Di Tengah Isu Krisis Pangan Stok Jagung Dan Beras Aman, Tak Jamin Rakyat Mampu Beli –
7 min readIsu kriris pangan global memunculkan kekhawatiran banyak negara. Namun kondisi itu diharapkan tidak membuat panik masyarakat Indonesia. Stok jagung dan beras di Tanah Air diklaim masih aman untuk beberapa waktu ke depan. Namun kondisi itu tidak menjamin seluruh masyarakat bisa membeli.
Ketua Umum Dewan Pakar DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Agus Pakpahan menyampaikan pandangannya terkait ketahanan pangan dari beragam sudut pandang.
Pertama adalah dimensi sumber daya yang memperlihatkan kapasitas atau luas lahan dan penerapan teknologi serta kapasitas kebijakan. Sehingga konteks ketahanan pangan di Indonesia diukur dari sumber daya yang diterjemahkan ke dalam kapasitas produksi. Ini untuk memenuhi kebutuhan aktual, buat memenuhi kalau ada resiko.
“Dan juga harus memenuhi kalau misal terjadi ketidakpastian. Seperti pandemi, perang Ukraina, tsunami atau macam bencana lainnya,” ujar Agus dalam diskusi bertema Tantangan Ketahanan Pangan Hadapi Krisis Global yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) dikutip Sabtu (20/8).
Kedua adalah dimensi jangka pendek. Dimensi ini, kata Agus, untuk mengukur bahan kebutuhan pokok lainnya secara menyeluruh. “Artinya, kalau kita lihat pada komoditas tertentu mungkin kita merasa tahan, tapi kalau totalitas belum tentu juga,” bebernya.
Sementara dimensi ketiga, tambah Agus, adalah dimensi entitlement. Dimensi ini untuk mengukur bahwa keberlimpahan stok bukanlah jaminan masyarakat tidak kelaparan. Seperti yang terjadi di Bangladesh pada 1943.
“Kelaparan Bangladesh pada 1943 dimana kurang lebih 3,8 juta jiwa meninggal dunia bukan karena tidak ada makanan tapi tidak bisa membelinya. Atau kasus minyak goreng baru-baru ini,” ungkapnya.
Adapun dimensi keempat adalah capability. Menurut Agus, ketahan pangan penting dilihat dari sudut pandang ini melalui global hunger index.
“Indonesia itu tertinggal dari negara maju lebih dari 50 tahun. GHI kita itu masih 18 poin. Kalau negara maju itu kurang dari 5 poin,” pungkasnya.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia mendapat penghargaan dari International Rice Institute (IRI) karena dinilai berhasil membuat sistem ketahanan pangan dan swasembada beras. Pemerintah Indonesia juga dinilai tangguh dalam penerapan inovasi teknologi pertanian.
Penghargaan diterima Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Minggu 14 Agustus 2022. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Rasio swasembada atau rasio antara produksi dalam negeri dengan total permintaan di Indonesia mencapai 90 persen lebih.
Kepala Divisi Pengadaan Komoditi Perum Bulog Budi Cahyanto menyebut, Indonesia berpeluang mengekspor jagung karena surplus tanaman pangan tersebut dapat mencapai sekitar 3 juta ton. “Untuk jagung ini Bulog memiliki rencana untuk ekspor,” katanya.
Bulog sudah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Manila, Filipina. Di mana atase perdagangan di sana juga sangat peduli dan bisa membantu Bulog untuk bisa merealisasikan ekspor tersebut dalam waktu dekat.
“Jadi, Bulog polanya melakukan penyerapan dan pengadaan langsung jagung dari petani. Maka dalam waktu dekat kami ekspor jagung,” tegasnya.
Hanya saja, kata Budi, memang tantangannya di komoditas jagung ini adalah kekurangan mesin pengering. Ketika panen secara bersama-sama, jagung biasanya mengalami proses suplai yang terlalu tinggi.
Sementara, jagung sendiri merupakan jenis tanaman pangan yang harus cepat dikeringkan. Pada periode berikutnya setelah panen, jagung biasanya mengalami suatu proses yang berisiko terkena jamur dan sebagainya.
Dengan demikian, pada saat yang sama pihaknya akan bergerak dengan menyerap sebanyak-banyaknya. Bulog sendiri ke depannya terus berupaya untuk menyiapkan diri terkait panen jagung dengan berinvestasi untuk memiliki fasilitas pengering jagung yang saat ini sedang dibangun.
