Produksi Emas Dalam Negeri Positif Bagi Perekonomian Nasional –
4 min readPengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menungkapkan pengolahan dan pemurnian (Smelter) yang sedang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur, akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Nilai tambah produksi emas itu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia di pusat dan daerah Papua,” ujarnya, Rabu (20/7).
Penulis buku Freeport Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi itu juga menerangkan, produksi emas yang sedemikian besar adalah buah dari keberhasilan pemerintah mengambil alih Freeport Indonesia (FI) dari saham minoritas sekitar 9,4 persen menjadi saham mayoritas sebesar 51,2 persen.
“Produksi emas yang melimpah itu merupakan hasil divestasi, yang salah satu syaratnya adalah smelterisasi di dalam negeri,” ungkapnya.
Menurut Fahmi, PT FI sebelumnya mengekspor konsentrat, karena belum membangun smelter.
“Sebelumnya, Indonesia hampir tidak dapat manfaat dari produksi emas PT FI lantaran smelterisasi konsentrat dilakukan di smelter luar negeri,” tambahnya.
Seperti diketahui, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, PT FI akan memproduksi emas sebesar 1 ton per minggu dari pabrik pengolahan dan pemurnian yang sedang dibangun di KEK JIIPE, Gresik, Jawa Timur.
Dengan adanya investasi 200 juta dolar AS, untuk tahap awal PT FI bisa memproduksi 35 ton emas per tahun. Produksi emas yang besar di dalam negeri bisa membuat Indonesia segera membentuk bullion bank atau bank yang bisa menerima transaksi emas, selain mata uang biasa.
Dengan adanya bullion bank ini, jadi tidak perlu dikirim ke Singapura.
“Kebanyakan sekarang dikirim ke Singapura. Dari Singapura masuk lagi ke Indonesia. Hampir seluruh industri perhiasan itu adalah cost-nya hanya tolling fee, karena kaitannya dengan insentif fiskal dengan PPN,” jelas Ketua Umum Partai Golkar itu.
Proyek smelter senilai Rp 42 triliun itu akan mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun, dan memproduksi 600 ribu ton katoda tembaga dan 35 ton emas per tahunnya.
Awasi Pengiriman
Pengiriman bahan baku dari tambang Freeport ke Smelter Gresik harus diawasi dengan benar.
“Yang titik kritis adalah masalah pengawasan. Karena tambang di Papua, Smelter di Jawa Timur, maka pengawasan dalam hal pengiriman. Pastikan tidak ada distorsi,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia M Faisal, Rabu (20/7).
Kemudian, jika pemerintah melarang ekspor barang mentah termasuk emas, ini juga harus diawasi dengan betul. Jangan sampai ada kebocoran.
Dalam aspek sosial, Faisal mengatakan, keberadaan tambang maupun smelter harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Dia mencontohkan, smelter di Sulawesi dan Maluku tidak diketahui sumbangsih mereka untuk pendapatan daerah maupun serapan tenaga kerjanya.
“Kalau di Sulawesi dan Maluku, ini sering kali Pemda tidak tahu banyak dengan tata niaga, dan seberapa jauh penerimaan untuk daerah, tidak kelihatan atau belum jelas,” ujarnya.
Belum lagi, seberapa banyak tenaga kerja yang direkrut domestik, apalagi lokal. Itu menjadi isu dan masalah.
“Ini menjadi pelajaran agar tidak terjadi pada di komoditas lain,” pungkas Faisal.■
]]> , Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menungkapkan pengolahan dan pemurnian (Smelter) yang sedang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur, akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Nilai tambah produksi emas itu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia di pusat dan daerah Papua,” ujarnya, Rabu (20/7).
Penulis buku Freeport Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi itu juga menerangkan, produksi emas yang sedemikian besar adalah buah dari keberhasilan pemerintah mengambil alih Freeport Indonesia (FI) dari saham minoritas sekitar 9,4 persen menjadi saham mayoritas sebesar 51,2 persen.
“Produksi emas yang melimpah itu merupakan hasil divestasi, yang salah satu syaratnya adalah smelterisasi di dalam negeri,” ungkapnya.
Menurut Fahmi, PT FI sebelumnya mengekspor konsentrat, karena belum membangun smelter.
“Sebelumnya, Indonesia hampir tidak dapat manfaat dari produksi emas PT FI lantaran smelterisasi konsentrat dilakukan di smelter luar negeri,” tambahnya.
Seperti diketahui, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, PT FI akan memproduksi emas sebesar 1 ton per minggu dari pabrik pengolahan dan pemurnian yang sedang dibangun di KEK JIIPE, Gresik, Jawa Timur.
Dengan adanya investasi 200 juta dolar AS, untuk tahap awal PT FI bisa memproduksi 35 ton emas per tahun. Produksi emas yang besar di dalam negeri bisa membuat Indonesia segera membentuk bullion bank atau bank yang bisa menerima transaksi emas, selain mata uang biasa.
Dengan adanya bullion bank ini, jadi tidak perlu dikirim ke Singapura.
“Kebanyakan sekarang dikirim ke Singapura. Dari Singapura masuk lagi ke Indonesia. Hampir seluruh industri perhiasan itu adalah cost-nya hanya tolling fee, karena kaitannya dengan insentif fiskal dengan PPN,” jelas Ketua Umum Partai Golkar itu.
Proyek smelter senilai Rp 42 triliun itu akan mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun, dan memproduksi 600 ribu ton katoda tembaga dan 35 ton emas per tahunnya.
Awasi Pengiriman
Pengiriman bahan baku dari tambang Freeport ke Smelter Gresik harus diawasi dengan benar.
“Yang titik kritis adalah masalah pengawasan. Karena tambang di Papua, Smelter di Jawa Timur, maka pengawasan dalam hal pengiriman. Pastikan tidak ada distorsi,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia M Faisal, Rabu (20/7).
Kemudian, jika pemerintah melarang ekspor barang mentah termasuk emas, ini juga harus diawasi dengan betul. Jangan sampai ada kebocoran.
Dalam aspek sosial, Faisal mengatakan, keberadaan tambang maupun smelter harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Dia mencontohkan, smelter di Sulawesi dan Maluku tidak diketahui sumbangsih mereka untuk pendapatan daerah maupun serapan tenaga kerjanya.
“Kalau di Sulawesi dan Maluku, ini sering kali Pemda tidak tahu banyak dengan tata niaga, dan seberapa jauh penerimaan untuk daerah, tidak kelihatan atau belum jelas,” ujarnya.
Belum lagi, seberapa banyak tenaga kerja yang direkrut domestik, apalagi lokal. Itu menjadi isu dan masalah.
“Ini menjadi pelajaran agar tidak terjadi pada di komoditas lain,” pungkas Faisal.■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID