Dikuatkan MK Ganja Untuk Kesehatan Masih Diharamkan Ya..! –
5 min readHarapan beberapa pihak agar negara membolehkan ganja untuk kesehatan mentok di Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengeluarkan putusan, meski untuk kesehatan, ganja tetap haram alias dilarang.
Putusan itu diketok dalam sidang MK, kemarin. Putusan perkara dengan nomor 106/PUU-XVIII/2020 itu, dibacakan langsung oleh Ketua MK Anwar Usman, pada persidangan secara virtual.
“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, mengadili: Satu, menyatakan permohonan pemohon V dan VI tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar.
Permohonan legalisasi ganja untuk kesehatan ini disampaikan oleh tiga orang ibu: Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Naflah Murhayanti. Mereka membutuhkan ganja untuk mengobati anaknya. Mereka menggugat larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kesehatan yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Para penggugat itu adalah ibunda dari anak yang menderita cerebral palsy. Perjuangan mereka sempat menyita perhatian publik usai menggelar aksi di Car Free Day Jakarta. Mereka membentangkan poster yang bertuliskan permintaan tolong agar penggunaan ganja medis dilegalkan.
Menanggapi putusan MK ini, Dwi sangat kecewa. Sebab, ia punya pengalaman pahit. Saat itu, anaknya yang menderita cerebral palsy meninggal di usia 16 tahun. Dia berkeyakinan, satu-satunya yang bisa membantu pengobatan anaknya adalah ganja.
Dwi kasih testimoni, banyak kemajuan pada anaknya yang bernama Musa, setelah melakukan terapi ganja di Australia pada 2016. Ganja ampuh mengurangi frekuensi kejang pada anaknya. Ketika berada di Australia, anaknya tak pernah kejang. Tetapi, sekembalinya ke Indonesia, kejang 2-3 kali seminggu.
“Obat-obat yang ada itu nggak membantu. Ketika ini (ganja) tidak bisa digunakan, apa dong solusinya?” tanya Dwi.
Dwi juga bingung, setelah MK mengeluarkan putusan ini, tak tahu harus berbuat apalagi. Ia hanya bisa mendesak Pemerintah membantu pembiayaan alat bantu bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Sementara Santi Warastuti, ibu dari Pika, yang juga menderita celebral palsy, memilih pasrah. Dia memilih menunggu kemajuan riset ganja medis. Sambil menunggu hal tersebut, ia meminta Pemerintah memberikan dukungan kepada para penderita.
“Riset waktunya nggak sebentar. Sedangkan kita, orang tua dengan anak berkebutuhan khusus kan berpacu dengan waktu. Sambil menunggu, Pemerintah punya jalan keluar lain untuk anak kita untuk menjadi lebih baik. Bukan cuma riset yang kita harapkan, tapi ada solusi sambil menunggu,” pintanya.
Nafiah Murhayanti, ibunda dari Keynan, berada dalam situasi yang sama. Terlebih, saat ini obat bagi pasien cerebral palsy sempat hilang dari peredaran. Sampai beberapa orang tua harus mencari ke kota lain.
Mendengar keluh kesah ketiga ibu-ibu ini, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani meminta mereka tak patah arang. “Banyak jalan menuju Roma,” katanya, menegarkan.
Kata Arsul, putusan MK terkait UU Narkotika itu merupakan mekanisme judicial review. Masih ada mekanisme legislative review yang berlangsung di DPR. “Ya, jalan lain itu legislatif review. Ditolak itu kan judicial review. Judicial review itu tidak mengatakan bahwa pasal itu tidak boleh diubah,” ucap politisi PPP itu.
Arsul menekankan, keputusan MK hanya menyatakan konstitusional. Bukan berarti tidak boleh diubah. Sebab, jika DPR sepakat mengubah, secara hitung-hitungan masih ada kesempatan.
“Kan yang ditolak itu adalah menyatakan Pasal 8 ayat 1 itu inkonstitusional. Kan itu yang ditolak. Tetapi, MK mengakui bahwa itu adalah open legal, di bunyi Pasal 8 ayat 1. Kalau pembentuk Undang-Undang sepakat memutuskan ya boleh diubah,” terangnya.
Namun, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, jika namanya masih ganja, larangan itu akan melekat. Makanya, MK tidak berani melegalkannya. Beda halnya jika menggunakan istilah lain, sekalipun tetap mengandung unsur ganja.
Fickar memprediksi, jika tidak ada pengganti zat yang terkandung dalam unsur ganja, bakal ada pemikiran baru untuk melegalkan unsur ganja yang diperuntukkan obat. “Tetapi, sepanjang ada substitusinya, maka sampai kapan pun, ganja akan terlarang,” ulasnya. [MEN] ]]> , Harapan beberapa pihak agar negara membolehkan ganja untuk kesehatan mentok di Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengeluarkan putusan, meski untuk kesehatan, ganja tetap haram alias dilarang.
Putusan itu diketok dalam sidang MK, kemarin. Putusan perkara dengan nomor 106/PUU-XVIII/2020 itu, dibacakan langsung oleh Ketua MK Anwar Usman, pada persidangan secara virtual.
“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, mengadili: Satu, menyatakan permohonan pemohon V dan VI tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar.
Permohonan legalisasi ganja untuk kesehatan ini disampaikan oleh tiga orang ibu: Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Naflah Murhayanti. Mereka membutuhkan ganja untuk mengobati anaknya. Mereka menggugat larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kesehatan yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Para penggugat itu adalah ibunda dari anak yang menderita cerebral palsy. Perjuangan mereka sempat menyita perhatian publik usai menggelar aksi di Car Free Day Jakarta. Mereka membentangkan poster yang bertuliskan permintaan tolong agar penggunaan ganja medis dilegalkan.
Menanggapi putusan MK ini, Dwi sangat kecewa. Sebab, ia punya pengalaman pahit. Saat itu, anaknya yang menderita cerebral palsy meninggal di usia 16 tahun. Dia berkeyakinan, satu-satunya yang bisa membantu pengobatan anaknya adalah ganja.
Dwi kasih testimoni, banyak kemajuan pada anaknya yang bernama Musa, setelah melakukan terapi ganja di Australia pada 2016. Ganja ampuh mengurangi frekuensi kejang pada anaknya. Ketika berada di Australia, anaknya tak pernah kejang. Tetapi, sekembalinya ke Indonesia, kejang 2-3 kali seminggu.
“Obat-obat yang ada itu nggak membantu. Ketika ini (ganja) tidak bisa digunakan, apa dong solusinya?” tanya Dwi.
Dwi juga bingung, setelah MK mengeluarkan putusan ini, tak tahu harus berbuat apalagi. Ia hanya bisa mendesak Pemerintah membantu pembiayaan alat bantu bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Sementara Santi Warastuti, ibu dari Pika, yang juga menderita celebral palsy, memilih pasrah. Dia memilih menunggu kemajuan riset ganja medis. Sambil menunggu hal tersebut, ia meminta Pemerintah memberikan dukungan kepada para penderita.
“Riset waktunya nggak sebentar. Sedangkan kita, orang tua dengan anak berkebutuhan khusus kan berpacu dengan waktu. Sambil menunggu, Pemerintah punya jalan keluar lain untuk anak kita untuk menjadi lebih baik. Bukan cuma riset yang kita harapkan, tapi ada solusi sambil menunggu,” pintanya.
Nafiah Murhayanti, ibunda dari Keynan, berada dalam situasi yang sama. Terlebih, saat ini obat bagi pasien cerebral palsy sempat hilang dari peredaran. Sampai beberapa orang tua harus mencari ke kota lain.
Mendengar keluh kesah ketiga ibu-ibu ini, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani meminta mereka tak patah arang. “Banyak jalan menuju Roma,” katanya, menegarkan.
Kata Arsul, putusan MK terkait UU Narkotika itu merupakan mekanisme judicial review. Masih ada mekanisme legislative review yang berlangsung di DPR. “Ya, jalan lain itu legislatif review. Ditolak itu kan judicial review. Judicial review itu tidak mengatakan bahwa pasal itu tidak boleh diubah,” ucap politisi PPP itu.
Arsul menekankan, keputusan MK hanya menyatakan konstitusional. Bukan berarti tidak boleh diubah. Sebab, jika DPR sepakat mengubah, secara hitung-hitungan masih ada kesempatan.
“Kan yang ditolak itu adalah menyatakan Pasal 8 ayat 1 itu inkonstitusional. Kan itu yang ditolak. Tetapi, MK mengakui bahwa itu adalah open legal, di bunyi Pasal 8 ayat 1. Kalau pembentuk Undang-Undang sepakat memutuskan ya boleh diubah,” terangnya.
Namun, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, jika namanya masih ganja, larangan itu akan melekat. Makanya, MK tidak berani melegalkannya. Beda halnya jika menggunakan istilah lain, sekalipun tetap mengandung unsur ganja.
Fickar memprediksi, jika tidak ada pengganti zat yang terkandung dalam unsur ganja, bakal ada pemikiran baru untuk melegalkan unsur ganja yang diperuntukkan obat. “Tetapi, sepanjang ada substitusinya, maka sampai kapan pun, ganja akan terlarang,” ulasnya. [MEN]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID