Romo Benny Raih Doktor Bidang Komunikasi, Bamsoet Beri Pujian –
3 min readStaf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Benny Susetyo berhasil meraih gelar doktor bidang ilmu komunikasi dengan yudisium ‘sangat memuaskan’, dari Universitas Sahid, Jakarta, Rabu (24/8). Ketua MPR Bambang Soesatyo yang hadir dalam sidang promosi doktor Romo Benny Susetyo, memberikan pujian.
Sidang terbuka promosi doktor Romo Benny tersebut dihadiri juga Anggota Wantimpres Irjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Stafsus Presiden Bidang Kebudayaan Sukardi Rinakit, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia ke-13 Andrinof Chaniago, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi, serta pakar komunikasi politik Effendi Ghazali.
Mengangkat judul penelitian “Konstelasi Kekuasaan di Balik Komunikasi Presidensial dalam Isu Intoleransi (Analisis Wacana Kritis Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Kasus Meliana Tahun 2016)”, Romo Benny menangkap bahwa Presiden Jokowi menggunakan strategi politic of exception untuk mengangkat masalah Meliana di Tanjungbalai pada 2016 pada kondisi yang disebut sebagai state of emergency (keadaan darurat).
Bamsoet, sapaan akrab Bambang, menjelaskan, melalui penelitian disertasinya, Romo Benny juga mengungkapkan bahwa dalam kasus Meliana, terjadi pertarungan wacana dan juga ideologi yang memperhadapkan isu toleransi dan keberagaman di satu sisi. Berlawanan dengan dominasi mayoritas yang mendesak wacana penegakan hukum terhadap orang atau kelompok yang dianggap ‘menista’ simbol-simbol yang disakralkan.
“Dalam penelitiannya, Romo Benny menyimpulkan bahwa dalam melakukan komunikasi politik menghadapi kasus Meliana yang dituduh menistakan Islam karena mengeluhkan volume suara azan yang dianggapnya terlalu keras, Presiden Joko Widodo selalu berusaha merangkul berbagai kelompok yang saling bertentangan,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menekankan, melalui disertasi Romo Benny, dapat dilihat bahwa penggunaan politik identitas dalam konteks apa pun, tidak akan membawa manfaat yang besar bagi bangsa. Justru sebaliknya, malah akan mendatangkan perpecahan.
“Besarnya jumlah suku dan agama, menjadi kekuatan sekaligus titik rentan bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sangat penting bagi setiap orang untuk mengedepankan sikap tenggang rasa dan saling menghargai satu sama lain. Jika pun terjadi kesalahpahaman, tidak selamanya harus diselesaikan melalui jalur hukum yang kadang kala justru malah melahirkan masalah baru. Namun ada kalanya setiap permasalahan bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan mengedepankan musyawarah dan saling pengertian,” pungkas Bamsoet.■
]]> , Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Benny Susetyo berhasil meraih gelar doktor bidang ilmu komunikasi dengan yudisium ‘sangat memuaskan’, dari Universitas Sahid, Jakarta, Rabu (24/8). Ketua MPR Bambang Soesatyo yang hadir dalam sidang promosi doktor Romo Benny Susetyo, memberikan pujian.
Sidang terbuka promosi doktor Romo Benny tersebut dihadiri juga Anggota Wantimpres Irjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Stafsus Presiden Bidang Kebudayaan Sukardi Rinakit, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia ke-13 Andrinof Chaniago, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi, serta pakar komunikasi politik Effendi Ghazali.
Mengangkat judul penelitian “Konstelasi Kekuasaan di Balik Komunikasi Presidensial dalam Isu Intoleransi (Analisis Wacana Kritis Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Kasus Meliana Tahun 2016)”, Romo Benny menangkap bahwa Presiden Jokowi menggunakan strategi politic of exception untuk mengangkat masalah Meliana di Tanjungbalai pada 2016 pada kondisi yang disebut sebagai state of emergency (keadaan darurat).
Bamsoet, sapaan akrab Bambang, menjelaskan, melalui penelitian disertasinya, Romo Benny juga mengungkapkan bahwa dalam kasus Meliana, terjadi pertarungan wacana dan juga ideologi yang memperhadapkan isu toleransi dan keberagaman di satu sisi. Berlawanan dengan dominasi mayoritas yang mendesak wacana penegakan hukum terhadap orang atau kelompok yang dianggap ‘menista’ simbol-simbol yang disakralkan.
“Dalam penelitiannya, Romo Benny menyimpulkan bahwa dalam melakukan komunikasi politik menghadapi kasus Meliana yang dituduh menistakan Islam karena mengeluhkan volume suara azan yang dianggapnya terlalu keras, Presiden Joko Widodo selalu berusaha merangkul berbagai kelompok yang saling bertentangan,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menekankan, melalui disertasi Romo Benny, dapat dilihat bahwa penggunaan politik identitas dalam konteks apa pun, tidak akan membawa manfaat yang besar bagi bangsa. Justru sebaliknya, malah akan mendatangkan perpecahan.
“Besarnya jumlah suku dan agama, menjadi kekuatan sekaligus titik rentan bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sangat penting bagi setiap orang untuk mengedepankan sikap tenggang rasa dan saling menghargai satu sama lain. Jika pun terjadi kesalahpahaman, tidak selamanya harus diselesaikan melalui jalur hukum yang kadang kala justru malah melahirkan masalah baru. Namun ada kalanya setiap permasalahan bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan mengedepankan musyawarah dan saling pengertian,” pungkas Bamsoet.■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID