Evaluasi Total dan “Keledai” –
5 min readIni kalimat sakti: investigasi dan evaluasi menyeluruh. Ada juga yang menyingkatnya menjadi “evaluasi total!”. Ini terkait tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang yang menelan 125 orang korban jiwa.
Permintaan ini jangan dianggap main-main. Perlu disikapi serius. Segera. Tuntas. Menyeluruh. Jangan hanya direaksi secara parsial, sesaat, lalu hilang entah kemana. Butuh konsistensi dan ketegasan.
Apalagi kasusnya sudah berulang. Sudah sering. Hampir setiap musim kompetisi selalu menelan korban. Sepanjang itu pula, seruan evaluasi total digaungkan.
Tapi apa hasilnya? Sabtu, 1 Oktober 2022, di Stadion Kanjuruhan, Malang, menjadi puncak tragedi. Korbannya, anak-anak, remaja sampai orang dewasa.
Yang berduka bukan hanya Indonesia, tapi dunia. Hampir semua media di dunia memberitakan kejadian horor ini. Tokoh-tokoh penting sepakbola dunia, juga bersuara.
Banyak liga sepakbola di dunia mengheningkan cipta. Ada yang memasang pita hitam di lengan kiri. Ada stasiun TV, seperti TV Spanyol, yang memasang bendera Merah Putih disertai pita hitam. Semua mengungkap kedukaan atas kejadian memilukan ini.
Kita mestinya malu. Introspeksi. Investigasi dan evaluasi menyeluruh atau evaluasi total, menjadi kewajiban.
Misalnya, evaluasi terhadap para suporter. Harus ditumbuhkan sikap “siap menang siap kalah”. Jangan maunya menang terus. Ini permainan. Bahkan, beberapa bulan lalu, nobar pertandingan Manchester United vs Liverpol saja bisa ricuh dan merusak fasilitas umum. Ini pertandingan jauh di Inggris sana, kenapa ricuhnya di Indonesia.
Tidak siap kalah juga ditunjukkan para pemain di lapangan. Akibatnya apa? Pertandingan bola berubah menjadi laga kungfu dan karate.
Wasit juga bisa memperkeruh suasana. Keputusan wasit sangat mempengaruhi emosi penonton dan pemain. Kualitas wasit Indonesia masih jauh dari harapan.
Di luar lapangan, sepakbola seringkali menjadi alat politik. Untuk Pilkada atau kontestasi politik lainnya. Untuk menarik massa pemilih.
Ada juga pengurus PSSI yang merangkap sebagai pengurus dan “pembina” klub. Akibatnya, terjadi konflik kepentingan. Segala cara dilakukan untuk membantu klub yang dibinanya.
Panitia pelaksana pertandingan, juga seringkali tidak profesional. Misalnya, tiket dicetak melebihi kapasitas. Benda-benda yang tidak diizinkan masuk stadion, lolos. Bisa masuk.
Di sinilah dibutuhkan ketegasan dan konsistensi. Pertanyaan lainnya: apakah stadion-stadion sudah memenuhi standar FIFA atau PSSI? Jangan sampai kondisi ini menjadi “bom waktu”.
Pertandingan yang dimulai pukul 20.00 WIB atau 21.00 di wilayah tengah dan 22.00 WIT, juga dipertanyakan. Terlalu malam bagi pemain dan penonton.
Aparat yang berjaga juga perlu mendapat pemahaman menyeluruh mengenai prosedur penanganan. Terutama menangani massa. Juga perlu bekal peraturan PSSI atau FIFA. Misalnya soal gas air mata.
Banyak sekali komorbid dalam sepakbola Indonesia. Di sinilah pentingnya implementasi, konsistensi, ketegasan serta kesaktian kalimat “evaluasi total” tersebut.
Pengurus PSSI atau PT LIB sebagai penyelenggara, serta seluruh stakeholder sepakbola tentu sudah tahu, evaluasi total seperti apa yang dilakukan FA, PSSI-nya Inggris setelah tragedi Hillsborough, Inggris pada 15 April 1989.
Setelah tragedi yang menelan korban jiwa 96 orang serta 766 luka-luka itu, sepakbola Inggris berubah total. Saat ini, liga Inggris menjadi liga paling menarik dan atraktif di seluruh dunia.
Tapi seringkali, di sinilah perbedaaannya: Bangsa ini suka menganggap enteng. Terlalu mudah menjadikan faktor penting menjadi tidak penting. Mudah bertoleransi untuk hal-hal yang terlihat kecil tapi justru penting. Tidak tegas, tidak konsisten. Panas-panas tai ayam. Sering bersikap “bergelap-gelap dalam terang”.
Kita lihat setelah tragedi horor di Kanjuruhan ini, apa dan bagaimana hasilnya? Apakah evaluasi ini akan berbuah perubahan, bahkan perubahan total, atau justru menjadi lebih dari “keledai”. Karena, keledai saja, yang dikenal sebagai hewan keras kepala dan kurang pintar “tak akan jatuh di lubang yang sama sampai dua kali”.
Kita tunggu saja.(*)
]]> , Ini kalimat sakti: investigasi dan evaluasi menyeluruh. Ada juga yang menyingkatnya menjadi “evaluasi total!”. Ini terkait tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang yang menelan 125 orang korban jiwa.
Permintaan ini jangan dianggap main-main. Perlu disikapi serius. Segera. Tuntas. Menyeluruh. Jangan hanya direaksi secara parsial, sesaat, lalu hilang entah kemana. Butuh konsistensi dan ketegasan.
Apalagi kasusnya sudah berulang. Sudah sering. Hampir setiap musim kompetisi selalu menelan korban. Sepanjang itu pula, seruan evaluasi total digaungkan.
Tapi apa hasilnya? Sabtu, 1 Oktober 2022, di Stadion Kanjuruhan, Malang, menjadi puncak tragedi. Korbannya, anak-anak, remaja sampai orang dewasa.
Yang berduka bukan hanya Indonesia, tapi dunia. Hampir semua media di dunia memberitakan kejadian horor ini. Tokoh-tokoh penting sepakbola dunia, juga bersuara.
Banyak liga sepakbola di dunia mengheningkan cipta. Ada yang memasang pita hitam di lengan kiri. Ada stasiun TV, seperti TV Spanyol, yang memasang bendera Merah Putih disertai pita hitam. Semua mengungkap kedukaan atas kejadian memilukan ini.
Kita mestinya malu. Introspeksi. Investigasi dan evaluasi menyeluruh atau evaluasi total, menjadi kewajiban.
Misalnya, evaluasi terhadap para suporter. Harus ditumbuhkan sikap “siap menang siap kalah”. Jangan maunya menang terus. Ini permainan. Bahkan, beberapa bulan lalu, nobar pertandingan Manchester United vs Liverpol saja bisa ricuh dan merusak fasilitas umum. Ini pertandingan jauh di Inggris sana, kenapa ricuhnya di Indonesia.
Tidak siap kalah juga ditunjukkan para pemain di lapangan. Akibatnya apa? Pertandingan bola berubah menjadi laga kungfu dan karate.
Wasit juga bisa memperkeruh suasana. Keputusan wasit sangat mempengaruhi emosi penonton dan pemain. Kualitas wasit Indonesia masih jauh dari harapan.
Di luar lapangan, sepakbola seringkali menjadi alat politik. Untuk Pilkada atau kontestasi politik lainnya. Untuk menarik massa pemilih.
Ada juga pengurus PSSI yang merangkap sebagai pengurus dan “pembina” klub. Akibatnya, terjadi konflik kepentingan. Segala cara dilakukan untuk membantu klub yang dibinanya.
Panitia pelaksana pertandingan, juga seringkali tidak profesional. Misalnya, tiket dicetak melebihi kapasitas. Benda-benda yang tidak diizinkan masuk stadion, lolos. Bisa masuk.
Di sinilah dibutuhkan ketegasan dan konsistensi. Pertanyaan lainnya: apakah stadion-stadion sudah memenuhi standar FIFA atau PSSI? Jangan sampai kondisi ini menjadi “bom waktu”.
Pertandingan yang dimulai pukul 20.00 WIB atau 21.00 di wilayah tengah dan 22.00 WIT, juga dipertanyakan. Terlalu malam bagi pemain dan penonton.
Aparat yang berjaga juga perlu mendapat pemahaman menyeluruh mengenai prosedur penanganan. Terutama menangani massa. Juga perlu bekal peraturan PSSI atau FIFA. Misalnya soal gas air mata.
Banyak sekali komorbid dalam sepakbola Indonesia. Di sinilah pentingnya implementasi, konsistensi, ketegasan serta kesaktian kalimat “evaluasi total” tersebut.
Pengurus PSSI atau PT LIB sebagai penyelenggara, serta seluruh stakeholder sepakbola tentu sudah tahu, evaluasi total seperti apa yang dilakukan FA, PSSI-nya Inggris setelah tragedi Hillsborough, Inggris pada 15 April 1989.
Setelah tragedi yang menelan korban jiwa 96 orang serta 766 luka-luka itu, sepakbola Inggris berubah total. Saat ini, liga Inggris menjadi liga paling menarik dan atraktif di seluruh dunia.
Tapi seringkali, di sinilah perbedaaannya: Bangsa ini suka menganggap enteng. Terlalu mudah menjadikan faktor penting menjadi tidak penting. Mudah bertoleransi untuk hal-hal yang terlihat kecil tapi justru penting. Tidak tegas, tidak konsisten. Panas-panas tai ayam. Sering bersikap “bergelap-gelap dalam terang”.
Kita lihat setelah tragedi horor di Kanjuruhan ini, apa dan bagaimana hasilnya? Apakah evaluasi ini akan berbuah perubahan, bahkan perubahan total, atau justru menjadi lebih dari “keledai”. Karena, keledai saja, yang dikenal sebagai hewan keras kepala dan kurang pintar “tak akan jatuh di lubang yang sama sampai dua kali”.
Kita tunggu saja.(*)
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID