda Jaringan Utilitas ini bahkan menjadi prioritas untuk dipastikan masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) tahun 2023.

 

“Perda Jaringan Utilitas ini sudah mendesak. Harus disegerakan. Kalau tidak, kota semakin semrawut. Apalagi perkembangan kota kita ini kan sangat pesat,” kata Syarif kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerindra DKI Jakarta ini bilang, pembahasan Raperda Jaringan Utilitas ini selalu tertunda. Sehingga penataan kabel di Jakarta tertinggal jauh dengan kota-kota besar di dunia. Dia pun optimis 2023, Perda Jaringan Utilitas sudah selesai dan bisa diterapkan.

Menurut Syarif, penataan jaringan utilitas harus diintegrasikan dengan berbagai pihak. Seperti PAM Jaya, Perusahaan Gas Negara (PGN), PLN, dan operator optik. Sehingga ke depan, tidak terjadi proyek galian yang terus berulang.

Anggaran pembangunan jaringan utilitas, lanjut Sekretaris Komisi D ini, juga bisa memanfaatkan dari denda Koefisien Lantai Bangunan (KLB). “Seperti di Kota Tua, itu dananya dari KLB,” ujarnya.

Tapi, kata dia, itu tidak mutlak, bisa pakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebab, tidak semua wilayah di Jakarta ada gedung. Terutama di permukiman penduduk.

Sebelumnya, anggota Ombudsman Hery Susanto mewanti-wanti agar program SJUT tidak dijadikan cuan atau sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Program ini, seharusnya bertujuan untuk menata keindahan kota.

Menurutnya, jika bertujuan mengejar profit dengan pengenaan biaya sewa yang tinggi kepada penyelenggara layanan utilitas, justru akan merugikan warga. Pelaku usaha akan menaikkan tarif layanan. Sehingga bertentangan dengan asas-asas pelayanan publik.

Diungkap Hery, Perda DKI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas ditolak operator karena biayanya dinilai terlalu tinggi. Selama ini dalam menggelar jaringan, operator telekomunikasi hanya perlu membayar retribusi sekali atau one time charge sebesar Rp 10.000 per meter untuk subduc 40 mili meter.

Plus biaya vendor dan lainnya, sehingga biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 16.500 untuk pemakaian kabel selama 10 tahun.

Namun PT Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP) mengenakan tarif untuk SJUT adalah biaya sewa setahun.

“Jika menggunakan pola tarif sewa, harus ada batas atas tarif sewa dan mengedepankan asas musyawarah. Sehingga pihak operator tidak terbebani. Akhirnya, masyarakat juga tidak terbebani,” katanya.

Ditekankan Hery, perlu adanya koordinasi yang detail antara Pemerintah Daerah dan penyelenggara jaringan terhadap ketentuan teknis.

Dikhawatirkan, Pemerintah Daerah cenderung membuat infrastruktur pasif yang tidak sesuai dengan kebutuhan penyelenggara telekomunikasi.

Hery berharap, SJUT terselenggara dengan tepat, partisipatif dan kolaboratif. Sehingga diterima oleh semua pihak pelaku usaha dan masyarakat.

“Sebagai fokus pelayanan publik, SJUT harus berorientasi kepada kepentingan publik dan mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat,” tandasnya. ■

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2020 - 2025. DigiBerita.com. All rights reserved |