“Tentu saja ini kita bisa revolving stoknya, sehingga pada saat yang sama ketika Indonesia mengalami kekurangan jagung maka Bulog sudah memiliki stok-stok jagung,” kata Budi.
Sementara untuk stok beras dalam negeri dinilai cukup stabil. Bahkan, Budi menyebut Indonesia juga berpeluang untuk melakukan ekspor beras. “Untuk beras sendiri, saya pikir stoknya sangat kuat, sangat baik,” kata Budi.
Saat ini, Budi menggatakan, stok beras di dalam negeri kurang lebih mencapai 1,1 juta ton. Jumlah ini, terangnya, sudah sesuai dengan ketentuan Food and Agriculture Organization (FAO) dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan).
Kemudian dia bilang yang direkomendasikan juga oleh para analis dari Universitas Gajah Mada (UGM), bahwa dengan jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 260 juta itu, RI paling tidak memiliki stok 1 sampai 1,5 juta ton.
“Kita ada jumlah stok yang cukup kuat. Masyarakat Indonesia diharapkan tidak perlu khawatir,” katanya. Dengan kondisi demikian, Indonesia bahkan berpontensi melakukan ekpors beras ke negera-negara yang membutuhkan.
Namun, menurut Budi, beras-beras yang diekpor harus merupakan beras-beras varian khusus yang hanya ada di Indonesia. Seperti Pandan Wangi, Rojo Lele dan Mentik Wangi atau beras Mentik. Dimana beras ini tidak ditemukan di tempat lainnya di dunia.
“Kalau itu mungkin tantangan ke depan bagaimana Bulog bisa membuka peluang ekspor ke negara-negara yang memang membutuhkan,” tambahnya.
Sekadar mengingatkan, Budi menambahkan, Indonesia merupakan produsen beras terbesar kedua di dunia. Posisi pertama ditempati China. Hanya saja, tambahnya, memang konsumsi beras di Indonesia cukup tinggi.
“Produksi pertama itu ada di China, kemudian yang kedua di Indonesia. Jadi menurut saya Indonesia memiliki potensi untuk untuk melakukan ekspor,” paparnya pada forum yang sama. ■
]]> , Isu kriris pangan global memunculkan kekhawatiran banyak negara. Namun kondisi itu diharapkan tidak membuat panik masyarakat Indonesia. Stok jagung dan beras di Tanah Air diklaim masih aman untuk beberapa waktu ke depan. Namun kondisi itu tidak menjamin seluruh masyarakat bisa membeli.
Ketua Umum Dewan Pakar DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Agus Pakpahan menyampaikan pandangannya terkait ketahanan pangan dari beragam sudut pandang.
Pertama adalah dimensi sumber daya yang memperlihatkan kapasitas atau luas lahan dan penerapan teknologi serta kapasitas kebijakan. Sehingga konteks ketahanan pangan di Indonesia diukur dari sumber daya yang diterjemahkan ke dalam kapasitas produksi. Ini untuk memenuhi kebutuhan aktual, buat memenuhi kalau ada resiko.
“Dan juga harus memenuhi kalau misal terjadi ketidakpastian. Seperti pandemi, perang Ukraina, tsunami atau macam bencana lainnya,” ujar Agus dalam diskusi bertema Tantangan Ketahanan Pangan Hadapi Krisis Global yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) dikutip Sabtu (20/8).
Kedua adalah dimensi jangka pendek. Dimensi ini, kata Agus, untuk mengukur bahan kebutuhan pokok lainnya secara menyeluruh. “Artinya, kalau kita lihat pada komoditas tertentu mungkin kita merasa tahan, tapi kalau totalitas belum tentu juga,” bebernya.
Sementara dimensi ketiga, tambah Agus, adalah dimensi entitlement. Dimensi ini untuk mengukur bahwa keberlimpahan stok bukanlah jaminan masyarakat tidak kelaparan. Seperti yang terjadi di Bangladesh pada 1943.
“Kelaparan Bangladesh pada 1943 dimana kurang lebih 3,8 juta jiwa meninggal dunia bukan karena tidak ada makanan tapi tidak bisa membelinya. Atau kasus minyak goreng baru-baru ini,” ungkapnya.
Adapun dimensi keempat adalah capability. Menurut Agus, ketahan pangan penting dilihat dari sudut pandang ini melalui global hunger index.
“Indonesia itu tertinggal dari negara maju lebih dari 50 tahun. GHI kita itu masih 18 poin. Kalau negara maju itu kurang dari 5 poin,” pungkasnya.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia mendapat penghargaan dari International Rice Institute (IRI) karena dinilai berhasil membuat sistem ketahanan pangan dan swasembada beras. Pemerintah Indonesia juga dinilai tangguh dalam penerapan inovasi teknologi pertanian.
Penghargaan diterima Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Minggu 14 Agustus 2022. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Rasio swasembada atau rasio antara produksi dalam negeri dengan total permintaan di Indonesia mencapai 90 persen lebih.
Kepala Divisi Pengadaan Komoditi Perum Bulog Budi Cahyanto menyebut, Indonesia berpeluang mengekspor jagung karena surplus tanaman pangan tersebut dapat mencapai sekitar 3 juta ton. “Untuk jagung ini Bulog memiliki rencana untuk ekspor,” katanya.
Bulog sudah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Manila, Filipina. Di mana atase perdagangan di sana juga sangat peduli dan bisa membantu Bulog untuk bisa merealisasikan ekspor tersebut dalam waktu dekat.
“Jadi, Bulog polanya melakukan penyerapan dan pengadaan langsung jagung dari petani. Maka dalam waktu dekat kami ekspor jagung,” tegasnya.
Hanya saja, kata Budi, memang tantangannya di komoditas jagung ini adalah kekurangan mesin pengering. Ketika panen secara bersama-sama, jagung biasanya mengalami proses suplai yang terlalu tinggi.
Sementara, jagung sendiri merupakan jenis tanaman pangan yang harus cepat dikeringkan. Pada periode berikutnya setelah panen, jagung biasanya mengalami suatu proses yang berisiko terkena jamur dan sebagainya.
Dengan demikian, pada saat yang sama pihaknya akan bergerak dengan menyerap sebanyak-banyaknya. Bulog sendiri ke depannya terus berupaya untuk menyiapkan diri terkait panen jagung dengan berinvestasi untuk memiliki fasilitas pengering jagung yang saat ini sedang dibangun.
“Tentu saja ini kita bisa revolving stoknya, sehingga pada saat yang sama ketika Indonesia mengalami kekurangan jagung maka Bulog sudah memiliki stok-stok jagung,” kata Budi.
Sementara untuk stok beras dalam negeri dinilai cukup stabil. Bahkan, Budi menyebut Indonesia juga berpeluang untuk melakukan ekspor beras. “Untuk beras sendiri, saya pikir stoknya sangat kuat, sangat baik,” kata Budi.
Saat ini, Budi menggatakan, stok beras di dalam negeri kurang lebih mencapai 1,1 juta ton. Jumlah ini, terangnya, sudah sesuai dengan ketentuan Food and Agriculture Organization (FAO) dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan).
Kemudian dia bilang yang direkomendasikan juga oleh para analis dari Universitas Gajah Mada (UGM), bahwa dengan jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 260 juta itu, RI paling tidak memiliki stok 1 sampai 1,5 juta ton.
“Kita ada jumlah stok yang cukup kuat. Masyarakat Indonesia diharapkan tidak perlu khawatir,” katanya. Dengan kondisi demikian, Indonesia bahkan berpontensi melakukan ekpors beras ke negera-negara yang membutuhkan.
Namun, menurut Budi, beras-beras yang diekpor harus merupakan beras-beras varian khusus yang hanya ada di Indonesia. Seperti Pandan Wangi, Rojo Lele dan Mentik Wangi atau beras Mentik. Dimana beras ini tidak ditemukan di tempat lainnya di dunia.
“Kalau itu mungkin tantangan ke depan bagaimana Bulog bisa membuka peluang ekspor ke negara-negara yang memang membutuhkan,” tambahnya.
Sekadar mengingatkan, Budi menambahkan, Indonesia merupakan produsen beras terbesar kedua di dunia. Posisi pertama ditempati China. Hanya saja, tambahnya, memang konsumsi beras di Indonesia cukup tinggi.
“Produksi pertama itu ada di China, kemudian yang kedua di Indonesia. Jadi menurut saya Indonesia memiliki potensi untuk untuk melakukan ekspor,” paparnya pada forum yang sama. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID